Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Tantangan ASEAN dan UNSC Mengatasi Kudeta Myanmar: Prinsip Non-Intervensi
11 Januari 2024 14:32 WIB
Tulisan dari Doni Alif tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Prinsip Non-Intervensi ASEAN vs Pemulihan Demokrasi: Dinamika Penyelesaian Kudeta Myanmar
ADVERTISEMENT
Kudeta militer di Myanmar yang terjadi pada tanggal 1 Februari 2021 telah menciptakan situasi politik yang kompleks dan penuh ketegangan di negara tersebut. Militer Myanmar mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan yang sah dan menahan pemimpin sipilnya, Aung San Suu Kyi, bersama dengan beberapa pejabat NLD lainnya. Alasan yang diberikan oleh militer untuk kudeta ini adalah tuduhan kecurangan dalam pemilu yang diadakan sebelumnya. Meskipun Komisi Pemilihan Myanmar telah menyatakan bahwa tidak ada bukti yang mendukung klaim ini, kudeta tetap terjadi.
ADVERTISEMENT
Kudeta tersebut memicu respons keras dari rakyat Myanmar, yang melakukan demonstrasi besar-besaran untuk mengecam kudeta dan meminta pembebasan pemimpin sipil yang dipenjara. Respons pemerintah terhadap demonstrasi ini sangat keras, dengan polisi menggunakan kekuatan militer seperti meriam air, peluru karet, dan peluru tajam untuk membubarkan para pengunjuk rasa. Situasi menjadi semakin tegang, dan jumlah korban tewas terus meningkat, dengan lebih dari 54 orang tewas akibat tindakan pasukan keamanan.
Pada tingkat internasional, PBB telah mengutuk kudeta tersebut dan meminta pembebasan pemimpin sipil yang ditahan. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres telah menyuarakan keprihatinan dan menyerukan agar semua pihak di Myanmar "menahan diri semaksimal mungkin" dan "membebaskan semua pihak tanpa ada kekerasan atau penahanan." Meskipun PBB memiliki peran dalam memantau dan merespons situasi, organisasi ini tidak memiliki kekuatan untuk mengambil tindakan langsung terhadap kudeta tersebut.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pada tanggal 1 Februari 2023, saat merayakan dua tahun sejak kudeta militer diumumkan, situasi di Myanmar masih belum membaik. Pemimpin militer Myanmar, Min Aung Hlaing, mengumumkan niat untuk mengadakan pemilu ulang pada Agustus 2023, yang telah menimbulkan kontroversi dan penolakan luas di seluruh dunia. Organisasi ASEAN juga diharapkan untuk mengambil sikap tegas terkait kehadiran perwakilan junta militer Myanmar dalam pertemuan-pertemuan regional.
Di bawah kepemimpinan Indonesia sebagai Ketua ASEAN, penting untuk memahami dan mengkaji bagaimana prinsip non-intervensi yang dianut oleh ASEAN memengaruhi dinamika penyelesaian krisis kudeta di Myanmar. Penelitian ini akan menganalisis peran ASEAN dan UNSC dalam konteks ini, serta sejauh mana prinsip non-intervensi menjadi penghambat atau faktor dalam mengatasi krisis ini. Dengan latar belakang ini, penelitian akan membahas dan mengkaji secara mendalam peran dan dampak prinsip non-intervensi ASEAN dalam penyelesaian kudeta militer di Myanmar 2021-2023.
ADVERTISEMENT
Teori Sekuritisasi adalah sebuah teori dalam hubungan internasional yang dikembangkan oleh Sekolah Kopenhagen yang dipimpin oleh Barry Buzan, Ole Wœver, Jaap de Wilde, dan lainnya. Teori ini mengusulkan bahwa keamanan tidak hanya terkait dengan ancaman militer, tetapi juga dengan ancaman non-militer seperti ancaman ekonomi, lingkungan, dan sosial. Konsep utama dalam teori sekuritisasi adalah kompleks keamanan, yang merupakan wilayah geografis yang terdiri dari negara-negara yang saling tergantung dalam hal keamanan. Dalam kompleks keamanan, negara-negara saling terhubung dalam jaringan kompleks hubungan keamanan yang memengaruhi satu sama lain. Teori sekuritisasi menekankan pentingnya kerja sama antara negara-negara dalam menghadapi ancaman keamanan internasional dan menekankan pentingnya pendekatan multilateral dalam hubungan internasional.
Terdapat beberapa konsep dalam sekuritisasi untuk menunjukkan bagaimana aktor melakukan sekuritisasi, seperti securitizing actors (aktor sekuritisasi), speech act (pidato), existential threat (ancaman eksistensial), referent object (objek referensi), audience (pendengar) dan functional actor (aktor fungsional). Functional actor (aktor fungsional) adalah aktor yang mempengaruhi dinamika keamanan dalam sektor tertentu tanpa perlu menjadi referent object. Aktor fungsional dapat mempengaruhi keputusan dalam masalah keamanan secara signifikan.
ADVERTISEMENT
Dalam penelitian ini kami akan menggunakan aktor fungsional yaitu United Nation Security Council (UNSC), UNSC memiliki tanggung jawab terhadap perdamaian dan keamanan internasional, sehingga situasi ini menjadi perhatian mereka. Keberadaan UNSC dapat menciptakan tekanan diplomatik, berperan sebagai mediator, dan mengeluarkan resolusi yang dapat memengaruhi tindakan internasional dalam menangani krisis di Myanmar. Selain itu, sebagai studi kasus dalam konteks prinsip non-intervensi ASEAN, peran UNSC memberikan wawasan tentang bagaimana prinsip ini memengaruhi dinamika penyelesaian kudeta Myanmar.
SDGs 16 (Perdamaian, Keadilan, dan Institusi yang Kuat) dan 17 (Kemitraan untuk Tujuan) memiliki relevansi yang kuat dalam mengkaji krisis kudeta militer di Myanmar serta peran ASEAN dan UNSC dalam penyelesaiannya.
SDG 16: Perdamaian, Keadilan, dan Institusi yang Kuat
ADVERTISEMENT
1. Prinsip Non-Intervensi ASEAN dan Respons UNSC: Prinsip non-intervensi ASEAN, sementara mempertahankan kedaulatan negara, juga telah membatasi intervensi langsung dalam krisis Myanmar. Namun, hal ini juga menghambat aksi tegas yang mungkin dilakukan untuk memastikan perdamaian dan keadilan di Myanmar. Respons UNSC juga mungkin terbatas karena prinsip ini.
2. Upaya Menuju Perdamaian: Kudeta militer dan situasi politik yang kompleks telah menghambat upaya mencapai perdamaian di Myanmar. Konflik internal, respons keras pemerintah terhadap demonstrasi damai, dan keterlibatan militer telah mengganggu stabilitas dan perdamaian.
3. Keadilan dan Penegakan Hukum: Penahanan pemimpin sipil dan respons keras terhadap pengunjuk rasa telah menciptakan masalah keadilan yang serius. Pelanggaran hak asasi manusia dan penyalahgunaan kekuasaan telah menimbulkan kekhawatiran akan ketidakadilan dalam penegakan hukum.
ADVERTISEMENT
SDG 17: Kemitraan untuk Tujuan
1. Kerja Sama Internasional: Krisis di Myanmar membutuhkan kerja sama internasional yang kuat. Peran ASEAN dan upaya diplomatik UNSC menjadi kunci dalam mencari solusi yang efektif. Namun, prinsip non-intervensi ASEAN juga membatasi tingkat intervensi eksternal yang dapat dilakukan.
2. Peran ASEAN dan UNSC: ASEAN sebagai mediator regional memiliki peran dalam memfasilitasi dialog dan solusi yang berkelanjutan. UNSC, meskipun terbatas oleh kebijakan non-intervensi, dapat menggunakan pengaruh diplomatik dan tekanan untuk memfasilitasi resolusi yang mengarah pada perdamaian dan demokrasi di Myanmar.
3. Tujuan Bersama dalam Penyelesaian Krisis: Tujuan bersama antara negara-negara ASEAN, UNSC, dan organisasi internasional lainnya untuk mencapai perdamaian, keadilan, dan institusi yang kuat di Myanmar merupakan inti dari upaya untuk mengatasi krisis tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks SDGs 16 dan 17, upaya kolaboratif dan kerja sama antara ASEAN, UNSC, dan komunitas internasional lainnya sangat penting untuk memastikan penegakan perdamaian, keadilan, dan institusi yang kuat di Myanmar. Meskipun prinsip non-intervensi menjadi faktor yang membatasi tindakan langsung, kerja sama dan tekanan diplomatik tetap menjadi alat utama untuk mencapai tujuan tersebut.