Konten Media Partner

Resensi Buku: Titik Nol, Makna Sebuah Perjalanan

21 September 2021 10:30 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi: Cover buku “Titik Nol” Makna Sebuah Perjalanan, karya Agustinus Wibowo. (istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Cover buku “Titik Nol” Makna Sebuah Perjalanan, karya Agustinus Wibowo. (istimewa)
ADVERTISEMENT
Buku berjudul “Titik Nol” Makna Sebuah Perjalanan, karya Agustinus Wibowo, sangat menarik dan layak untuk dibaca, terutama bagi mereka yang suka menjelajah di negeri-negeri nan jauh. Buku ini tidak sekadar mengenalkan tentang tempat-tempat yang indah dan petualangan alam yang memesona sebagaimana buku petualangan pada umumnya.
ADVERTISEMENT
Agustinus Wibowo justru menjelajah negeri-negeri yang sulit ditembus, negeri yang dilanda konflik, dan ketegangan. Agustinus juga melakukan perjalanan dengan cara yang tidak biasa, berinteraksi dan akrab dengan masyarakat setempat, menelusuri jiwa dan kebudayaan masyarakat setempat.
Dia beberapa kali bahkan nyaris kehilangan nyawa karena berada di cuaca yang ekstrem, berada di tengah konflik bersenjata, menjadi korban pencurian, dan menderita sakit yang parah di negeri asing.
Agustinus Wibowo mampu beradaptasi dan menikmati perjalanan yang tidak biasa ini dengan sangat baik. Perjalanan Agustinus dimulai ketika ia dikuliahkan oleh orangtuanya ke Universitas Tsinghua, perguruan tinggi terbaik di China. Ia harus beradaptasi dengan cuaca, lingkungan, dan orang-orang baru di negeri leluhurnya itu. Agustinus Wibowo seorang keturunan Tionghoa dan orangtuanya ingin sekali ia belajar di negeri leluhurnya itu.
ADVERTISEMENT
Namun, Agustinus tidak seperti yang diharapkan oleh orangtuanya. Ia suka berpetualang dan menjelajah. Saat liburan kuliah, ia memilih menjadi backpacker berkunjung ke Xinjiang dan ingin bertemu dengan etnis Uyghur. Padahal, untuk masuk ke Xinjiang dan bisa ketemu Muslim Uyghur itu sangat sulit. Pemerintah China membatasi dan bahkan melarang orang asing bisa masuk ke Xinjiang.
Tidak berhenti di situ, ia melanjutkan perjalanan menjelajahi Tibet di pegunungan Himalaya. Himalaya disebut juga sebagai atap dunia. Cuaca ekstrem, medan yang berat, dan banyaknya pos pemeriksaan di Tibet membuat Agustinus harus berjuang untuk bisa mencapai tempat-tempat yang dituju.
Ia juga menceritakan tentang ritual-ritual yang dilakukan oleh para Biksu dan umat Budha di Tibet, pengalaman spiritual, pandangan hidup, dan kebudayaan masyarakat Tibet. Orang Tibet yang sampai saat ini masih terus dicurigai oleh pemerintah China karena ingin memisahkan dari China daratan, juga diceritakan dengan sangat detail oleh Agustinus.
ADVERTISEMENT
Namun dalam bukunya ini, Agustinus mengungkapkan sisi lain dari ritual-ritual yang diselenggarakan di Tibet tidak lagi murni. Ritual itu diselenggarakan lebih banyak untuk menarik minat turis dan setiap tempat ritual itu memungut biaya yang tidak sedikit bagi turis. Tibet tidak lagi seperti dulu.
Ilustrasi: Cover buku “Titik Nol” Makna Sebuah Perjalanan, karya Agustinus Wibowo. (istimewa)
Dari Tibet, ia melanjutkan perjalanan ke Nepal. Negeri di lereng Gunung Everest ini menawarkan eksotisme bagi para penjelajah dan petualang. Saat di Nepal ini, ia bertemu dengan banyak backpacker atau penjelajah lainnya dari banyak negara. Ia menginap di losmen murah di Kathmandu, ibukota Nepal. Dan saat di Nepal inilah ia bertemu dengan Lam Li, seorang backpacker perempuan dari Malaysia yang nantinya ia bertemu beberapa kali di dalam perjalanan selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Di Nepal ini, Agustinus menceritakan banyak hal yang kontras. Di sisi lain banyak tempat-tempat hiburan berdiri di Kathmandu untuk menjamu para turis. Namun, di sisi lain Nepal juga diselimuti dengan kemiskinan dan penderitaan. Nepal menawarkan surgawi di sisi lain tetapi juga menawarkan sisi kelam.
Saat di Nepal ini Agustinus kehilangan dompet yang berisi uang tunai dan juga semua identitas dirinya. Ia seperti tak lagi punya arah untuk melangkah. Namun akhirnya, ia tetap melanjutkan perjalanan ke India.
Dari Nepal ke India, ia melakukan perjalanan dengan naik kereta api berhari-hari. Berdesakan di kereta api yang kumuh adalah hal yang biasa dialaminya. Akhirnya sampai juga dia di India. Namun, India bukanlah seperti yang ada dalam film-film Bollywood, kata Agustinus.
ADVERTISEMENT
Di India, laki-laki bisa dengan seenaknya kencing di tepi jalan tanpa khawatir. Orang-orang tidur di stasiun, tepi jalan, adalah pemandangan yang biasa. Kesan kumuh, kotor, semrawut, adalah pemandangan yang umum di India.
Tak hanya itu, orang-orang India juga sulit dipercaya. Bagi orang asing yang tidak paham orang India akan dengan mudah sekali menjadi korban tipu-tipu yang dilakukan oleh orang-orang India. Di India, Agustinus menginap di losmen murah di dekat stasiun kereta api. Di India ini pula dia bertemu lagi dengan Lam Li, penjelajah perempuan asal Malaysia, yang sebelumnya pernah bertemu. India juga menawarkan eksotisme lain, yakni laki-laki yang sangat mudah merayu, dan berahi yang tinggi.
Namun, India juga menawarkan sisi eksotisme lainnya yakni para pertapa Hindu dan tempat-tempat kuno yang menarik. Selama di India, Agustinus menjelajah banyak tempat bersama Lam Li, yang dia anggap sebagai kakaknya, ibunya, juga sekaligus pacarnya. Lam Li dia anggap sebagai guru yang mengajarkan banyak makna petualangan dan penjelajahan. Namun, tidak ada ikatan yang terlalu lama sesama backpacker. Akhirnya, Agustinus dan Lam Li harus berpisah melanjutkan perjalanan masing-masing.
ADVERTISEMENT
Agustinus melanjutkan perjalanan ke Pakistan, menyeberangi perbatasan India-Pakistan. Ia bercerita bagaimana India dan Pakistan yang dulunya adalah tanah Punjab itu kemudiah terpisah. Orang India dan orang Pakistan sampai saat ini saling bersaing dan saling mencurigai.
Di Pakistan, Agustinus merasakan keramahtamahan dan keakraban masyarakatnya. Namun, Pakistan juga menawarkan sisi lain sebagai negera republik Islam. Bagaimana kehidupan keagamaan Islam begitu kuat di Pakistan. Para perempuan tidak boleh berada di tempat-tempat umum tanpa didampingi atau ditemani ayahnya, kakaknya, atau pelindungnya. Semua hal di negeri Pakistan dikaitkan dengan agama.
Di Pakistan, Agustinus menjalin hubungan akrab dengan masyarakatnya. Ia juga membantu para korban bencana alam di Kashmir untuk beberapa lama. Setelah kondisi korban bencana gempa di Kashmir pulih, Agustinus memilih melanjutkan perjalanan ke negeri perang, Afghanistan.
ADVERTISEMENT
Saat itu, Taliban yang berkuasa beberapa tahun di Afghanistan ditaklukkan oleh pasukan Nato dan Amerika Serikat. Namun, peperangan dan konflik masih terus berlanjut. Setiap saat suara dentuman bom, rentetan tembakan, penculikan, kekerasan adalah hal-hal yang biasa terjadi negeri perang ini.
Agustinus saat itu dipercaya menjadi seorang fotografer untuk sebuah media lokal di Afghanistan. Ia berada di tengah-tengah konflik, mengambil foto kejadian-kejadian bom, penembakan, penculikan dan lainnya. Ia juga nyaris jadi korban penculikan pada suatu malam.
Namun, saat berada di Afghanistan ini, ia mendapatkan kabar dari kampung halaman, dari orang tuanya, bahwa mamanya sedang sakit, mengidap kanker.
Dengan berat hati, ia pun akhirnya memilih pulang, mengobati mamanya dengan dibawa ke Beijing, China. Namun, pada akhirnya mamanya berpulang. Perjalanannya menjelajah negeri-negeri jauh ini ia ceritakan dan persembahkan untuk mamanya yang telah berpulang. (*/kik)
ADVERTISEMENT
Judul buku: Titik Nol, Makna Sebuah Perjalanan
Penulis: Agustinus Wibowo
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2020
Lembar halaman 552 halaman
Penulis: Oleh Muhammad Roqib *Penulis resensi buku adalah Pegiat Kampung Ilmu Bojonegoro.
Editor: Muhammad Roqib
Publisher: Imam Nurcahyo
Story ini telah dipublis di: https://beritabojonegoro.com