Peringati Hari Pahlawan, Mahasiswa Bojonegoro Gelar Diskusi

Konten Media Partner
11 November 2020 13:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mahasiswa Bojonegoro penerima beasiswa Banyu Urip bersama Yayasan Kampung Ilmu Bojonegoro (YKIB) saat gelar diskusi. Selasa (10/11/2020) malam
zoom-in-whitePerbesar
Mahasiswa Bojonegoro penerima beasiswa Banyu Urip bersama Yayasan Kampung Ilmu Bojonegoro (YKIB) saat gelar diskusi. Selasa (10/11/2020) malam
ADVERTISEMENT
Bojonegoro – Banyak cara yang bisa dilakukan untuk memaknai dan memperingati Hari Pahlawan. Salah satunya dengan mengadakan diskusi santai seperti yang dilakukan oleh mahasiswa Bojonegoro penerima beasiswa Banyu Urip bersama Yayasan Kampung Ilmu Bojonegoro (YKIB) pada Selasa (10/11/2020) malam. Diskusi santai dalam rangka memperingati Hari Pahlawan ini mengambil tema “Menjadi Pahlawan Virtual di Era New Normal” dan diadakan secara daring.
ADVERTISEMENT
Narasumber dalam diskusi santai ini adalah Uncianus Nahak, S.H., M.H., tokoh pemuda dari Nusa Tenggara Timur dan Muhammad Roqib, S.H., M.H., ketua Yayasan Kampung Ilmu Bojonegoro dan dosen Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG). Diskusi santai ini diikuti kalangan mahasiswa, guru, dan pelajar.
Putri Patricia, mahasiswi Teknik Sipil Unibraw, bertugas sebagai moderator. Ia membuka diskusi dengan memberi kesempatan sambutan kepada ketua pelaksana, Pilar Bela Persada, dan perwakilan YKIB, Frensi Agustina, S.Pd. Selanjutnya, ia memperkenalkan narasumber kepada peserta.
Narasumber pertama, Uncianus Nahak, menyampaikan pandangannya mengenai makna Hari Pahlawan bagi para pemuda dan masyarakat di belahan timur Indonesia. Ia bercerita, pada masa penjajahan dulu Nusa Tenggara Timur dijajah oleh bangsa Portugis. Saat itu bangsa Portugis bukan hanya mencari rempah-rempah akan tetapi juga menjajah masyarakat Nusa Tenggara Timur.
ADVERTISEMENT
“Jadi dulu banyak perempuan di Nusa Tenggara Timur itu yang menindik tangannya, membuktikan bahwa ia sudah bersuami, karena takut atau menghindari dijadikan istri oleh orang-orang Portugis yang menjajah di sini,” ujarnya.
Ia mengatakan, perempuan di Nusa Tenggara Timur dulu memang mempunyai tradisi menindik tangan sebagai pertanda bahwa ia sudah bersuami. Penjajahan Portugis di Nusa Tenggara Timur menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan bagi masyarakat.
“Jadi namanya penjajahan itu di mana pun menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan. Di Jawa atau di luar Jawa penjajahan yang dilakukan oleh bangsa Portugis, Belanda, Inggris itu dilawan oleh rakyat Indonesia,” ujarnya.
Setelah merdeka, kata dia, yang kini bisa dilakukan oleh pemuda adalah membangun bangsanya. Meski, kata dia, di Nusa Tenggara itu terdapat suku dan bahasa yang beragam akan tetapi dapat hidup rukun dan damai karena berkat rasa nasionalisme dan patriotisme sebagai satu bangsa yaitu bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, narasumber kedua yakni Muhammad Roqib, menyampaikan sejarah seputar pertempuran 10 November 2020 antara para pemuda dan pejuang Surabaya dengan pasukan Sekutu, yakni Inggris dan Belanda.
Ia mengatakan, setelah Proklamasi Kemerdekaan dinyatakan oleh Soekarno dan Hatta, kondisi Indonesia sebagai sebuah negara yang baru merdeka belum stabil. Setelah Jepang menyerah tanpa syarat pada pasukan Sekutu, tidak seberapa lama kemudian pasukan Sekutu yakni Inggris dan Belanda tiba di Jakarta dan Surabaya pada September 1945. Pasukan Sekutu itu bertugas melucuti senjata dan memulangkan tentara Jepang dan membebaskan tawanan perang. Akan tetapi, Inggris dan Belanda berniat ingin menjajah Indonesia.
Roqib mengungkapkan beberapa kejadian sebelum peristiwa pertempuran 10 November 1945. Yakni, peristiwa perobekan bendera Belanda dan terbunuhnya jenderal AWS Mallaby di Surabaya. Tewasnya Jenderal AWS Mallaby, pemimpin pasukan Inggris di Surabaya ini memicu kemarahan pasukan Inggris. Kemudian, pasukan Inggris memberi ultimatum kepada pejuang di Surabaya untuk menyerahkan diri dan meletakkan senjata. Akan tetapi, para pejuang dan pemuda di Surabaya tak mengindahkan ultimatum itu dan dengan berani dan gigih melawan pasukan Inggris dan Belanda yang saat itu mempunyai persenjataan canggih dan modern.
ADVERTISEMENT
Salah satu tokoh pejuang saat itu yakni Bung Tomo mengobarkan semangat para pejuang dan pemuda Surabaya. Ia berpidato menggelorakan semangat para pejuang Surabaya melawan Inggris dan Belanda. “Biar hancur lebur kami tetap berjuang. Merdeka atau mati,” ujar Bung Tomo lantang pada masa itu.
Akhirnya terjadilah pertempuran 10 November 1945 itu. Sedikitnya 16 ribu pasukan Sekutu dengan persenjataan dan peralatan perang modern menggempur Surabaya. Pertempuran berlangsung selama tiga pekan. Dalam pertempuran itu, sedikitnya 6 ribu pejuang dan pemuda Surabaya gugur. Kota Surabaya akhirnya dikuasai oleh pasukan Sekutu dan para pejuang dan pemuda Surabaya bergeser ke arah Mojokerto dan Pasuruan.
“Para pemuda, santri, para pejuang dan laskar saat itu habis-habisan bertempur melawan pasukan Inggris dan Belanda. Mereka hanya bersenjatakan bambu runcing dan senjata rampasan. Kegigihan pemuda dan pejuang, arek-arek Suroboyo saat itu sungguh luar biasa,” ujar Roqib.
ADVERTISEMENT
Untuk mengingat kegigihan pemuda dan pejuang Surabaya dan menghormati para pahlawan yang gugur, Presiden Soekarno kemudian menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan berdasarkan Keputusan Presiden No. 316 Tahun
Reporter: Frensi Agustina
Editor: Imam Nurcahyo
Publisher: Imam Nurcahyo
Story ini telah dipublish di: https://beritabojonegoro.com