Konten dari Pengguna

Menimbang Ambang Batas Calon Kepala Daerah untuk Demokrasi yang Lebih Inklusif

Bernadetta Marchela Maharani
Mahasiswa S1 Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Brawijaya
10 Oktober 2024 18:58 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bernadetta Marchela Maharani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
RUU Pilkada: Menimbang Ambang Batas Pencalonan Kepala Daerah untuk Demokrasi yang Lebih Inklusif (Image: Bernadetta Marchela Maharani, dibuat di Canva)
zoom-in-whitePerbesar
RUU Pilkada: Menimbang Ambang Batas Pencalonan Kepala Daerah untuk Demokrasi yang Lebih Inklusif (Image: Bernadetta Marchela Maharani, dibuat di Canva)
ADVERTISEMENT
Salah satu pilar demokrasi Indonesia, pilkada memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memilih pemimpin lokal yang dianggap mampu membawa perubahan dan kemajuan. Kebijakan yang diatur dalam RUU Pilkada saat ini terkait dengan ambang batas pencalonan kepala daerah menjadi perhatian utama. Sangat penting untuk menggali lebih dalam tentang bagaimana ambang batas ini memengaruhi partisipasi politik, keberagaman kandidat, dan tingkat demokrasi di Indonesia dalam diskusi ini.
ADVERTISEMENT
Sebagai hasil dari data yang dikumpulkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), lebih dari 60% calon yang berpartisipasi dalam Pilkada 2020 berasal dari partai politik yang kuat, sementara hanya sedikit kandidat yang memiliki dukungan signifikan dari pemilih. Ini menunjukkan bahwa ambang batas yang tinggi menghalangi kandidat-kandidat yang kreatif dan mungkin lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, yang menetapkan bahwa calon kepala daerah harus diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan perolehan suara minimal tertentu pada pemilihan legislatif sebelumnya, menetapkan ambang batas untuk pencalonan kepala daerah. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mencegah perpecahan politik dan memastikan bahwa kandidat memiliki dukungan masyarakat yang cukup. Namun, dalam kenyataannya, ambang batas yang tinggi cenderung menguntungkan partai politik yang kuat, sedangkan partai kecil dan kandidat independen cenderung kehilangan peluang.
ADVERTISEMENT
Melalui keputusan No.60/PUU-XXII/2024, Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah ambang batas untuk pencalonan kepala dan wakil kepala daerah untuk Pilkada Serentak 2024. Hal ini pasti mengejutkan banyak orang, terutama masyarakat. Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa ambang batas untuk pencalonan kepala daerah tidak lagi sebesar 20% kursi DPRD atau 25% perolehan suara partai politik hasil Pileg sebelumnya.
Ambang batas pencalonan yang tinggi juga dapat menyebabkan pemilih kurang terlibat dalam pemilihan. Bahwa partisipasi pemilih pada Pilkada 2020 turun dari 77,5% pada 2015, menurut survei Litbang Kompas. Penurunan ini dapat dikaitkan dengan fakta bahwa masyarakat tidak terlalu tertarik dengan pilihan kandidat yang terbatas, yang seringkali terdiri dari orang yang sama. Pemilih cenderung tidak menggunakan hak suaranya jika mereka percaya bahwa opsi yang tersedia tidak memenuhi aspirasi mereka.
ADVERTISEMENT
Sistem pemilihan umum yang efektif membutuhkan demokrasi yang inklusif. Perwakilan yang mencerminkan keanekaragaman masyarakat harus ada. Studi Bawaslu menunjukkan bahwa pemilih lebih cenderung memilih calon yang mereka kenal dan yang memenuhi kebutuhan dan pengalaman mereka. Dalam situasi seperti ini, pengurangan ambang batas pencalonan dapat memungkinkan lebih banyak kandidat lokal—termasuk dari partai kecil dan independen—untuk berpartisipasi dalam kontestasi politik.
Menurut sebuah studi yang diterbitkan oleh International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), sistem pemilihan yang memberikan akses lebih luas kepada kandidat dapat meningkatkan partisipasi pemilih karena masyarakat merasa lebih terwakili. Dengan lebih banyak pilihan, pemilih tidak hanya memiliki hak untuk memilih, tetapi juga memiliki kesempatan untuk memilih yang terbaik sesuai dengan harapan mereka. Dengan demikian, penting untuk menciptkan ketika berbicara tentang ambang batas, karena semuanya akan menjadi lebih mudah
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, mungkin ada baiknya untuk mempertimbangkan sistem ambang batas yang lebih fleksibel, yang dapat disesuaikan dengan karakteristik masing-masing daerah. Misalnya, ambang batas yang berbeda untuk daerah urban dan rural bisa menciptakan ruang bagi lebih banyak kandidat yang sesuai dengan konteks lokal. Dengan demikian, daerah yang lebih kecil dapat memiliki kesempatan untuk mengajukan calon yang lebih beragam, sementara daerah yang lebih besar tetap dapat mempertahankan stabilitas.
Peningkatan pendidikan politik masyarakat adalah langkah penting menuju demokrasi yang lebih inklusif. Banyak warga negara belum tahu betapa pentingnya mereka berpartisipasi aktif dalam pemilu. Sangat penting untuk memprioritaskan pendidikan tentang hak dan kewajiban sebagai pemilih serta pentingnya memilih pemimpin yang akan mewakili aspirasi mereka. Keterlibatan masyarakat dalam proses politik tidak hanya terbatas pada hari pemilihan; ia juga terlibat dalam diskusi publik, forum, dan kegiatan sosial yang berpendidikan.
ADVERTISEMENT
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat berkorelasi positif dengan partisipasi pemilih, menunjukkan betapa pentingnya partisipasi aktif ini. Kemungkinan orang untuk berpartisipasi dalam pemilu meningkat seiring dengan tingkat pendidikan mereka. Oleh karena itu, untuk mendorong partisipasi yang lebih luas, program pendidikan politik harus dipromosikan.
RUU Pilkada yang tengah dibahas di DPR memberikan kesempatan untuk merefleksikan kembali praktik pencalonan kepala daerah di Indonesia. Dengan mempertimbangkan data dan pengalaman yang ada, penting untuk mendorong kebijakan yang mendukung demokrasi yang lebih inklusif dan partisipatif.
Dengan membuka ruang bagi lebih banyak kandidat, terutama dari kalangan lokal dan independen, serta meningkatkan pendidikan politik bagi masyarakat, kita dapat menciptakan sistem yang lebih representatif. Sebuah demokrasi yang sehat adalah yang mampu menampung beragam suara dan aspirasi masyarakat. Dengan langkah-langkah yang tepat, kita dapat membangun masa depan politik Indonesia yang lebih beragam, inklusif, dan berorientasi pada kebutuhan rakyat.
ADVERTISEMENT