Nasib Dirman di Tengah Wabah Corona

Bhima Yudhistira Adhinegara
Pengamat Ekonomi, hobi berdiskusi dan travelling. Menyukai segala macam jenis buku termasuk teks teks kuno.
Konten dari Pengguna
7 April 2020 23:29 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bhima Yudhistira Adhinegara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Nasib Dirman di Tengah Wabah Corona
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Dirman, tukang ojek online terpaku merenung di pinggir jalan Sudirman. Sudah seharian tidak ada satu pun order yang masuk. Dirman menoleh ke kanan kiri, perkantoran diliburkan, berarti barang dan surat yang biasa diantar lewat ojek online juga berkurang drastis.
ADVERTISEMENT
Beberapa restoran di ibu kota, tempat ojek online menggantungkan pendapatan dari pesan antar makanan juga banyak yang tidak buka. Kabar PSBB yang silih berganti dari kawan-kawan Dirman makin membuat resah. Istri dan anak-anak Dirman juga dilanda kekhawatiran, pendapatan harian turun, darimana kebutuhan pokok bisa dibeli. Dirman bukan orang ber-KTP Jakarta, ia pendatang dan namanya tak masuk dalam kategori keluarga miskin.
Cerita sedih Dirman bukan hanya terjadi pada satu pengemudi ojek online. Serba repot pembatasan PSBB atau Pembatasan Sosial Berskala Besar di DKI Jakarta dengan lugas melarang driver online menarik penumpang. Tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 9 Tahun 2020 Poin D tentang Pelaksanaan PSBB. Sebelum ada PSBB teman-teman Dirman terpaksa menjadi pengungsian ke kampung masing-masing. Istilah pemudik hanya digunakan untuk menghibur hati, faktanya teman Dirman adalah pengungsi yang luntang-lantung di jantung ibu kota.
ADVERTISEMENT
Pemerintah jelas sangat terlambat untuk mengucurkan bantuan, PSBB sudah diteken dulu dan mendapat restu dari Kementerian Kesehatan. Sementara persiapan untuk jaring pengaman masih menemui masalah, yakni soal data. Kalau pun pemerintah telah menerbitkan Perpu, dan Perpres dengan detail anggaran untuk alokasi bantuan, sepertinya banyak kelas kelompok rentan miskin seperti Dirman yang belum dimasukkan.
Dalam paket stimulus Rp 405 triliun, secara spesifik perlindungan sosial mendapat jatah Rp 110 triliun meliputi PKH, sembako, kartu pra kerja, dan pembebasan tarif listrik. Dirman kemudian mencoba membaca informasi soal bantuan sosial yang nominalnya tidak muat jika dihitung lewat kalkulator HP Dirman. Rumah Dirman bersama keluarganya adalah kamar kontrakan yang saling berhimpitan di gang sempit Kemayoran. Meteran listrik tempat kontrakan Dirman adalah 1.300 VA, jadi tidak masuk dalam kategori subsidi 450 VA dan 900 VA. Wajar, karena Dirman harus berbagi listrik dengan kamar kontrakan sebelahnya. Lagi-lagi Dirman mengingat tentang meteran listrik, ia pun tak masuk kategori. Harapannya mulai pupus. Bimbang antara mengungsi ke kampungnya di Jawa Tengah atau bertahan di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Bantuan kedua lebih jauh dari harapan Dirman, kartu Pra Kerja pernah didengarnya kala Kampanye Pilpres 2019. Calon Presiden yang kini menang dan menjabat di periode kedua ingin kartu pra kerja menjadi stimulus di kala pandemi Corona. Ide kartu pra kerja tentu menarik orang seperti Dirman, ada pelatihan plus uang ganti biaya pelatihan.
Ilustrasi ojek online. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Sepanjang jalan Sudirman, ia melamun. Tapi ketika sadar, ia melihat kembali informasi kartu pra kerja. Pelatihan dalam bentuk online. Sayangnya Dirman hanya lulusan SMP, modal STNK motor pinjaman kakaknya di kampung dan SIM ia beranikan diri bertaruh hidup di Jakarta. Artinya, orang seperti Dirman bingung ketika mengoperasikan HP.
Riset Bank Dunia yang berjudul Digital Divide and Dividends yang dipaparkan oleh Deepak Mishra cukup tepat menggambarkan situasi Dirman yang gagap teknologi. Meskipun jumlah pengguna internet meningkat tiga kali lipat dalam sepuluh tahun terakhir, namun 60 persen kelompok terbawah masih offline. Karena dipaksa keadaan Dirman akhirnya pelan-pelan mempelajari aplikasi online dan mendaftar disalah satu perusahaan ojek online. Kini ia dihadapkan pada permasalahan pelatihan secara online, jenis mahluk apalagi ini pikir Dirman.
ADVERTISEMENT
Kartu pra kerja nampaknya memang tak cocok dalam kondisi bencana. Kelompok rentan miskin, pedagang asongan, UMKM tidak butuh pelatihan. Mereka membutuhkan cash transfer atau bantuan tunai. Langsung saja uang di transfer, toh bagi driver ojek online semua nama dan alamat serta titik lokasi sudah disetor ke pihak aplikator. Pemerintah tinggal kerjasama dengan aplikator untuk mengirimkan uang langsung ke rekening masing-masing, apa repotnya. Kartu pra kerja juga tidak menjamin mereka yang lulus, kemudian langsung diterima kerja. Apakah di tengah kondisi krisis ekonomi ada industri yang berbaik hati mau menampung jutaan peserta kartu pra kerja?
Dirman mengelus dada, sesekali ia menyeka keringatnya karena udara Jakarta tetap panas meski bus-bus tidak seramai biasanya. Soal Program Kartu Harapan (PKH) lain lagi, istri Dirman sudah aktif bertanya ke RT apakah ia bisa mendapatkan PKH. Ternyata PKH hanya untuk kelompok tertentu, istrinya bukan difabel, bukan berada di garis kemiskinan. Padahal hanya menghitung hari istri Dirman akan berada di bawah garis kemiskinan, tapi apa lacur data soal turunnya pendapatan yang cepat ditengah Corona tidak langsung masuk data pemerintah.
ADVERTISEMENT
Sementara istrinya yang habis membeli sayur di depan rumah, mencoba membaca bungkusan koran yang masih bisa diselamatkan sebelum dibuang ke sampah. Headline di surat kabar bisnis, korporasi mendapatkan insentif perpajakan, tarif PPh badan turun bertahap selama tiga tahun. Istri Dirman tak paham apa itu insentif penurunan tarif PPh badan, begitu juga dengan tukang sayur yang menggelengkan kepalanya. Hanya ada kata-kata tarif akan turun yang dipahami istri Dirman, artinya korporasi raksasa akan mendapatkan keringanan pajak. Apa yang dibaca oleh istri Dirman merupakan ketimpangan yang amat vulgar dari kebijakan stimulus ekonomi.
Jelang magrib, Dirman hanya bisa menangis, dilihat saldo di dompet digitalnya, jauh dari kata cukup. Bergegas ia pulang ke rumah kontrakan, mengajak istri dan anaknya mudik lebih cepat dari perkiraan.
ADVERTISEMENT
Sampai di kampung, ia tidak disambut ramah. Kaget, jalan-jalan masih banyak bertuliskan kata-kata yang provokatif ‘Ojo Muleh, Tak Antemi Koe’ atau ‘Pendatang Wajib Lapor, Ojo Ngeyel’. Pak Kepala Desa yang mengetahui Dirman baru pulang dari Jakarta segera mengingatkan Dirman agar mengisolasi diri selama 14 hari di rumah. Bagi Dirman berdiam di rumah dan di Jakarta sama saja, nasibnya tak kunjung membaik, setidaknya sampai pandemi Corona berlalu.