Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Q & A: Bahasa ala Anak Jakarta Selatan, Positif atau Negatif?
18 September 2018 2:09 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
Tulisan dari Bernadette Kushartanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Penggunaan bahasa “gado-gado” alias mencampur bahasa Indonesia dan Inggris dalam satu kalimat menjadi tren di kalangan anak muda. Konon, penggunaan bahasa tersebut awalnya datang dari tongkrongan anak Jakarta Selatan.
ADVERTISEMENT
Kali ini, saya ingin menanggapi fenomena yang cukup unik tersebut sesuai dengan perspektif pribadi saya sebagai peneliti bahasa anak/pengamat bahasa anak. Berikut beberapa pertanyaan yang sering saya dengar dan akan saya jawab, semoga bisa memenuhi rasa penasaran kalian mengenai fenomena ini.
Q: Apa yang memengaruhi munculnya bahasa campuran di kalangan anak muda Jakarta Selatan?
A: Hal ini dilatarbelakangi karena tingginya penggunaan bahasa Inggris selain bahasa Indonesia. Jadi, mau tidak mau, semakin orang mendengar, mengucapkan, membaca, maka sangat berpengaruh terhadap bahasa campuran. Jadi, karena adanya dua atau lebih bahasa yang hidup di kalangan masyarakat kita, mau tidak mau ini menjadi salah satu fenomena yang terjadi, dan itu umum terjadi pada tempat-tempat di mana beberapa bahasa hidup berdampingan.
ADVERTISEMENT
Q: Faktor-faktor apa saja pendorong seseorang mencampur bahasa dalam berkomunikasi?
A: Lingkungan dan pembangunan di Jakarta Selatan yang dihuni oleh masyarakat menengah ke atas menjadi salah satu faktor berkembangnya bahasa campuran dalam berkomunikasi. Saya kira faktor adanya bahasa-bahasa yang berdampingan, yang digunakan secara simultan oleh mereka. Membuat pencampuran bahasa itu sangat mungkin terjadi, tentu saja lingkungan itu berpengaruh.
Dalam otak seseorang, ada tempat-tempat tertentu di mana kita menyimpan memori tentang kata-kata tersebut. Penggunaan lebih dari satu bahasa membuat seseorang punya tempat dengan kata yang sama namun maknanya bisa berbeda atau sebaliknya, makna sama namun kata-katanya yang berbeda.
Ketika dia harus retrieve, harus mencari kata-kata tertentu, terjadilah pencampuran itu. Hal ini yang membuat seseorang dengan penggunaan lebih dari satu bahasa mencampur kata-kata tersebut. Itu adalah fenomena yang terjadi di kalangan kita.
ADVERTISEMENT
Q: Fenomena ini semakin menjamur, bahkan di kota lain, anak-anak muda mulai menirukan bahasa campuran yang dilakukan oleh anak muda di Jakarta Selatan. Apakah anak muda Indonesia kulturnya memang senang ikut-ikutan atau seperti apa?
A: Kembali kepada masyarakatnya. Saya kira hal itu semacam tren yang diikuti dan dianggap positif atau keren, bisa jadi hal itu bisa bertahan, istilahnya "indonenglish." Ada bahasa Inggris ada bahasa Indonesia, bahasa Inggris diucapkan dengan logat bahasa Indonesia.
Itu lumrah terjadi, juga dikatakan bahwa, ini satu fenomena anak muda di Jakarta selatan yang menjadi trendsetter untuk anak-anak muda zaman sekarang. Penggunaan bahasanya kok keliatan keren,” begitu ya. Saya kira, fenomena ini sama halnya seperti pakaian, gaya, dan sebagainya. Bahasa juga adalah salah satu cara mengidentifikasi, atau menunjukkan identitas mereka.
ADVERTISEMENT
Q: Apakah bahasa campuran bisa memengaruhi logika berpikir, menulis, hingga berargumentasi?
A: Sangat bisa, ini memang tergantung, bagaimana proses itu masuk di otak manusia. Kalau misalnya, seseorang bahasa pertamanya kuat, mungkin percampuran ini tidak terlalu berpengaruh besar. Jadi anak masih bisa memilah-milah bahasa pertamanya dulu, lalu bahasa kedua muncul. Tapi kalau ini secara simultan, yang terjadi, pilihan-pilihan kata yang ia ucapkan bisa saling bersaing.
Tapi juga, kan itu kosakata tertentu, seperti somehow, which is, literally, dan hanya kosakata tertentu yang dia ambil dan itu akan terserap dengan sendirinya, lama-lama kalau ini dipakai terus menerus sebagai bahasa yang tidak standar.
Bisa jadi, pilihan katanya bersifat selektif saja. Memang ada fenomena seperti ini. Ini yang disebut interferensi bahasa. Sama halnya kita belajar bahasa asing, pertama-tama pengaruh bahasa pertama kita biasanya lebih kuat, kita lebih didominasi bahasa-bahasa pertama kita sehingga hanya kosakata tertentu yang kita pilih atau kita seleksi. Karena itu menjadi salah satu pilihan yang paling dominan.
ADVERTISEMENT
Tapi, ada satu lagi juga, itu memang ikut-ikutan, misalnya “Wah kayanya, ini (kata) keren deh, kalau kita pilih kosakata seperti ini,” salah satunya untuk menunjukkan solidaritas dan identitas tadi. Sehingga, jadi bermacam-macam, ada yang memang ikut-ikutan, ada yang memang karena dia sedang belajar bahasa.
Tapi, kalau kita lihat (fenomena) sekarang, hanya kosakata tertentu yang dipilih, itu kan artinya memang sengaja dipakai, lama-lama itu akan menjadi kebiasaan. Sama halnya seperti kata campuran yang lain, misalnya “Aku lagi mau nge-charge hp nih”, kan dalam bahasa Indonesia tidak ada nge-charge, tapi (dalam bahasa Indonesia) “kita mau ngisi baterai”, (pada akhirnya orang memilih) lebih cepat dengan kata nge-charge. Atau “Aduh print dulu deh” kita enggak (memilih kata) “mencetak” kan. Jadi itu, ada pilihan-pilihan kata atau kosakata tertentu yang masuk dan lama-lama terintegrasi sendiri dengan bahasa kita. Jadi memang, prosesnya macam-macam.
ADVERTISEMENT
Q: Apakah fenomena ini berdampak positif atau negatif?
A: Saya tidak mengatakan negatif, kalau sebagai peneliti, ini sebuah fenomena menarik. Fenomena yang wajar terjadi di negara yang memiliki banyak bahasa. Kita ini memang masyarakat yang multilingual. Munculnya (fenomena) ini menurut saya hal yang wajar.
Tapi memang, kita melihat ada banyak aspek lain. Kalau kita lihat dari sudut perkembangan bahasa di satu tempat, ini normal. Tapi, ada hal lain yang mungkin menjadi pertanyaan bagi kita semua, identitas anak muda ini bagaimana? Ini Indonesia, non-Indonesia, atau bagaimana? Mereka masih bangga tidak menggunakan bahasa Indonesia? Itu juga jadi pertanyaan.
Karena yang harus kita cermati ini, bentukan identitas seperti apa yang akhirnya muncul dengan penggunaan bahasa ini. Oke, Identitas sebagai anak muda, saya kira itu tidak apa, itu salah satu fase perkembangan untuk ciri khas dari satu angkatan.
ADVERTISEMENT
Tetapi, kebanggaan terhadap bahasa Indonesia lalu ke mana? Itu jadi pertanyaan. Jadi memang, saya tidak mengatakan positif atau negatif, bisa dipandang secara positif kalau itu merupakan satu fenomena yang wajar terjadi di tempat-tempat yang multilingual (memiliki dua penggunaan bahasa atau lebih).
Q: Mulai usia berapa anak boleh diajarkan bahasa asing? Baik atau tidak anak diajarkan bahasa asing sejak dini?
A: Tergantung tujuan, memang sekarang ini sedang muncul fenomena bilingual first language acquisition, jadi dua bahasa simultan dipakai menjadi bahasa pertama. Jadi, artinya, si anak ini dapat dua-duanya nih (bahasa), dalam satu waktu. Kalau lingkungannya mendukung, ini dia (anak) akan menjadi positif. Jadinya, hal ini sangat bergantung pada lingkungan. Kalau dia lingkungannya mendukung, dua bahasa diperkenalkan pada usia dini dan dipakai oleh lingkungannya, saya kira ini akan baik untuk anak itu.
ADVERTISEMENT
Masalahnya adalah sekarang, pertanyaannya, kalau di Indonesia itu, kan masih banyak orang yang tidak bisa berbahasa asing, artinya, oke you disekolahkan di sekolah international, gurunya bagus, pengucapannya bagus.
Nah, dia memang terpapar dalam satu bahasa asing, tapi ketika dia keluar dari lingkungan itu, kan dia ketemu dengan orang-orang yang tidak berbahasa yang sama dengan dia. Jadi, yang terjadi adalah, dia seperti jadi orang asing padahal dia orang Indonesia. Nah, apakah ini menjadi pertanyaan, apakah itu lalu bermanfaat bagi anak ini? Kan jadi pertanyaanya seperti itu kan.
Maka memang, pertanyaannya kembali lagi kepada, di mana lingkungannya dia itu, bahasa itu dipakai. Sekarang begini aja deh, seorang anak dibawa ke luar negeri oleh orang tuanya, orang tuanya itu mungkin bahasa pertamanya bahasa Indonesia. Si anak ini bergaul langsung dengan teman-temannya yang memakai bahasa yang tidak dipakai oleh orang tuanya. Karena dia pakai ini (bahasa), si anak menjadi lebih jago daripada orang tuanya, itu sangat mungkin.
ADVERTISEMENT
Tapi kan lingkungan sekali lagi yang mendukungnya kan. Jadi, menurut saya, pertanyaannya kembali lagi kepada bagaimana lingkungannya itu menerima penggunaan bahasa, bagaimana lingkungannya memberi paparan bahasa kepada anak itu.
Ya, jadi baik atau tidak, itu sangat tergantung kepada lingkungan. Kita tidak bisa melarang orang tua untuk menggunakan bahasa asing menjadi bahasa pertama. Kalau lingkungannya mendukung, dia akan menggunakan bahasa itu dengan baik atau penggunaan itu sempurna.
Tapi kalau lingkungannya tidak mendukung, jangan-jangan dia mungkin bingung. Tapi saya tidak ragu, bahwa setiap anak itu memiliki kepandaian masing-masing untuk membedakan orang, dari penggunaan bahasa. Jadi, memang idealnya itu adalah anak itu diperkenalkan pada satu bahasa pertama dulu (bahasa ibu), supaya dia punya memiliki logika berpikir, logika bahasa yang jelas dulu, yang mantap dulu, satu bahasa.
ADVERTISEMENT
Barulah dia diperkenalkan kepada bahasa kedua. Tapi ingat, di lingkungan mana dulu. Kalau di lingkungan seperti Indonesia, idealnya seperti itu. Tapi kalau di luar ada alternatif lain, jangan-jangan dua bahasa ini sangat berguna. Saya tidak mengatakan bahwa salah satu baik, salah satu tidak. Itu sangat bergantung kepada lingkungan.
Q: Jadi belajar bahasa dan penggunannya, semuanya tergantung lingkungan ya?
A: Iya, sama halnya dengan bahasa Jawa, bahasa daerah. Ngomong-ngomong, bahasa Indonesia juga bahasa kedua kan, dulu ya. Tapi sekarang itu menjadi bahasa utama untuk anak-anak. Makanya kalau di daerah kan sampe kelas tiga, bahasa daerah masih dipakai. Nah, itu sudah menunjukkan bahwa, perlu dimatangkan bahasa ibunya, bahasa pertama lah ya.
ADVERTISEMENT
Q: Fenomena ini unik, bahkan orang Bandung juga sekarang gemar menggunakan bahasa-bahasa campuran seperti anak-anak muda Jakarta Selatan.
A: Karena begini, makanya saya bilang, sekarang ini Jakarta selatan, menjadi trendsetter, pemandu kecenderungan, hal itu dianggap keren. Tapi di semua wilayah, itu terjadi. Bahkan, aksen Maroko di Belanda, itu dianggap keren oleh anak muda Belanda.
Itu fenomena yang terjadi di mana-mana, di tempat ada banyak bahasa muncul. Sehingga, kalau kita balik lagi ke pertanyaan positif atau negatif, mari kita lihat dulu, kita lihat positifnya dari sudut apa. Kalau kita kepentingannya adalah pembentukan identitas, ini menjadi satu hal lain. Tapi memang sekali lagi, itu kan salah satu cara anak muda untuk menunjukkan identitasnya siapa.
ADVERTISEMENT
Jadi kalau ditanya apakah itu mengkhawatirkan? Well, itu gaya bahasa yang menunjukkan satu identitas, kedua adalah bentuk dari kemampuan untuk berbahasa. Misal “Kalau dia sudah bisa menggunakan ini (bahasa) okelah dia bisa jadi teman gaul. Atau oh, ini dia punya jargon-jargon penggunaan bahasa yang sama dengan kita sehingga bisa diterima di kalangannya.”