Pseudosains sebagai Perkembangan Ilmu pada Teori Frenologi

BILQIS ANINDRI MEISYAH PUTRI
Mahasiswa Psikologi Universitas Brawijaya
Konten dari Pengguna
13 November 2022 19:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari BILQIS ANINDRI MEISYAH PUTRI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebelumnya, apakah kalian pernah mendengar teori frenologi ? Jika sudah, apakah kalian percaya dengan hal tersebut? Frenologi sendiri masih terdengar asing di Indonesia. Akan tetapi, dapat diambil dari pengalaman kehidupan sehari-hari baik di daerah Jawa maupun sekitarnya, beberapa orang memercayai bahwa orang yang lebih pintar memiliki dahi yang condong ke depan. Dalam hal ini tentu tidak ada yang mendasari pernyataan tersebut, namun dapat ditemukan pada teori frenologi. Berkembangnya ilmu dari masa ke masa membuktikan bahwa suatu yang ilmiah bukan berarti tidak bisa disalahkan. Sesuai dengan prinsip filsafat person as scientist dan scientist as person. Maksud dari person as scientist adalah setiap penemuan ilmu pengetahuan harus secara ilmiah dibuktikan. Sedangkan, scientist as person adalah para ahli mana pun tidak akan luput dari kesalahan, perlu adanya pertimbangan dengan saksama.
ADVERTISEMENT
Sebelum teori frenologi dikenal terdapat teori organologi yang dikembangkan terlebih dahulu oleh dokter Jerman Franz Joseph Gall pada tahun 1700-an. Lalu dikembangkan lagi menjadi frenologi oleh asisten dokter Gall, Johann Gaspar Spurzheim. Teori tersebut hasil dari pengamatan Gall, di mana beberapa orang yang memiliki ingatan verbal yang luar biasa memiliki karakteristik mata yang menonjol ke depan, akhirnya Gall menyimpulkan terdapat hubungan antara otak yang di belakang mata dengan kemampuan verbal itu sendiri. Beberapa hal lainnya seperti pengamatan pada korteks serebral manusia yang lebih besar dari hewan, sehingga terdapat keunggulan intelektual pada manusia. Kesimpulan yang ditarik dari pengamatan Gall, Gall berpendapat bahwa moral dan intelektual seseorang dipengaruhi oleh organisasi otak dan bentuk dari tengkorak mencerminkan bentuk internal otak. Teori frenologi ini memiliki puncak popularitas pada akhir 1800-an dan awal 1900-an, sampai akhir 1900-an frenologi sudah tidak dipakai dan termasuk ke dalam salah satu pseudosains.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi versi kepala frenologi (Sumber: https://www.istockphoto.com/en/vector/phrenology-head-gm165064940-3230386?phrase=phrenology)
Dukungan Teori Frenologi
Gall selalu mencari dukungan atau ide-ide baru untuk memperkuat argumen mengenai frenologi. Hal ini dibuktikan Gall mengembangkan menjadi 35 "Fakultas" dalam frenologi yang terbagi menjadi dua, yaitu bagian afektif dan bagian intelektual. Pada bagian afektif dibagi lagi menjadi area kecenderungan dan sentimen. Sedangkan pada bagian intelektual dibagi menjadi area perseptif dan reflektif. Hal tersebut didapat dari hasil pengukuran terhadap orang-orang di rumah sakit, penjara, rumah sakit jiwa, dan orang yang memiliki kepala bentuk aneh. Lalu, dihubungkan dengan kepribadian yang menonjol pada orang tersebut. Dari hasil penemuan ini teori frenologi menjadi populer terutama pada era Victoria, walaupun juga banyak yang menentang teori ini, namun Gall mengabaikan bukti yang bertentangan. Teori frenologi menjadi pencetus teori-teori yang serupa seperti astrologi, numerologi, palmistri, dan masih banyak lagi.
ADVERTISEMENT
Teori Frenologi sebagai Pseudosains
Apa yang dipaparkan pada teori frenologi tidak cukup membuktikan secara ilmiah, bahwa terdapat hubungan antara tengkorak dengan bagian otak di dalam. Dokter Prancis bernama Marie Jean Pierre Flourens pertengahan 1800-an, mencoba untuk membantah teori frenologi dengan memopulerkan studi otak dan lokasi otak. Pada temuan itu ditemukan bahwa kontur tengkorak sama dengan bentuk otak adalah salah. Dapat dilihat pada zaman sekarang kita dapat melihat anatomi otak dengan menggunakan CT scan dan MRI untuk lebih jelas. Bahkan dapat juga mengkaji kerusakan otak, mengkaji efek stimulus, dan mencatat aktivitas otak selama perilaku manusia. Pada akhirnya dari masa ke masa ilmu mengenai otak makin berkembang sehingga teori frenologi diyakini sebagai ilmu semu atau pseudosains dan tidak lagi dipercaya pada sekitar tahun 1900-an.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Dapat disimpulkan frenologi tidak valid karena berbagai alasan. Pertama tidak ada korelasi antara kontur tengkorak dengan bentuk otak. Kedua frenologi mendasarkan pada kelompok kecil orang yang memiliki aspek kepribadian yang sama dengan karakteristik tengkorak yang sama. Ketiga tidak ada bukti empiris yang dapat dipercayai, apalagi itu hanya suatu pengamatan dari bentuk eksternal, tidak memungkinkan untuk membuktikan secara konkret. Maka dari itu dengan perkembangan ini menunjukkan terdapat prinsip filsafat yang di mana person as scientist dan Scientist as person. Tidak ada ilmu yang kebenaranya mutlak, kita sebagai pengamat juga harus lebih hati-hati dalam menerima sebuah informasi dengan menerapkan sikap ilmiah, seperti skeptis, rasa ingin tahu, sikap terbuka, dan lain-lain.
Daftar Referensi
ADVERTISEMENT
Kalat, J. W. (2009). Biological psychology (13th ed.). Cengage Learning.
Cherry, K. (2022, March 23). Phrenology's history and Influence. Verywell Mind. Retrieved November 1, 2022, from https://www.verywellmind.com/what-is-phrenology-2795251
Sabbatini, R. M. E. (n.d.). Phrenology: The history of brain localization. Retrieved November 3, 2022, from https://cerebromente.org.br/n01/frenolog/frenologia.htm