Pendapat Guru Besar Sosiologi Unair Terkait Fenomena Childfree di Masyarakat

Konten Media Partner
30 Agustus 2021 9:56 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pixabay.
zoom-in-whitePerbesar
Pixabay.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Baru-baru ini nama YouTuber Gita Savitri tengah menjadi sorotan masyarakat setelah mengaku enggan memiliki anak (Childfree).
ADVERTISEMENT
Childfree sendiri didefinisikan sebagai keputusan seseorang atau pasangan yang memilih untuk tidak memiliki anak. Bagi masyarakat Indonesia, keputusan tersebut dianggap cukup mengejutkan sehingga menuai pro dan kontra.
Lantas mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Menanggapi hal itu, Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga (Unair) Prof. Bagong Suryanto, M.Si., menjelaskan bahwa secara sosial status dan eksistensi perempuan pada jaman dulu dilihat dari seberapa banyak dia bisa melahirkan anak.
Akan tetapi, indikator tersebut saat ini sudah mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman.
Menurutnya, kesuksesan perempuan kini sudah tidak lagi diukur dari ranah domestik, melainkan berdasar sektor publik seperti karir, prestasi, dan indikator baru lainnya.
“Jadi, kalau sekarang muncul perempuan yang mengumumkan tidak ingin punya anak, itu adalah perkembangan baru. Sah-sah saja dilakukan. Hanya saja pada titik tertentu nantinya, saya yakin kerinduan untuk punya anak akan muncul,” kata Prof. Bagong, Senin (30/8).
ADVERTISEMENT
Menurut Prof. Bagong, pilihan untuk memiliki anak atau tidak, merupakan suatu kebebasan yang sifatnya personal. Meski demikian, childfree tidak hanya menjadi keputusan mutlak dari perempuan, tetapi juga keputusan pasangan sebagai sebuah keluarga.
Pixabay.
Ia menuturkan, bahwa childfree sebenarnya bukanlah hal baru di luar negeri. Namun, istilah tersebut justru memunculkan banyak perdebatan yang cenderung pada stigma negatif ketika di Indonesia.
Perbedaan respons tersebut, menurut Prof. Bagong karena adanya perbedaan masyarakat dalam menghormati hak.
Prof. Bagong mengungkapkan, bahwa masyarakat luar negeri sangat menghormati hak privat dan otonomi individu. Sementara, di Indonesia, masyarakat dianggapnya lebih menghargai hak kelompok.
“Saya yakin childfree adalah sikap sebagian kecil perempuan. Sebagai hak pribadi, boleh-boleh saja mereka memilih seperti itu dan masyarakat tidak perlu merespons secara serius,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Terkait alasan yang bisa melatarbelakangi seorang pasangan untuk memilih childfree, dosen pengampu mata kuliah Sosiologi Anak itu menuturkan adanya dua kemungkinan utama.
Pertama adalah usia. Bisa jadi, seseorang memilih tidak ingin punya anak karena usianya masih muda. Pada tingkat elementer, lanjutnya, perempuan juga bisa menunda untuk punya anak dengan cara menikah pada usia yang benar-benar sudah matang.
Kedua adalah adanya hasrat untuk meniti karir. Dalam perjalanan meraih kesuksesan karir, Prof. Bagong menyebut tidak sedikit perempuan yang menganggap bahwa hadirnya seorang anak menjadi rintangan tersendiri.
“Kalau dibilang alasan childfree adalah karena masih banyak anak yang terlantar atau tidak ingin menambah populasi di bumi, saya rasa itu rasionalisasi dan bukan alasan sesungguhnya,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT