Resensi Buku: Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan

Konten Media Partner
15 September 2021 16:15 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Buku Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan karya Ahmet T Kuru, guru besar ilmu politik dan direktur Center for Islamic and Arabic Studies di San Diego University. (foto: M Roqib)
zoom-in-whitePerbesar
Buku Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan karya Ahmet T Kuru, guru besar ilmu politik dan direktur Center for Islamic and Arabic Studies di San Diego University. (foto: M Roqib)
ADVERTISEMENT
Buku Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan (Perbandingan Lintas Zaman dan Kawasan di Dunia Muslim) karya Ahmet T. Kuru ini sangat bagus. Buku ini bisa menjadi refleksi terutama bagi umat Muslim dalam melihat dirinya pada masa lalu dan masa kini. Penulisnya, Ahmet T. Kuru adalah guru besar ilmu politik dan direktur Center for Islamic and Arabic Studies di San Diego University.
ADVERTISEMENT
Buku ini boleh dibilang bacaan agak berat, tetapi Ahmet T. Kuru mampu menulisnya dengan enak dibaca, sistematis, dan kaya dengan literatur yang meyakinkan. Buku ini dibagi dalam dua bagian yakni bagian I tentang masa kini yang mengulas tentang kekerasan dan perdamaian, otoritarianisme dan demokrasi, serta ketertinggalan sosioekonomi dan pembangunan.
Selain itu, bagian II tentang sejarah mengulas tentang kemajuan : para sarjana dan pedagang (abad ke-7 hingga ke-11), krisis : invasi (abad ke-12 hingga ke-14), kekuasaan : tiga imperium Muslim (abad ke-15 hingga ke-17), keruntuhan : kolonialisme barat dan para reformis Muslim (abad ke-18 hingga ke-19).
Setelah kejatuhan Imperium Romawi Barat pada 476, Eropa Barat mengalami kekacauan politik dan permasalahan ekonomi selama berabad-abad. Ketika Nabi Muhammad (570-632) menyebarkan ajaran Islam di Jazirah Arab, ada dua imperium kuat di sekelilingnya : Byzantium dan Sasaniyah.
ADVERTISEMENT
Sepanjang era Empat Khalifah (Abu Bakar, Umar, Ustman, dan Ali, 632-661), Muslim menaklukkan Sasaniyah dan menduduki semua bekas wilayah Byzantium di Timur Tengah (kecuali Anatolia). Selama era Dinasti Umayyah (661-750), wilayah Muslim diperluas ke Transoxiana di timur dan Semenanjung Iberia di barat. Mengingat lokasi geografisnya yang sentral, Muslim mengambil kendali jalur perdagangan utama antara Tiongkok, India, dan Eropa.
Dinasti Abbasiyah (750-1258) menggantikan Umayyah di semua wilayah Muslim kecuali Andalusia di Iberia, di mana Dinasti Umayyah terus memerintah sebagai negara merdeka (756-929) dan selanjutnya menjadi kekhalifahan merdeka (929-1031). Di wilayah-wilayah lain, Abbasiyah secara bertahap kehilangan kendali, dan berbagai penguasa lain muncul. Pada 945, para khalifah Abbasiyah kehilangan kedaulatan bahkan di Baghdad (digantikan Buwaihi Syiah).
ADVERTISEMENT
Buku Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan karya Ahmet T Kuru, guru besar ilmu politik dan direktur Center for Islamic and Arabic Studies di San Diego University. (foto: M Roqib)
Menurut Ahmet T. Kuru, antara abad ke-8 dan ke-11, para pedagang dan sarjana menghasilkan pencapaian-pencapaian besar di dunia Muslim. Masyarakat Muslim memiliki ciri-ciri yang sama dengan masyarakat Eropa Barat pada masa Renaisans-intelektual yang kreatif dan pedagang yang berpengaruh. Selama periode itu, sebagian besar ulama tidak mengabdi kepada negara; mereka didanai hasil perdagangan dan menganggap interaksi dengan para penguasa sebagai tindakan korup.
Baghdad menjadi pusat ilmu, tapi ada banyak kota Muslim penting lain dengan perpustakaan besar dan para sarjana penting, seperti Damsyik dan Halab di Suriah; Basrah di Irak; Nisyapur, Rayy, dan Thus di timur laut Iran, dan Balkh, Bukhoro, Urgenc, dan Merw di Asia Tengah. Dinasti Fathimiyah, berpusat di Mesir, juga membangun perpustakaan-perpustakaan penting.
ADVERTISEMENT
Pada akhir abad ke-10, Khalifah Aziz memiliki perpustakaan di Kairo dengan koleksi buku diperkirakan 200.000 hingga di atas satu juta. Sebagai perbandingan, biara dan perpustkaan katedral di Eropa Barat antara abad ke-9 dan ke-11 umumnya hanya memiliki 500 buku. Pusat studi Muslim lainnya adalah Andalusia. Untuk mempromosikan pendidikan, Khalifah Hakam II (memerintah 961-976) mendanai beberapa sekolah dan perpustakaan di ibukotanya, Cordoba. Perpustakaan Hakam di Cordoba memiliki sekitar 400.000 buku.
Filsuf dan ilmuwan terkemuka muncul dalam suasana apresiasi intelektual itu. Pada abad ke-9, Khawarizmi belajar matematika, geografi, dan astronomi. Istilah “algoritma” berasal dari nama latin Khawarizmi, Algoritimi, dan istilah “aljabar” muncul dari “al-jabr”, kata yang menjadi judul salah satu buku Khawarizmi. Ilmuwan abad ke-9 lain yang berasal dari Baghdad ialah Kindi, seorang ahli berbagai bidang yang dikenal sebagai perintis filsafat di kalangan Muslim.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ada Abu Bakar Razi (sekitar 854-925), seorang dokter terkemuka di Baghdad, Farabi (sekitar 878-950) seorang filsuf, yang tinggal di berbagai kota seperti Baghdad, Damsyik, dan Halab. Ia menulis tentang politik, logika, psikologi, dan musik. Ibnu Haitsam (Alhazen) (965-1040) muncul sebagai ahli matematika dan astronomi yang terkenal. Bekerja di Kairo, Ibnu Haitsam memberikan kontribusi penting di bidang optik.
Terakhir yang tidak kalah penting, dua orang sarjana sezaman di Asia Tengah, Biruni (973-1048) dan Ibnu Sina (980-1037) menjadi raksana intelektual di dunia Muslim. Biruni mempelajari berbagai bidang, seperti astronomi, geografi matematis, sejarah dan agama. Ibnu Sina memiliki dampak paling bertahan lama di filsafat Muslim. Karya filsafat Ibnu Sina terus menerus ditantang dan dilawan mengingat “penetrasi filsafatnya di semua kehidupan intelektual muslim”.
ADVERTISEMENT
Perkembangan intelektual dunia Muslim mulai menurun sejak abad ke-11 yang ditandai Kesultanan Seljuk yang membentuk persekutuan ulama-negara. Formasi itu didasari dua transformasi besar, yakni kelas militer mulai mendominasi ekonomi dan memperlemah kaum pedagang, dan kedua didirikannya madrasah Nizhamiyah, ortodoksi Sunni dikonsolidasikan dan diperkuat, sementara para ulama semakin banyak yang menjadi abdi negara. Perubahan ideology dan kelembagaan itu perlahan-lahan menyingkirkan kalangan filsuf dan sarjana Islam yang independen.
Selain itu, krisis di dunia Muslim juga diperparah dengan serbuan dari Eropa Barat (tentara Salib) dan Asia Tengah (Mongol). Kondisi itu membuat masyarakat Muslim mencari perlindungan di bawah kepemimpinan militer dan elite agama. Akhirnya, model persekutuan ulama-negara model Seljuk diadaptasi dan diadopsi oleh imperium-imperium Muslim berikutnya, terutama Ayyubi/Mamluk, Osmani, Shafavi, dan Mughal. Maka relasi kelas dominan di dunia Muslim selama dan sesudah abad 11 mirip dengan relasi kelas di Eropa pada awal zaman pertengahan : elite gereja dan militer mendominasi masyarakat kemudian menghalangi tumbuhnya kalangan intelektual dan pedagang.
ADVERTISEMENT
Pada abad ke-12, Andalusia melahirkan filsuf-filsuf penting terkemuka, di antaranya adalah Ibnu Rusyd (1126-1198) dan Ibnu Khaldun (1332-1406). Namun pada masa itu, pendekatan filosofis yang diwakili oleh Ibnu Rusyd kebanyakan terpinggirkan dalam pemikiran politik Ilsam antara abad ke-12 dan ke-14. Pemikiran dan karya-karya Ibnu Rusyd dan Ibnu Khaldun kurang dihiraukan oleh masyarakat Muslim, tetapi diapresiasi oleh masyarakat Eropa.
Pengaruh keilmuan Muslim terhadap Eropa mengalir melalui penerjemahan buku-buku berbahasa Arab ke dalam bahasa Latin dan Ibrani. Semenanjung Iberia, termasuk Toledo, yang ditaklukkan kembali oleh Katolik pada 1085, menjadi pusat penerjemahan itu. Penerjemahan karya-karya berbahasa Arab berlanjut di beberapa penjuru Eropa, seperti Perancis selatan, pada abad ke-12 dan ke-13. Buku-buku bahasa Arab yang diterjemahkan termasuk karya-karya asli Muslim dan terjemahan buku-buku berbahasa Yunani dalam bahasa Arab.
ADVERTISEMENT
Dari abad ke-12 hingga abad ke-14, Muslim didera kehancuran akibat invasi Tentara Salib, Mongol, dan Temur. Namun, Muslim pulih secara geopolitik setelah invasi tersebut dengan mengalahkan tentara Salib, mengislamkan Mongol, dan mendirikan imperium-imperium yang kuat. Dampak buruk yang sungguh-sungguh bertahan lama dari invasi-invasi itu adalah eratnya persekutuan ulama-negara. Serangan-serangan itu mempertegas kebutuhan keberlangsungan hidup dan tatanan, memperkuat elite-elite militer dan persekutuannya dengan ulama yang melemahkan para filsuf dan pedagang di seluruh penjuru dunia Muslim, terutama di Suriah dan Mesir.
Namun sayang, fokus utama Imperium Muslim yakni Osmani, Shafavi, Mughal pada abad ke-14 hingga abad ke-19 hanya pada militer. Hal ini tercermin dari pemilihan teknologi Eropa Barat yang dipakai. Di antara tiga teknologi yang digunakan secara efektif oleh Eropa Barat – mesiu, percetakan, dan kompas laut – ketiga imperium Muslim hanya secara efektif hanya memakai mesiu, yang sesuai dengan kepentingan elite militer yang berpengaruh. Imperium-imperium ini tidak mendirikan mesin cetak (hingga adanya mesin cetak Osmani pada 1727) atau tertarik dengan kompas laut.
ADVERTISEMENT
Padahal, pada masa itu, percetakan, mesiu dan kompas laut telah mengubah wajah dan kondisi berbagai hal di muka bumi. Percetakan mengubah literature, mesiu mengubah seni perang, dan kompas laut mengubah navigasi.
Antara abad ke-15 hingga abad ke-17, Eropa Barat mencapai kemajuan di bidang intelektual, ekonomi, dan militer yang disebut sebagai “kebangkitan Barat”. Banyak sarjana dan filsuf yang menjadi motor kemajuan intelektual di Eropa seperti Descartes (1596-1650) di Belanda. Descartes ahli matematika terkemuka dan dipandang sebagai pendiri rasionalisme. Filsuf utama rasionalisme lainnya yakni Baruch Spinoza (1632-1677) dan Hugo Grotius (1583-1645).
Inggris mencapai kemajuan di bidang pendidikan, filsafat, dan sains. Cambridge dan Oxford menjadi universitas terkemuka di Eropa. Francis Bacon (1561-1626), seorang penganjur sains modern dan filsuf, menjadi salah satu pelopor empirisme. Lalu, John Locke (1632-1704) menulis teks dasar empirisme. Harvey (1578-1657) merupakan dokter pertama yang bereksperimen membedah peredaran darah besar di seluruh tubuh manusia. Inggris juga melahirkan Newton (1643-1727) yang dianggap memuncaki revolusi sains yang diawali oleh Kopernikus.
ADVERTISEMENT
Ringkasnya, kebangkitan Eropa Barat dihasilkan melalui proses tumpang tindih renaisans, revolusi cetak, reformasi Protestan, penemuan geografis, dan revolusi sains. Sepanjang periode itu, dunia Muslim tak menghasilkan perkembangan yang setara atau belajar dari pengalaman Eropa. Eropa Barat jelas telah melampaui dunia Muslim dalam ranah ilmu alam dan filsafat pada awal abad ke-17.
Pada awal abad ke-17, tiga imperium Muslim yang kuat – Osmani, Shafavi, dan Mughal – memerintah wilayah yang luas. Dua abad kemudian, ketiganya kehilangan dominasi militer dan menghadapi krisis politik dan sosioekonomi yang kompleks. Persekutuan ulama-negara menghalangi munculnya sarjana independen dan meminggirkan pedagang. Secara intelektual dan ekonomi, Muslim menjadi kehilangan kreativitas dan tidak tertarik kepada kemajuan Eropa, termasuk revolusi cetak dan revolusi sains.
ADVERTISEMENT
Eropa Barat mengalami perkembangan yang signifikan pada abad ke-15 dan ke-17. Kaum intelektual dan borjuis berperan utama dalam perkembangan yang saling terkait. Renaisans bukan hanya mempromosikan minat kepada tubuh manusia dan alam, melainkan juga seni dan filsafat. Revolusi cetak menyebabkan peningkatan produksi buku dan literasi dalam tingkat yang tidak pernah dicapai sebelumnya. Penemuan-penemuan geografis memperbesar kapasitas dagang Eropa.
Kaum intelektual dan borjuis di Eropa Barat berperan besar dalam proses-proses kompleks seperti Pencerahan, Revolusi Amerika dan Perancis, Revolusi Industri, yang mengubah masyarakat dan negara Eropa Barat dan Amerika Utara. Proses-proses itu berkontribusi ke hidupnya dunia intelektual, partisipasi politik, kekuatan ekonomi, dan kekuatan militer negara-negara barat. Sebaliknya, suasana intelektual dan perdagangan di dunia Muslim kurang bergairah. Negara-negara Muslim tidak mengalami revolusi filsafat, politik, sains atau teknologi. Maka, negara-negara Muslim menjadi lebih lemah secara politik dan militer daripada negara-negara barat.
ADVERTISEMENT
Negara-negara barat memanfaatkan kekuatannya untuk secara langsung atau tidak langsung menjajah (kolonialisme) sebagian besar bagian dunia, termasuk negeri-negeri Muslim. (*/kik).
Identitas buku:
Judul buku: Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan
Penulis: Ahmet T. Kuru
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tahun terbit: Desember 2020
ISBN: 978-602-481-517-2
Tebal halaman: 486
Penulis: Muhammad Roqib SH MH *Penulis resensi buku adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Gresik
Editor: Muhammad Roqib SH MH
Publisher: Imam Nurcahyo
Story ini telah dipublish di: https://beritabojonegoro.com