Mematikan Ekonomi dengan Darurat Sipil

Bhima Yudhistira Adhinegara
Pengamat Ekonomi, hobi berdiskusi dan travelling. Menyukai segala macam jenis buku termasuk teks teks kuno.
Konten dari Pengguna
31 Maret 2020 13:33 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bhima Yudhistira Adhinegara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira. Foto: Ulfa Rahayu/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira. Foto: Ulfa Rahayu/kumparan
ADVERTISEMENT
Sungguh membingungkan arahan Presiden terkait pembatasan sosial secara ketat dan menjadikan darurat sipil sebagai opsi mengatasi penyebaran virus corona. Lebih aneh ketika Presiden tidak mengambil karantina wilayah (lockdown) dan meloncat jauh ke darurat sipil. Kondisi yang abu-abu ini akhirnya menimbulkan aksi sepihak dari berbagai kepala daerah yang kukuh tetap melakukan karantina wilayah.
ADVERTISEMENT
Mengapa pemerintah tidak mengambil karantina wilayah, alih-alih darurat sipil? Terbaca secara jelas, apabila pemerintah menggunakan UU Kekarantinaan Kesehatan tahun 2018 artinya menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat memenuhi kebutuhan pokok rakyat selama karantina wilayah diberlakukan. Sesuai amanat pasal 55, "Selama dalam karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat’". Manusia yang berada dalam wilayah karantina, sekaligus kambing, ayam, dan sapi kebutuhannya wajib dipasok Pemerintah Pusat, bukan oleh Pemerintah Daerah.
Sementara itu berbeda dari karantina wilayah, dalam darurat sipil kewajiban pemenuhan kebutuhan pokok itu tidak ada. Darurat sipil lebih bicara pada persoalan pembatasan hak-hak sipil ketika terjadi kondisi darurat semacam perang dan situasi yang mengancam negara. Jadi dalam perspektif ekonomi, darurat sipil jelas lebih buruk dari karantina wilayah karena kehadiran negara sama sekali berbeda di dua kebijakan yang kontras itu. Pemerintah seakan menghindari tanggung jawab pemenuhan kebutuhan pokok.
ADVERTISEMENT
Lalu mengapa pemerintah tidak ingin menanggung kebutuhan pokok masyarakat dalam keadaan wabah corona? Mari kita ukur dengan beberapa indikator global di mana posisi ketahanan pangan Indonesia saat ini. Dalam Global Food Security Index tahun 2019, Indonesia berada di urutan ke-62 dunia dari 113 negara. Jika ditelusuri secara detail, peringkat Indonesia dalam komponen Natural Resources and Resiliences atau sumber daya alam dan ketahanan berada di urutan 110 dunia, terburuk ke-4 dari bawah. Sedangkan Italia di komponen yang sama berada di 30 dunia. Italia yang jauh lebih baik dari indeks ketahanan pangan, saat ini muncul penjarahan toko karena kondisi kelaparan di berapa tempat.
Di statistik lainnya, Global Hunger Index tahun 2019 atau Indeks Kelaparan Dunia, posisi Indonesia berada di urutan ke-70, lebih buruk dari Vietnam, Mesir, bahkan Iran, negara yang terkena sanksi AS. Sebelum ada wabah corona sudah banyak orang kelaparan, apalagi dijalankan darurat sipil di mana kebutuhan pokok tidak ditanggung Pemerintah Pusat.
ADVERTISEMENT
Tantangan lainnya, pemenuhan kebutuhan pokok bagi masyarakat tidak sekedar menjamin stok bahan pangan ada di gudang Bulog dan swasta. Persoalan terkait distribusi lebih penting lagi, sanggupkah pemerintah mengantar makanan sampai door-to-door ke pintu rumah tiap orang, berapa banyak armada yang dibutuhkan misalnya karantina wilayah diterapkan di DKI Jakarta. Nampaknya, ada yang ketakutan dengan konsekuensi dari produk regulasi soal karantina wilayah yang ditandatangani sendiri pada tahun 2018. Absurd darurat sipil yang di sahkan Soekarno dalam Perpu Nomor 23 tahun 1959 tentang keadaan bahaya justru dipakai.
Ilustrasi Corona. Foto: Maulana Saputra/kumparan
Apa implikasi darurat sipil bagi psikologis masyarakat? Darurat sipil dapat berimplikasi pada situasi teror karena konteksnya keadaan bahaya, alih-alih mengamankan situasi. Dalam pasal Pasal 17 dan 20 di Perpu Keadaan Bahaya disebutkan bahwa pihak penguasa darurat sipil berhak mengetahui semua berita, percakapan kantor hingga melakukan pemeriksaan badan dan pakaian orang yang dicurigai. Pasal karet ini kalau tidak hati-hati dapat menyasar dengan ganas masyarakat yang membeli makanan karena dituduh menimbun padahal hanya membeli untuk kebutuhan keluarga.
ADVERTISEMENT
Ketakutan orang untuk keluar rumah membeli makanan menimbulkan chaos. Apakah toko masih tetap buka dalam kondisi seperti ini? Di India misalnya, dalam rangka melakukan lockdown, polisi melakukan tindak kekerasan yang menimbulkan korban jiwa. Rotan-rotan bambu digunakan untuk memukul warga yang hendak membeli susu meski sudah diberi penjelasan. Makian dan teriakan menakutkan warga. Apakah hal ini bisa terjadi dalam darurat sipil? Sangat mungkin terjadi meski skema yang diambil bukan lockdown.
Ilustrasi physical distancing. Foto: Indra Fauzi/kumparan
Jauh sebelum ada darurat sipil, physical distancing dan aksi sepihak yang dilakukan oleh warga dengan memblokade jalan masuk ke gang-gang sudah membuat driver ojol dan kurir gigit jari. Pembangkangan sipil dengan lockdown lokal sudah terjadi di mana-mana didukung atau tidak didukung oleh Kepala Daerah masing-masing. Teori yang mengatakan ‘di rumah aja’ mari pesan makanan lewat ojol, dan beli kebutuhan lewat e-commerce sungguh tak melihat realita dil apangan.
ADVERTISEMENT
Yang terjadi sebaliknya, daya beli masyarakat anjlok cukup dalam, disusul oleh suntikan modal ke e-commerce yang goyang karena investor asal China dan Jepang sedang pusing memikirkan negaranya sendiri ketika corona mewabah, artinya bonus, promo dan gratis ongkir tidak semarak tahun-tahun sebelumnya. Banyaknya restoran yang tutup, dan jalan-jalan yang di blokir menyulitkan akses konsumen untuk membeli barang lewat aplikasi. Kondisi ini akhirnya menimbulkan kontraksi pada nilai transaksi e-commerce. Merujuk data Bank Indonesia, puncak transaksi 14 e-commerce terjadi pada bulan Mei 2019, yakni Rp28,7 Triliun, kemudian fluktuatif dan per Februari 2020 hanya Rp23,3 Triliun. Diperkirakan nilai transaksi e-commerce akan kembali turun bila darurat sipil diberlakukan.
Namun, dalam perputaran ekonomi yang tumbuhnya nyaris 0%, ada sekelompok orang yang diuntungkan. Menurut data The Economist, work from home atau WFH (bekerja dari rumah) hanya efektif di pekerjaan yang memiliki pendapatan tinggi, kurang dari 10% dari profesi berpendapatan kecil bisa melakukan WFH. Pekerjaan seperti pramuniaga minimarket, dan bell boy hotel yang menderita dari adanya ketimpangan pendapatan dari WFH. Kondisi ini menciptakan jurang ketimpangan pendapatan yang lebar. Pra-syarat terjadinya gesekan sosial antar kelas.
ADVERTISEMENT
Sebelum ribut-ribut soal physical distancing dan darurat sipil, ada hal yang lebih fundamental tapi belum disiapkan agar konflik bisa diredam, yakni jaminan sosial yang menyeluruh berupa pengganti pendapatan yang hilang. Seharusnya sebelum virus corona mencatatkan pasien pertama di Indonesia, diskusi yang awal dilakukan adalah jaminan sosial. Pemberlakuan Universal Basic Income oleh karenanya sangat mendesak, dan sudah nyaris terlambat. Tanpa Universal Basic Income, darurat sipil bisa mengarahkan pada konflik horizontal.
Ilustrasi ekonomi digital. Foto: shutterstock
Ada setidaknya tiga kelompok masyarakat yang wajib ditanggung oleh negara melalui skema Universal Basic Income dalam kondisi darurat. Pertama, warga miskin sekaligus rentan miskin. Kedua, pekerja sektor informal yang jumlahnya 70,4 juta orang. Ketiga, pekerja formal yang upahnya ditangguhkan, tidak dibayar atau rentan di PHK. Pemberian basic income menurut Ghatak dan Maniquet (2019) merujuk pada individual bukan rumah tangga. Jadi per orang akan diberikan cash transfer (uang tunai) untuk menjaga daya beli agar tidak merosot.
ADVERTISEMENT
Menyangkut jaminan sosial inilah momentum bagi pemerintah untuk segera mendorong kenaikan porsi jaminan sosial terhadap total pengeluaran. Data dari ADB dalam laporan per Juli 2019 mengatakan bahwa belanja jaminan sosial terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia hanya 2,1%. Bahkan lebih kecil jika dibandingkan rata-rata Asia tenggara yakni 2,6%. Dalam kondisi darurat setidaknya dibutuhkan 3-5% porsi jaminan sosial terhadap PDB. Universal basic income hanya salah satunya, bisa dilengkapi dengan kenaikan penerimaan bantuan pangan non-tunai, serta peningkatan subsidi listrik dan LPG 3 kg.
Mencermati arah pemerintah yang tidak konsisten dalam penanganan virus corona, tidak tersedianya jaminan sosial yang memadai. Maka sebaiknya darurat sipil ditolak sebagai solusi menjawab penanganan virus corona. Kerugian paling besar dirasakan langsung oleh masyarakat menengah bawah, mereka yang tidak bisa bertahan akan menderita. Ketidakmampuan masyarakat untuk memenuhi bahan makanan sebelum keadaan darurat sipil, dipastikan menimbulkan chaos. Jika karantina wilayah ditolak oleh pemerintah karena khawatir dampak ke perekonomian, pemberlakuan darurat sipil akan mematikan sama sekali aktivitas ekonomi. Semoga kelak akan jadi pelajaran bagi pengambil kebijakan dan generasi berikutnya.
ADVERTISEMENT
Bhima Yudhistira Adhinegara
Peneliti INDEF
---
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran coronavirus. Yuk, bantu donasi sekarang!