news-card-video
14 Ramadhan 1446 HJumat, 14 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Privatisasi Laut: Modus Baru Perampasan Ruang Publik

Berliana Sukma Fadzilah
Mahasiswa PKN STAN
13 Maret 2025 11:21 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berliana Sukma Fadzilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber ilustrasi: Freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber ilustrasi: Freepik.com
ADVERTISEMENT
Masih ingatkah permasalahan mengenai pagar bambu sepanjang 30,16 km yang membentang di kawasan pesisir Tangerang? Kasus tersebut viral ketika Ketua Front Kebangkitan Petani dan Nelayan, Heri Amrin Fasa mengadu ke Ombudsman, Jakarta karena tidak mendapat solusi dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten.
ADVERTISEMENT
Pejabat dinas mengklaim bahwa mereka tidak punya wewenang untuk mencabut pagar bambu yang didirikan tanpa izin itu. Tidak hanya di Tangerang, kasus pagar laut itu ternyata juga dijumpai di sejumlah daerah, seperti di Bekasi, Bali, Makassar, dan Surabaya. Diduga kuat latar belakang pembangunan maupun pelaku di balik pagar laut itu juga sama.
Pagar laut yang melintasi 16 desa yang berada di enam kecamatan kini berhasil dibongkar oleh TNI AL. Pembongkaran dilakukan selama 11 hari di antara 18 Januari sampai 13 Februari 2025 kemarin. Walaupun sebelumnya sempat terjadi polemik antara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan TNI AL. KKP tidak setuju dengan langkah TNI AL yang membongkar pagar bambu karena dapat menjadi barang bukti yang menjerat pelakunya.
ADVERTISEMENT
Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, dengan Direktur Penanganan Sengketa Pertanahan Kementerian ATR/BPN, Eko Prianggodo, juga sempat berbeda pendapat. Nusron mengatakan bahwa terdapat bidang lahan dari pagar laut yang telah tersertifikasi. Akan tetapi, penerbitan SHGB dan SHM pagar laut tidak sesuai prosedur dan cacat material karena berada di luar garis pantai alias di atas laut sehingga dapat mudah dicabut dan dibatalkan status hak atas tanahnya. Padahal, menurut undang-undang, laut adalah milik umum yang tidak boleh dimiliki pribadi atau golongan sehingga tidak boleh ada sertifikat. Di sisi lain, Eko menyatakan bahwa pagar laut tersebut tidak dalam penguasaan pihak mana pun dan sampai sekarang tidak ada hak kepemilikan yang terbit di area pagar laut.
ADVERTISEMENT
Silang pendapat antara para pejabat menunjukkan lemahnya aturan yang dibuat. Banyak celah dari aturan yang dapat dipermainkan sehingga tindakan yang merugikan rakyat dan negara bisa dianggap legal. Dengan memanfaatkan celah aturan, lahan pun dapat dimiliki walaupun masih berupa laut. Ke depannya, reklamasi dapat menjadi peluang besar untuk membangun lahan di atas laut yang sudah tersertifikasi. Proyek di daratan pun ternyata tidak cukup sehingga laut pun dikaveling untuk mengais keuntungan sebanyak mungkin. Sungguh miris.
Melihat kondisi ini, wajar jika masyarakat mempertanyakan peran negara. Mengapa bisa terjadi kasus pemagaran laut secara masif dan luas? Mengapa ada Sertifikat Hak Milik dan Hak Guna Bangunan yang terbit di atas laut? Bukankah itu illegal? Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat 3 telah disebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Negara seharusnya melindungi kepemilikan umum, bertindak tegas, dan tidak membiarkan korporasi mengambil alih tugas yang seharusnya dilakukan oleh negara, apalagi ini menyangkut kesejahteraan rakyat.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus ini, rakyat terutama nelayan sangat dirugikan dengan adanya pemagaran itu. Ruang tangkap ikan menjadi terbatas dan menambah jarak tempuh pelayaran karena area pemagaran yang tidak bisa dijangkau nelayan. Ekosistem pun berpotensi terancam. Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), tidak ada manfaat untuk mencegah abrasi laut dalam pembangunan pagar bambu di Laut Pantura seperti klaim sebagian orang. Malah pagar-pagar itu dapat merusak lingkungan karena menghambat laju arus laut, memicu keruhnya air laut, dan menimbulkan penumpukan sedimen akibat terhalang pagar bambu yang menancap di pasir laut.
Kekhawatiran rakyat juga terjadi karena pemufakatan jahat antara pejabat dengan pengusaha sehingga terjadi pembiaran konstruksi pagar laut bahkan sampai terbit HGB dan SHM. Kejadian seperti ini—konstruksi pagar laut—dikhawatirkan meluas dengan mengatasnamakan Proyek Strategis Nasional (PSN). Pasalnya, banyak konflik agraria dan pertanahan yang dipicu oleh PSN.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan laporan Konsorsium Perbaruan Agraria (KPA), sepanjang 2024, pembangunan infrastruktur menjadi penyebab nomor dua konflik agraria. Sebanyak 36 dari 79 kasus agraria bidang infrastruktur, disebabkan oleh pengadaan tanah untuk PSN. PSN ini mencakup kawasan industri, kota baru, pariwisata atau infrastruktur; fasilitas umum; pembangkit listrik; Ibu Kota Nusantara (IKN); bendungan; hingga bandar udara. Peraturan yang tidak jelas dalam melindungi kepemilikan lahan adalah salah satu penyebab konflik lahan, termasuk kawasan perairan. Akibatnya, terjadi penyerobotan lahan warga oleh warga lainnya, korporasi, bahkan negara.
Negara harus menerapkan aturan yang jelas dalam kasus kepemilikan lahan ini. Kepemilikan lahan dibagi menjadi tiga, yakni milik pribadi, milik umum, dan milik negara. Wajib disahkan sanksi tegas bagi pelaku yang merampas hak milik pihak lain. Dalam hal pembangunan, negara pun tidak boleh merampas lahan milik rakyat/perorangan. Negara wajib memberikan kompensasi atau membeli lahan warga dengan cara yang disetujui oleh pemilik lahan. Begitu pula dengan kawasan laut yang merupakan milik umum, terbuka untuk dimanfaatkan oleh siapa saja, tidak boleh dikuasai oleh perorangan atau perusahaan swasta. Negara jelas tidak boleh mengeluarkan izin eksklusif bagi segelintir orang atau korporat untuk menguasai sebagian kawasan laut.
ADVERTISEMENT
Etika dan anti korupsi harus dijunjung di segala lini kehidupan. Negara harus membangun budaya anti korupsi, kolusi, nepotisme dan menerapkan sanksi tegas, seperti merampas semua aset dan mengasingkan koruptor yang merampas hak orang lain. Tempatkan mereka di penjara terasing di dunia dengan suasana mencekam. Sanksi harus berfungsi sebagai pencegah dan penebus. Dengan demikian, orang lain yang bukan pelanggar hukum tercegah untuk melakukan tindak kriminal yang sama dan akan membuat jera pelaku.
Calon para pejabat dan penguasa di negeri ini seharusnya dapat dibuatkan surat kontrak selama mengemban amanah. Surat kontrak berisi hak, wewenang, kewajiban, sanksi jika melanggar, disertai dengan tanda tangan meterai di atas hukum. Hal ini bermaksud agar ketika berkuasa, pejabat dan penguasa akan berpikir dua kali ketika bertindak kriminal. Hal ini juga dilakukan karena mereka sangat pemberani, tidak efektif jika hanya disumpah dengan kitab suci.
ADVERTISEMENT