Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Fenomena Self-Diagnosis di Dunia Digital: Kenapa Mahasiswa Rentan?
28 April 2025 14:21 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Bilqish Azka Fatihah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Fenomena Mental Health Self-Diagnosis di era digital seperti sekarang, makin sering kita dengar, terutama di kalangan mahasiswa. Dengan modal informasi dari internet, banyak orang merasa bisa mendiagnosis kondisi fisik atau mental mereka sendiri, tanpa konsultasi dengan dokter atau psikolog.
ADVERTISEMENT
Akses informasi memang makin gampang. Tapi, di balik kemudahan itu, ada tantangan besar: bagaimana caranya generasi muda, terutama mahasiswa, bisa lebih bijak dalam mengonsumsi informasi soal kesehatan?

Kenapa Mahasiswa Rentan?
Mahasiswa itu lagi di fase hidup yang serba dinamis: pindah dari remaja ke dewasa muda, sibuk kuliah, adaptasi dengan lingkungan sosial baru, ditambah tekanan akademik yang nggak sedikit. Semua itu bisa memicu stres, bahkan masalah kesehatan mental.
Saat merasa ada yang "nggak beres", cari solusi cepat jadi pilihan. Tinggal ketik gejala di Google, buka forum daring, nonton video, atau scroll thread di media sosial. Dalam hitungan menit, sudah "mendiagnosis" diri sendiri.
Masalahnya, nggak semua informasi yang beredar itu benar. Banyak konten kesehatan mental yang dibuat tanpa dasar keilmuan yang kuat. Tanpa kemampuan literasi media yang baik, mahasiswa gampang terjebak informasi menyesatkan—yang malah bisa memperburuk kondisi mereka.
ADVERTISEMENT
Peran Besar Media Digital
Kalau dipikir-pikir, fenomena ini memang nggak lepas dari peran media massa dan digital. Informasi soal kesehatan mental sekarang lebih terbuka dibahas di berbagai platform: dari artikel, podcast, sampai video TikTok.
Ini tentu ada sisi positifnya: kesehatan mental yang dulu dianggap tabu, kini mulai diterima untuk dibicarakan. Tapi ada juga sisi gelapnya. Tanpa kontrol dan kemampuan untuk memilah, informasi yang beredar malah bisa membingungkan.
Makanya, penting banget buat mahasiswa punya filter saat terpapar informasi: siapa yang berbicara, apa motivasinya, sudah terverifikasi atau belum, dan cocok nggak dengan kondisi yang dialami.
Self-Diagnosis: Boleh Asal Bijak
Sebenarnya, self-diagnosis bisa jadi langkah awal untuk lebih sadar terhadap diri sendiri. Tapi, itu bukan berarti pengganti konsultasi profesional.
ADVERTISEMENT
Edukasi soal literasi media dan kesehatan mental itu wajib hukumnya. Kampus sebagai tempat belajar juga punya peran penting. Lewat seminar, diskusi, atau pelatihan, mahasiswa bisa dibekali cara yang tepat untuk menyikapi informasi kesehatan.
Salah satunya, penulis mengajak mengajak seluruh mahasiswa buat ngobrol bareng soal fenomena ini dalam webinar publik bertema "#StopSelfDiagnosis: Kenali Diri dengan Bantuan Ahli, Bukan Sekadar Asumsi" bagian dari Universitas Bina Nusantara lewat Departemen Komunikasi sebagai tugas akhirnya. Acara ini bakal menghadirkan ahli psikologi dan komunikasi digital yang siap membedah fenomena ini dari berbagai sisi.
Jangan sampai ketinggalan, ya! Cari tahu, pahami lebih dalam, dan tetap prioritaskan kesehatan kamu dengan langkah yang tepat.