Konten Media Partner

Opini: Sanksi Hukum Menolak Vaksinasi COVID-19

29 Januari 2021 11:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi: COVID-2019-vaccine (foto freepik)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: COVID-2019-vaccine (foto freepik)
ADVERTISEMENT
Pandemi COVID-19 di Indonesia, telah memasuki era vaksinasi. Pemerintah telah mulai melakukan vaksinasi, diawali dengan penggunaan vaksin COVID-19 Sinovac, yang telah diberikan izin penggunaan darurat (emergency use authorization) oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan sertifikasi Halal oleh MUI.
ADVERTISEMENT
Saking pentingnya vaksinasi ini, ada wacana yang menyatakan orang yang menolak divaksin (bagi yang memenuhi syarat divaksin) dapat dihukum pidana dengan menggunakan Pasal 93 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018, tentang Kekaratinaan Kesehatan.
Sebenarnya hakekat dari vaksinasi yang kemudian menjadi imunisasi ini untuk perlindungan seluruh rakyat dari bencana Covid 19, di mana seseorang harus mendapatkan vaksinasi 2 kali dalam rentang jarak 14 hari untuk pembentukan antibodi yang bisa dinilai maksimal beberapa bulan kemudian, sehingga setelah divaksinasi harus tetap melaksanakan protokol kesehatan terutama 3M, menggunakan masker, mencuci tangan dengan sabun di air mengalir atau menggunakan hand sanitizer, dan menjaga jarak aman, sehingga terbentuklah kekebalan komunitas (herd imunity).
Menurut rencana, hingga 70 persen atau sekitar 182 juta rakyat Indonesia yang mendapat vaksin. Orang menolak divaksin, karena ketakutan akibat efek samping (side effect) dan efek simpang (adverse event), atau diistilahkan sebagai kasus ikutan pasca imunisasi (KIPI), berupa masalah kesehatan yang mungkin terjadi, hingga kecacatan dan kematian.
ADVERTISEMENT
Apalagi banyak berita hoax terkait hal ini yang tersebar karena kemajuan teknologi media saat ini.
Apakah orang yang menolak vaksinasi bisa dihukum?
Dalam UUD 1945 sebagai konstitusi Negara Indonesia mengatur dalam Pasal 28J Ayat (1) bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, yang dalam hal ini adalah hak mendasar untuk memiliki kesehatan yang baik.
Indonesia yang menganut konsep welfare state, membawa konsekuensi bahwa pemerintah bertugas memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Kewajiban pemerintah adalah mewujudkan bestuurszoorg (kesejahteraan umum), dengan konsekuensinya pemerintah memiliki kewenangan untuk campur tangan (staatsbemoeienis) dalam segala sisi kehidupan masyarakat.
Bentuk campur tangan itu salah satunya dapat dilihat dalam Pasal 9 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan, yang memerintahkan setiap orang wajib mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan, yaitu upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat (Pasal 1 Angka 1 UU Kekarantinaan Kesehatan).
ADVERTISEMENT
Dengan melihat ketentuan tersebut, terlihat jelas UU Kekarantinaan Kesehatan ditempatkan sebagai hukum pidana administrasi yaitu regulasi dan atau produk legislasi atau peraturan perundang-undangan yang berdimensi hukum administrasi negara, tetapi memiliki hukuman pidana.
Hal tersebut merupakan perwujudan kebijakan menggunakan hukum pidana sebagai sarana untuk menegakkan atau melaksanakan hukum administrasi yang merupakan bentuk fungsionalisasi hukum pidana. Dengan mendasarkan teori-teori tersebut, dapat dipahami bahwa meggunakan hukum pidana untuk memaksa keberlakuan hukum administrasi negara pada dasarnya harus memiliki dasar yang kuat.
Tujuan UU Kekarantinaan Kesehatan adalah melindungi masyarakat dari penyakit, mencegah dan menangkal penyakit dan atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat, meningkatkan ketahanan nasional di bidang kesehatan masyarakat, dan memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dan petugas kesehatan.
ADVERTISEMENT
Dari tujuan itu, jika menerima vaksin dapat menjauhkan masyarakat dari Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, sudah seharusnya itu menjadi “kewajiban” bersama kita pula untuk ikut serta penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sebagaimana amanah pasal 9 Ayat (2) UU Kekarantinaan Kesehatan.
Tinggalah sekarang pertanyaan kapan kita akan divaksinasi? Bahkan jika harus menggunakan imunisasi mandiri? (*/imm)
Penulis: Rahmat Junaidi SKM MKes MPH *) Pengamat Kesehatan Masyarakat, tingggal di Desa Ngumpakdalem Kecamatan Dander, Bojonegoro.
Editor: Imam Nurcahyo
Publisher: Imam Nurcahyo
Story ini telah dipublish di: https://beritabojonegoro.com