Bangsa Serba Maklum: dari Jalanan hingga Kebijakan

Bhagaskoro Pradipto
Stay at home dad, menyambi esais dan editor di ghibahin.id
Konten dari Pengguna
22 Juli 2020 12:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bhagaskoro Pradipto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Walaupun sudah belasan tahun mengemudi kendaraan bermotor, bagi saya, aktivitas berkendara (entah itu motor atau mobil) selalu terasa menegangkan.
ADVERTISEMENT
Setiap pagi ketika mengantar istri ke kantor, jantung saya selalu dibuat berdebar-debar. Dalam setiap perjalanan ini, sebelum mencapai jalan raya saya harus melewati pemukiman yang sebagian besar jalanannya dibagi oleh garis utuh. Marka garis utuh ini sangat logis karena jalanannya yang lumayan curam dan diselingi beberapa tikungan buta (belokan tajam yang kondisinya tidak memungkinkan kita melihat kendaraan dari arah berlawanan).
Teorinya, marka dibuat demi keamanan pengguna jalan, dengan asumsi setiap pengendara akan patuh dan cukup lincah untuk tidak melanggar garis ini. Faktanya, setiap pagi saya selalu bertemu pengendara mobil melaju kencang di tikungan buta, melebar, yang tentu melanggar marka. Perilaku pengendara yang seperti ini mau tak mau memaksa saya harus mepet di sisi kiri jalan untuk menghindarinya.
ADVERTISEMENT
Saya yakin moncong mobilnya hanya menyisakan jarak belasan milimeter saja dari ujung kendaraan saya, sebuah jarak yang selalu saya coba syukuri. Saya, yang berusaha konsisten mempertahankan martabat sebagai pengguna jalan yang baik, merasa terancam dan dicurangi. Jika kita masih layak bicara common sense, bukankah seharusnya semua pengendara paham untuk tidak membahayakan nyawa orang lain?
Tidak hanya itu. Untuk yang satu ini saya rasa setiap pengendara mengalaminya. Normalnya, untuk berbelok ke kiri di jalan yang satu arah, kita seharusnya menengok ke arah kanan untuk memastikan kendaraan cukup aman untuk melaju. Namun seringkali, kita juga harus menengok ke kiri, karena selalu ada kemungkinan tiba-tiba muncul kendaraan yang melaju melawan arus, bahkan ketika jalan satu arah itu sedang padat.
ADVERTISEMENT
Saya berusaha menemukan rasionalisasi kebiasaan buruk para pengendara ini. Banyak orang mengutarakan teorinya, namun saya jadi teringat ucapan almarhum bapak, bahwa kekacauan lahir karena semua orang minta dimaklumi. Mulanya saya ragu dengan ucapan beliau, yang sebenarnya juga diutarakan sambil lalu. Tapi semakin ke sini, saya mulai meyakini kebenarannya.
Jika merunut pendapat bapak saya ini, pengendara yang menerjang tikungan buta tadi rupanya minta dimaklumi, entah ingin dimaklumi keterburu-buruannya, atau mungkin kemampuan mengemudinya yang buruk. Maklum yang dimohonkan kepada pengguna jalan lain yang terancam keselamatannya.
Selanjutnya, ini juga bukan pemandangan yang langka: satu sepeda motor ditunggangi Keluarga Berencana (yang terdiri dari ayah, ibu, anak laki-laki, dan anak perempuan), semuanya tak berhelm, melaju melawan arus. Jika Anda tanyakan alasannya kepada mereka, niscaya mereka minta dimaklumi karena putar baliknya jauh, ditambah alasan bahwa rumahnya dekat sehingga mereka merasa helm tidak diperlukan.
ADVERTISEMENT
Pada titik tertentu, kita terpaksa memaklumi bahwa keluarga tersebut mungkin belum cukup mampu untuk membeli mobil, atau setidaknya membeli bensin yang cukup untuk putar balik yang katanya jauh itu. Mungkin secara sadar kita bisa memaklumi perkara ekonomi ini. Namun jika bicara perkara helm, bukankah keutuhan kepala anak-anak adalah tanggung jawab orang tua?
Semua orang di jalan minta dimaklumi, tidak peduli dari kelas sosial mana mereka berasal. Cukup sering kita dapati konvoi voorijder mengawal mobil pejabat—atau siapapun yang mampu merasakan privilese ini, selain ambulans tentunya—menyibak jalan yang sedang padat dengan kendaraan, memaksa pengendara lain untuk memberi jalan bagi mereka untuk mendahului.
Kita tidak pernah tahu betul segenting apa keperluan mereka, namun dengan pengawalan yang demikian, mereka sedang meminta pengendara lain untuk memaklumi keperluan yang menurut mereka lebih genting dan mendesak dari seluruh pengguna jalan lainnya. Walaupun tujuannya bisa jadi cuma untuk menghadiri resepsi pernikahan keponakan.
ADVERTISEMENT
Kebiasaan ‘mengharap maklum’ dan ‘terpaksa memaklumi’ di jalan raya sepertinya hanya merupakan gejala dari fenomena yang lebih luas, bahkan mungkin sudah menjadi bagian dari budaya kita.
Masih segar dalam ingatan ketika Komisi VIII mengusulkan RUU PKS ditarik dari Program Legislasi Nasional Prioritas 2020. Dalam konteks pandemi, banyak orang terpaksa lebih banyak berdiam di rumah turut menjadi faktor meningkatnya angka kekerasan seksual. Hal ini seharusnya menjadikan RUU PKS lebih layak dibahas dan segera disahkan ketimbang mengebut RUU Minerba dan Omnibus Law.
Namun lagi-lagi, kita beserta para korban kekerasan seksual dipaksa memaklumi bahwa isu kekerasan seksual terasa kurang penting dibandingkan kepentingan kapital dalam RUU Minerba dan Omnibus Law.
Bencana banjir yang baru saja terjadi di Luwu Utara, Sulawesi Selatan, juga tidak lepas dari pemakluman semacam ini. Banjir biasanya dikaitkan dengan fenomena alam, ulah manusia, atau gabungan keduanya. Mudah untuk memaklumi jika bencana disebabkan oleh proses alam, namun bisakah kita memakluminya jika ada campur tangan manusia dalam bencana yang memakan korban jiwa?
ADVERTISEMENT
Banjir bandang ini ternyata telah diperkirakan sejak 2019 lalu. Menurut Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin, penyebabnya adalah banyak lahan yang dialihfungsikan, di antaranya menjadi perkebunan dan pemukiman. Padahal, fungsi hutan di hulu sungai tidak bisa digunakan sebagai perkebunan maupun hutan produktif, terlebih jika lokasinya dekat dengan pemukiman warga.
Kita patut bertanya-tanya, bagaimana kajian lingkungan dibuat sebelum izin untuk membuka lahan ini dikeluarkan. Saya khawatir, jangan-jangan bagi otoritas yang memberikan izin penggunaan lahan sawit ini, nyawa dan rumah para korban banjir dianggap tidak ada apa-apanya dibandingkan cuan yang akan diperoleh dari bisnis kelapa sawit, beserta segala citranya sebagai komoditas utama bagi perekonomian.
Atau jangan-jangan, kita sudah terbiasa memaklumi diabaikannya kajian ilmiah demi “kepentingan yang lebih besar”? Warga di sekitar lahan yang menjadi korban banjir pada akhirnya juga cuma bisa memaklumi bencana ini sebagai nasib rakyat yang tidak punya kuasa atas pemberian izin-izin lahan semacam itu.
ADVERTISEMENT
Urusan maklum-memaklumi ini membuat saya teringat saat masih SD dulu. Ketika kita sedang sakit dan tidak memungkinkan untuk masuk sekolah, orang tua kita menulis surat sakit yang biasa diakhiri dengan kata “harap maklum”, atau “mohon dapat dimaklumi”. Maklum memang biasa diberikan kepada mereka yang sakit atau sedang berada dalam keterbatasan. Saya jadi bertanya-tanya, apakah bangsa kita sedang sakit?