Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Antara Persuasi dan Manipulasi: Seni Retorika dalam Politik
30 April 2025 14:00 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Bianca Arvela tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dalam iklim politik yang dipenuhi berbagai informasi, batas yang memisahkan upaya persuasi yang dapat diterima dengan manipulasi yang tidak etis menjadi samar. Politik modern menunjukkan peningkatan dalam penggunaan teknik retorika yang kompleks, namun isu krusialnya adalah pada titik mana seni meyakinkan bertransformasi menjadi strategi manipulatif?
ADVERTISEMENT
Seperti yang pernah diungkapkan oleh Hannah Arendt dalam karyanya "Truth and Politics" (1967),
Kutipan ini secara tegas mengingatkan kita bahwa persuasi politik yang baik harus didasarkan pada fakta yang nyata, bukan pada pemutarbalikan atau kebohongan yang menguntungkan pihak yang berkuasa.
Pembingkaian isu dalam retorika politik sering kali bertujuan untuk mendiskreditkan lawan atau menonjolkan diri sendiri. Apabila praktik ini dilakukan secara curang, ia melewati batas persuasi yang dapat diterima dan berubah menjadi manipulasi yang merusak kepercayaan publik serta melemahkan sendi-sendi demokrasi. Sebagai contoh nyata, reformasi pajak melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan pada Oktober 2021 dipasarkan oleh pemerintah sebagai langkah untuk mewujudkan sistem perpajakan yang lebih adil dan efisien, sekaligus mendorong keadilan ekonomi. Namun, analisis dari sejumlah pengamat ekonomi dan lembaga independen justru memperlihatkan bahwa pembagian keuntungan dari reformasi ini tidak seimbang dan cenderung lebih menguntungkan kelompok tertentu, terutama para pengusaha besar dan wajib pajak berpenghasilan tinggi.
ADVERTISEMENT
Persuasi dan Manipulasi
Persuasi yang etis selalu didasarkan pada kebenaran dan fakta yang tepat. Saat politisi berusaha meyakinkan masyarakat dengan alasan yang didukung oleh data yang dapat dipercaya dan konteks yang lengkap, mereka menghargai jalannya demokrasi dan kemampuan pemilih untuk mengambil keputusan berdasarkan informasi yang benar. Sebaliknya, manipulasi sering kali ditandai dengan pengabaian atau pemutarbalikan fakta demi agenda politik tertentu. Kita menyaksikan bagaimana politisi terkadang menggunakan statistik secara selektif, mengeluarkan data dari konteksnya, atau bahkan menyebarkan informasi yang membingungkan atau bahkan menyesatkan. Tindakan semacam ini tidak hanya menyesatkan masyarakat tetapi juga mencemari diskusi politik dan menghalangi proses pengambilan keputusan bersama yang sehat.
Pada tahun 2016, kampanye Brexit di Inggris mengeklaim bahwa Uni Eropa menghabiskan £350 juta per minggu yang "dapat digunakan untuk NHS (National Health Service)" jika Inggris keluar dari Uni Eropa. Klaim ini, yang ditampilkan secara mencolok pada bus kampanye, kemudian dikritik oleh UK Statistics Authority, Andrew Dilnot, karena "menyesatkan dan menggunakan angka bruto alih-alih netto" serta mengabaikan pengeluaran yang akan tetap ada bahkan setelah Brexit. Meskipun demikian, klaim tersebut berperan besar dalam membentuk opini publik. Ini adalah contoh klasik dari manipulasi yang menggunakan angka nyata namun tanpa konteks yang tepat, berbeda dengan persuasi etis yang akan menyajikan gambaran statistik yang lebih komprehensif dan jujur.
ADVERTISEMENT
Dalam era post-truth, ketika kebenaran seringkali diabaikan, perbedaan utama antara persuasi dan manipulasi adalah kesetiaan pada fakta. Politisi yang memiliki integritas akan tetap berpegang teguh pada kebenaran, meskipun itu tidak menguntungkan posisi mereka.
Persuasi yang baik menekankan kejujuran dalam motif dan tujuan komunikasi. Jika seorang pemimpin politik secara transparan menyatakan kepentingan dan nilai-nilai mereka sebagai dasar argumen, publik memiliki kesempatan untuk mengevaluasi motivasi di balik pesan yang disampaikan. Selain itu, etika dalam persuasi tercermin dalam penghargaan terhadap kemampuan berpikir kritis masyarakat. Pendekatan ini menyajikan argumen berdasarkan asumsi bahwa pemilih adalah individu yang cerdas, mampu mencerna informasi kompleks, dan membentuk opini mereka sendiri. Politisi yang menghormati intelektualitas publik akan menyajikan argumen yang substansial, mengakui berbagai aspek isu, dan bahkan tidak ragu mengakui adanya batasan pada solusi yang mereka tawarkan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, manipulasi dalam politik biasanya beroperasi dengan tujuan yang tidak diungkapkan secara terbuka. Pelaku manipulasi cenderung menyembunyikan motif aslinya, menciptakan narasi yang seolah-olah netral atau bahkan bertujuan baik padahal sebenarnya dirancang untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Manipulasi politik mencerminkan anggapan yang meremehkan masyarakat. Penggunaan taktik manipulatif seperti penyederhanaan isu yang berlebihan, eksploitasi ketakutan, atau pemanfaatan bias kognitif menunjukkan usaha untuk mengendalikan pemilih dan bukan untuk meyakinkan mereka. Para manipulator politik tidak menganggap masyarakat sebagai warga negara yang setara, melainkan sebagai objek yang dapat mereka atur.
Gaya komunikasi dan akuntabilitas membedakan persuasi etis dari manipulasi politik. Persuasi etis bersifat dialogis dan bertanggung jawab, menerima kritik. Sedangkan manipulasi bersifat satu arah, menolak kritik, dan menghindari tanggung jawab.
ADVERTISEMENT
Dampak dalam Jangka Panjang
Penggunaan manipulasi dalam ranah politik dalam jangka waktu yang panjang akan memberikan akibat yang merugikan bagi demokrasi, seperti terkikisnya kepercayaan masyarakat, timbulnya sinisme dan ketidakpedulian, serta meningkatnya polarisasi ekstrem karena tidak adanya lagi kesamaan pandangan terhadap fakta sebagai dasar berdiskusi, yang mengakibatkan terhambatnya kompromi dan kerja sama yang vital. Namun, persuasi yang beretika, meskipun tidak selalu menghasilkan kemenangan politik secara cepat, mampu menumbuhkan kepercayaan publik yang bertahan lama dan menciptakan iklim politik yang lebih positif melalui kejujuran dan respek terhadap pemilih, sehingga memungkinkan terjadinya diskusi yang konstruktif.