Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Penjualan Agama sebagai Alat Pembodohan: Antara Manipulasi dan Kekuasaan
13 Oktober 2024 9:28 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Bevan Fabian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Agama memiliki tempat yang sangat penting dalam kehidupan manusia, memberikan panduan moral, spiritual, dan sosial. Namun, di tangan yang salah, agama juga dapat digunakan sebagai alat untuk memanipulasi dan membodohi masyarakat. Fenomena penjualan agama ini sering kali hadir di lingkungan masyarakat kita, dimana ajaran agama diselewengkan untuk kepentingan tertentu, terutama oleh mereka yang berkuasa atau yang ingin meraih kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks kekuasaan dan politik, agama bisa menjadi senjata yang sangat ampuh. Didukung dengan masyarakat Indonesia yang bisa dibilang merupakan masyarakat yang sangat religius. Kekuasaan sering kali berusaha menciptakan legitimasi atas tindakan-tindakannya dengan membalutnya dalam narasi keagamaan. Hal ini bukanlah fenomena baru. Contoh yang umum terlihat adalah ketika agama digunakan untuk tujuan politik. Misalnya, dalam beberapa pemilu, ada politisi yang menggunakan isu-isu agama untuk meraih dukungan. Mereka mencoba menggambarkan diri mereka sebagai pemimpin yang religius atau dekat dengan agama tertentu untuk mendapatkan simpati dari pemilih. Sayangnya, terkadang hal ini dilakukan dengan cara menyudutkan pihak lain yang berbeda keyakinan atau memicu ketakutan di masyarakat terhadap kelompok agama tertentu. Hal ini menunjukkan bagaimana agama, yang seharusnya menjadi sumber kedamaian, bisa dipolitisasi untuk kepentingan kekuasaan, membodohi masyarakat dengan narasi-narasi yang memecah belah, alih-alih membawa kemaslahatan bersama.
ADVERTISEMENT
Salah satu cara penjualan agama bekerja adalah melalui apa yang kita sebut sebagai "politisasi agama." Para elite politik menggunakan simbol-simbol agama dan sentimen keagamaan untuk mempengaruhi massa. Mereka menciptakan citra diri sebagai pemimpin yang saleh, religius, dan "dekat dengan Tuhan" untuk mendapatkan dukungan dari pemilih yang religius. Dalam banyak kasus, rakyat dibutakan oleh citra tersebut tanpa mempertanyakan integritas atau kompetensi pemimpin tersebut. Kecerdasan kritis masyarakat ditekan oleh daya tarik emosional dari agama yang dibungkus dalam agenda politik.
Selain politisasi agama, penjualan agama juga dapat dilihat dalam konteks kelompok-kelompok tertentu yang menjual janji-janji kebahagiaan atau keselamatan spiritual, tetapi dengan syarat pengikut harus setia atau memberikan dukungan tanpa syarat kepada figur pemimpin tertentu. Mereka sering kali menggunakan retorika yang menakut-nakuti (misalnya ancaman akan dosa atau neraka) untuk menjaga kendali atas pengikutnya. Hal ini menjadi bentuk eksploitasi terhadap kebutuhan spiritual masyarakat yang sebenarnya tulus namun tidak disertai pengetahuan yang cukup untuk memahami ajaran agama secara kritis.
ADVERTISEMENT
Pembodohan masyarakat melalui agama sering kali diperkuat oleh kondisi sosial yang sulit, di mana masyarakat merasa putus asa dan mencari harapan di tengah situasi yang tidak menentu. Dalam kondisi seperti ini, agama menjadi lahan subur untuk manipulasi, karena masyarakat cenderung menerima narasi-narasi keagamaan yang disederhanakan tanpa menganalisis lebih lanjut. Rasa takut dan ketidakpastian dimanfaatkan oleh oknum-oknum untuk mempertahankan kekuasaan atau mengamankan kepentingan pribadi mereka.
Namun, hal ini bukan berarti agama secara inheren buruk atau berbahaya. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana agama digunakan dan oleh siapa. Agama seharusnya menjadi sumber pencerahan, bukan alat pembodohan. Masyarakat perlu diajak untuk lebih kritis dalam memahami ajaran agama dan melihat apakah ajaran tersebut selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, penting bagi masyarakat untuk tidak begitu saja menerima narasi keagamaan yang disajikan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Pendidikan kritis menjadi kunci untuk memutus rantai pembodohan ini. Masyarakat harus diajarkan untuk tidak hanya sekadar mengikuti simbol atau retorika keagamaan, tetapi juga memahami esensi dari ajaran agama itu sendiri.
Penjualan agama untuk membodohi masyarakat adalah bentuk eksploitasi yang memanfaatkan kepercayaan dan kebutuhan spiritual manusia. Masyarakat harus dibekali kemampuan untuk memisahkan antara agama sebagai pedoman moral yang murni dan agama yang dijual demi kekuasaan dan ambisi pribadi. Kewaspadaan dan pemikiran kritis adalah kunci untuk melawan bentuk manipulasi ini.