Nastiti, Doktor Termuda Unair Berusia 26 Tahun yang Raih IPK 4,00

Konten Media Partner
20 Agustus 2019 15:49 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Nastiti Intan Permata Sari doktor termuda yang akan diwisuda Unair Surabaya pada 6 september 2019. Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Nastiti Intan Permata Sari doktor termuda yang akan diwisuda Unair Surabaya pada 6 september 2019. Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
Nastiti Intan Permata Sari akan jadi doktor termuda yang diwisuda Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, pada 6 September 2019. Di usia 26 tahun, Nastiti berhasil menyelesaikan program doktor bidang Ilmu Kedokteran dengan nilai indeks prestasi kumulatif (IPK) sempurna 4,00.
ADVERTISEMENT
Setelah diwisuda nanti, otomatis gelar yang disandang Nastiti menjadi Dr. Nastiti Intan Permata Sari, S.Si, M.Ked.Trop (Magister Kedokteran Tropis).
Nastiti bercerita, dia terdaftar menjadi mahasiswa S1 Unair sejak 2011. Saat itu dia mengambil jurusan Biologi di Fakultas Sains dan Teknologi dan menyelesaikan masa studi selama 3,5 tahun dengan IPK 3,35.
Setelah lulus S1, Nastiti melanjutkan program S2 dan S3 melalui jalur beasiswa Pendidikan Magister Menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU) yang diberikan Kemenristekdikti. "Jadi peserta PMDSU itu harus menyelesaikan S2 dan S3 dalam waktu empat tahun. Saya mulai S2 tahun Agustus 2015, alhamdulillah selesai S3 tepat waktu Agustus 2019," kata Nastiti pada Basra (20/8).
Sejak menempuh pendidikan S2 Ilmu Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran Unair, Nastiti sudah membuat rencana penelitian tentang penyakit tuberkulosis atau TB. Kata Nastiti, Indonesia saat ini menjadi negara dengan jumlah pasien TB terbanyak ketiga di dunia.
Nastiti bersama pembibing penelitiannya dari Unair dan Jepang.
Bahkan menurut data badan kesehatan dunia (WHO), setiap 30 detik satu orang tertular TB dan rata-rata 13 orang meninggal setiap satu jam.
ADVERTISEMENT
"Permasalahan yang dihadapi pasien TB saat ini adalah bakteri-bakteri pembawa penyakit TB makin kebal dengan obat-obatan yang direkomendasikan. Pasien TB juga banyak yang tidak diketahui jenis strain (koloni) bakterinya, jadi pemberian obat tidak efektif," kata gadis asal Madiun, Jawa Timur, ini.
Melalui disertasinya yang berjudul 'Multiplex PCR Gen 16S rRNA, rv0577, RD9, mtbk_20680, lineage 1-6 dan Profil Genootipe Gen rpoB pada Identifikasi Spesies, Strain, dan Resistensi Rifampisin isolat Mycobacterium Tuberculosis Pasien Tuberkulosis Paru di Pulau Jawa', Nastiti menemukan mycobacterium Beijing strains banyak tersebar pada pasien TB di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
"Penelitian ini mengambil sampel di tiga sentral, di Jawa Timur data diambil di RSUD Dr Soetomo dan Balai Laboratorium Kesehatan (BLK) Surabaya, di Jawa Tengah bekerjasama dengan RSU Karyadi dan BLK Semarang, di Jabar bekerja sama dengan RSCM FKUI," kata Nastiti yang lulus doktor pada 1 Agustus 2019 ini.
ADVERTISEMENT
Mycobacterium Beijing strains ini dianggap sebagai penyebab terjadinya resistensi obat di kalangan pasien TB. Apabila bakteri TB semakin kebal dengan empat jenis obat yang direkomendasikan yaitu rifampicin, isoniazid, pyrazinamide, dan ethambutol, maka pengobatan untuk TB resisten akan berlangsung lebih lama dan memerlukan obat yang lebih mahal.
Nastiti usai melakukan sidang terbuka gelar doktor di Fakultas Kedokteran Unair pada 1 Agustus 2019. Dok. Pribadi
"Belum lagi efek obat TB yang rata-rata bikin mual, pusing, dan muntah, ini jelas efek yang berat untuk mereka. Karena itu kalau obatnya tidak bekerja efektif, kasihan sekali pasien sudah merasakan efek yang seperti itu," kata Nastiti.
Karena itu, penting untuk mengetahui secara akurat strains bakteri yang menyebabkan TB. Setelah diketahui sifat dari strains bakterinya baru bisa ditentukan jenis obatnya. Bukan tidak mungkin koloni bakteri ini bermutasi dan punya sifat-sifat baru yang akhirnya kebal terhadap obat.
ADVERTISEMENT
Dalam penelitian tuberkulosis ini, Nastiti dibimbing langsung oleh profesor ternama dari Unair, UGM, Kyoto University Jepang, serta NARA Institute Science and Technology Jepang. Di antaranya ada Prof Dr Ni Made Mertaniasih, dr., MS., Sp.MK (K), spesialis mikrobiologi klinik Unair dan Dr Soedarsono dr., Sp.P (K) dari Unair. Sedangkan dari UGM ada Prof. Dr. Wayan T. Artama.
Pada 2017, Nastiti sempat meneliti metode molekuler untuk identifikasi bakteri penyebab Tuberkulosis paru di Kyoto University, Jepang. Kemudian di tahun selanjutnya ia kembali ke Jepang untuk melanjutkan penelitian disertasinya di NARA Institute of Science and Technology bersama Prof. Hirotada Mori. (Reporter : Windy Goestiana)