Konten Media Partner

Proses Permohonan Itsbat Nikah dan Urgensinya #2

9 Mei 2019 10:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustras: Pernikahan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustras: Pernikahan
ADVERTISEMENT
Pengertian Itsbat Nikah
ITSBAT berasal dari bahasa Arab atsbata-yutsbitu-itsbatan yang artinya adalah penguatan.
ADVERTISEMENT
Sedang dalam kamus ilmiah populer kata itsbat diartikan sebagai memutuskan atau menetapkan. Sedang Nikah dalam kamus hukum diartikan sebagai akad yang memberikan faedah untuk melakukan mut’ah secara sengaja, kehalalan seorang laki laki untuk beristimta’ dengan seorang wanita selama tidak ada faktor yang menghalangi sahnya pernikahan tersebut secara syari.
Secara bersambung, penulis akan menyajikan tulisan terkait Proses Permohonan Itsbat Nikah dan Urgensinya.
Kewenangan Pengadilan Agama dalam Itsbat Nikah
Pengadilan Agama memang merupakan lembaga peradilan khusus yang ditujukan bagi orang-orang Islam dengan lingkup kewenangan (kompetensi) yang khusus pula, baik mengenai perkara yang ditanganinya maupun para pencari keadilannya (justiciabel).
Khusus kewenangan Pengadilan Agama di bidang perkawinan, dalam penjelasan Pasal 49 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 terakhir dirubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dirinci menjadi 22 (dua puluh dua) jenis perkara. Dari 22 jenis perkara itu ada yang berupa gugatan (kontentius) ada pula yang berupa permohonan (voluntair). Salah satu perkara permohonan (voluntair) yang menjadi kewenangan pengadilan agama adalah itsbat nikah .
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya kewenangan perkara itsbat nikah bagi pengadilan agama dalam sejarahnya diperuntukkan bagi mereka yang melakukan pernikahan dibawah tangan sebelum berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan., jo. Peraturan Pemerintah tentang Nomor 9 Tahun 1975; penjelasan pasal 49 ayat (2) yang berbunyi: “Mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, merupakan pelaksanaan secara efektif dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan” , serta dalam Pasal 64 UU Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi : “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah”.
Namun kemudian kewenangan ini berkembang dan diperluas dengan dipakainya ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 7 ayat (2) dan (3). Dalam ayat (2) disebutkan : ”Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agamanya”. Pada ayat (3) disebutkan : Itsbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
ADVERTISEMENT
a.Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
b.Hilangnya akta nikah;
c.Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
d.Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang nomor 1 Tahun 1974.
Dengan melihat uraian dari pasal 7 ayat (2) dan (3) KHI tersebut, berarti bahwa KHI Telah memberikan kewenangan lebih dari yang diberikan oleh Undang-undang, baik oleh UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun Undang-undang nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Nomor 14 Tahun 1970 beserta penjelasannya menentukan bahwa adanya kewenangan suatu Peradilan untuk menyelesaikan perkara yang tidak mengandung unsur sengketa (voluntair) adalah dengan syarat apabila dikehendaki (adanya ketentuan/penunjukan) oleh Undang-undang. Mengenai itsbat nikah ini ada PERMENAG Nomor 3 Tahun 1975 yang dalam pasal 39 ayat (4) menentukan jika KUA tidak bisa membuatkan duplikat akta nikah karena catatannya telah rusak atau hilang atau karena sebab lain, maka untuk menetapkan adanya nikah, talak, cerai, maupun rujuk, harus dibuktikan dengan keputusan (dalam arti penetapan) Pengadilan Agama; akan tetapi hal ini berkaitan dengan pernikahan yang dilaksanakan sebelum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 bukan terhadap perkawinan yang terjadi sesudahnya.
ADVERTISEMENT
Permohonan itsbat nikah diajukan ke Pengadilan Agama oleh mereka yang tidak dapat membuktikan perkawinannya dengan Akta Nikah yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah karena tidak tercatat. Permohonan itsbat nikah yang diajukan oleh Pemohon, oleh Pengadilan Agama akan diproses sesuai ketentuan hukum acara. Dalam buku Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama 2008 yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung RI disebutkan “Pengadilan Agama hanya dapat mengabulkan permohonan itsbat nikah, sepanjang perkawinan yang telah dilangsungkan memenuhi syarat dan rukun nikah secara syariat Islam dan perkawinan tersebut tidak melanggar larangan perkawinan yang diatur dalam Pasal 8 s/d Pasal 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 39 s/d Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam”.
ADVERTISEMENT
Atas dasar pengesahan atau penetapan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama itu, selanjutnya oleh pemohon akan digunakan atau dijadikan dasar untuk mencatatkan perkawinannya pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan, dan atas dasar penetapan itu pula Pegawai Pencatat Nikah akan mengeluarkan Buku Nikah atau Kutipan Akta Nikah. (bersambung). */imm)
Penulis: Drs. H. Sholikhin Jamik SH MH*
Editor: Imam Nurcahyo
*Penulis adalah Panitera Pengadilan Agama Bojonegoro.
Artikel ini pertama kali terbit di: https://beritabojonegoro.com