Konten dari Pengguna

Nilai Filosofi dalam Karakter Tokoh Wayang Punakawan

Bilqis Ramadhanty
Graduated student
15 Desember 2022 22:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bilqis Ramadhanty tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
instagram.com/bilqisqis
zoom-in-whitePerbesar
instagram.com/bilqisqis
ADVERTISEMENT
Di zaman sekarang, seni wayang masih sedikit dibahas dan hanya disukai oleh sebagian orang yang tertarik pada seni tersebut. Seni wayang merupakan salah satu bentuk seni budaya tradisional Indonesia yang sudah berkembang sejak berabad-abad lalu.
ADVERTISEMENT
Secara filosofi, wayang adalah cerminan karakter manusia, tingkah laku dan kehidupan luhur yang setiap akhir cerita atau perilakunya selalu memenangkan kebaikan dan mengalahkan kejahatan. Budaya wayang meliputi unsur seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambangan.
Seni wayang lekat dengan unsur cerita yang dipertunjukkan. Pertunjukkan wayang bertumpu pada epos Mahabharata atau epos Ramayana. Epos Mahabharata dan epos Ramayana hakikatnya adalah sebuah teks yang mengacu pada wacana dualisme, yaitu kebenaran-kejahatan, kebaikan-keburukan, kesetiaan-ketidaksetiaan, ketulusan-kepamrihan, dan lain sebagainya. Di masyarakat Jawa, epos-epos India itu mengalami akulturasi secara total sesuai dengan wacana budaya Jawa.
Di dalam Mahabharata versi Jawa, masuklah para Punakawan sebagai unsur baru. Hadirnya para Punakawan (Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong) dalam Mahabharata tersebut diberi identitas sebagai pengabdi kepada para kesatria, orang-orang yang tidak memiliki kedudukan sebagai orang kecil (wong cilik).
ADVERTISEMENT
Setiap tokoh dari para Punakawan memiliki peranannya masing-masing yang satu sama lain saling melengkapi. Hal itu, tercermin pula melalui asal-usul mereka. Jika kita tarik asal-usulnya, istilah Punakawan berasal dari kata pana yang artinya paham, dan kawan yang artinya teman.
Jika mencari tokoh Punakawan di naskah Mahabhrata dan Ramayana, jangan heran jika kita tidak menemukan tokoh Punakawan di sana. Punakawan merupakan tokoh pewayangan yang diciptakan oleh seorang pujangga Jawa.
Menurut Slamet Muljana, seorang sejarawan, tokoh Punakawan tersebut pertama kali muncul dalam karya sastra Ghatotkacasraya karangan Empu Panuluh pada zaman Kerajaan Kediri. Makna filosofi Punakawan dalam pewayangan merupakan ciptaan orang Jawa yaitu Sunan Kalijaga, di mana keempat tokoh tersebut digunakan untuk menyebarkan agama Islam dengan metode dakwah.
ADVERTISEMENT
Di dalam pertunjukkan wayang, tokoh Punakawan mempunyai peranan penting, yaitu sebagai pendukung tema sajian dan penghibur masyarakat.
Hardjowirogo (1982) menguraikan bahwa asal usul anak-anak Semar berkaitan dengan proses penciptaan yang dilakukan tokoh setengah dewa itu. Anak tertua dan kedua, yaitu Gareng dan Petruk merupakan hasil dari proses pemujaan Semar. Anak ketiga, Bagong, diciptakan saat Semar memerlukan teman ketika berkunjung ke dunia, sehingga tercipta Bagong dari bayang-bayang Semar, dengan perawakannya yang pendek dan gemuk mirip postur Semar. Sedangkan, Semar sendiri adalah dewa yang bernama Betara Ismaya, yang bersaudara dengan Betara Manikmaya (Betara Guru), anak Sang Hyang Tunggal.
Semar diberi tugas untuk mengasuh keturunan dewa, yaitu Pandawa. Ia pun berubah wujud ketika berada di dunia sebagaimana yang kita kenal sekarang. Peranan para Punakawan dalam cerita wayang adalah mendampingi seorang kesatria, yang biasanya lekat dengan kesatria Pandawa, seperti Arjuna. Mereka diberi tugas untuk (1) menemani dan mengabdi sang kesatria; (2) membimbing, menasihati; (3) menghibur sambil menyampaikan pesan-pesan kebaikan.
ADVERTISEMENT
Mereka adalah teman seperjalanan ketika sang kesatria mengembara, berburu, atau melakukan perjalanan ke suatu negeri tertentu.
Di dalam dunia pewayangan, karakter setiap tokoh pada dasarnya tercermin dari berbagai bentuk visual yang secara langsung dilihat penonton dan diinterpretasikan menjadi sebuah konsep. Selain itu, Punakawan juga memiliki karakter masing-masing yang tentunya patut untuk diselami lebih dalam. Pertama, Semar merupakan tokoh yang digambarkan memiliki wajah dengan kelopak mata yang lebar dan menyipit, hidung pesek, mulut yang lebar dan membentuk garis ke bawah, kodisi dagu yang lebih panjang. Dalam pewayangan, mata Semar diceritakan senantiasa berair. Dari wajah yang murung demikian itu mengesankan adanya kemurungan yang berasal dari kondisi jiwa, sehingga menggambarkan kesedihan. Kesedihan itu berkorelasi dengan perasaannya yang nelangsa (merana), prihatin terhadap keadaan manusia di dunia. Di wajah Semar tersebut tersirat filosofi umat manusia yang menderita oleh nafsu duniawi. Ia tahu apa yang dihadapi manusia, sehingga petuah dan ucapannya akan memberi pengajaran agar manusia memperoleh pencerahan dalam mengenali dirinya.
ADVERTISEMENT
Kedua, Gareng sebagai anak tertua Semar ini dalam format wayang kulit memiliki komposisi wajahnya bermata besar, hidung bulat besar, mulut dan bibir yang lebar dengan garis keatas yang mengesankan tersenyum. Ia tergolong manusia yang memiliki pengetahuan dan dari dirinya lahir kebijaksanaan. Hal itu, terlihat pada komposisi bola matanya yang juling, yang mengesankan bahwa ia senantiasa memusatkan perhatian dan banyak berpikir sebelum bertindak. Tindakan yang hati-hati tersebut ditunjang pula oleh kondisi fisik kakinya yang jinjit (pincang jika berjalan), dan tangan yang bengkok. Gareng adalah simbol kehati-hatian.
Ketiga, Petruk memiliki wajah yang sangat khas, yaitu mata yang besar dengan kelopak mata yang panjang, hidung yang panjang, mulut yang lebar dengan bibir melengkung ke atas mengesankan tersenyum. Ia memiliki kumis yang tipis dan panjang. Kondisi fisik Petruk yang panjang bukan saja di bagian wajah, tetapi juga hampir di semua bagian tubuhnya: leher, badan, tangan, dan kaki. Ukuran serba panjang itu menyiratkan bahwa Petruk senantiasa memiliki pikiran yang panjang (kreatif, cermat, dan tidak terburu-buru). Secara keseluruhan perawakan Petruk mengesankan bahwa ia lucu dan memiliki selera humor yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Keempat, Bagong yang kendati tokoh ini berasal dari bayang-bayang Semar, terdapat perbedaan signifikan dengan perawakan Semar. Bagong memiliki mata yang bulat besar, hidung pesek, bibir tebal dan mulut yang lebar dengan garis mengarah ke atas. Kumis tipis dan panjang menghiasi bibir atasnya. Mata Bagong yang besar mencirikan tokoh ini agak bodoh. Bibir tebal dan mulut yang lebar menandakan ia banyak bicara.
Menurut penulis, sesuai dengan karakteristik tokoh Punakawan yang telah dijabarkan satu persatu, dapat dipetik nilai filosofi bahwa Punakawan sangat berpengaruh dalam penyebaran agama Islam karena nilai pada setiap karakternya yang mengajarkan kita agar senantiasa ingat untuk tidak nafsu pada kehidupan duniawi saja seperti filosofi yang tersirat pada wajah Semar yang menderita oleh nafsu duniawi.
ADVERTISEMENT
Kita harus senantiasa bijaksana dalam bertindak dan kehati-hatian dalam bertindak sangat harus dipikirkan matang-matang seperti pada nilai filosofi tokoh Gareng, kita harus senantiasa memiliki pikiran panjang (kreatif, cermat, dan tidak terburu-buru) serta memiliki selera humor yang tinggi seperti tokoh Petruk, yang terakhir adalah kita juga harus senantiasa mengingat untuk tidak seperti peribahasa "tong kosong nyaring bunyinya" atau kita tidak boleh banyak bicara dalam konteks berlagak pintar namun aslinya tidak begitu pintar seperti tokoh Bagong.
Sumber:
Fita Etriyani.(2022).Makna Filosofis Punakawan Dalam Perwayangan. Repository UIN Raden Intan Lampung. http://repository.radenintan.ac.id/id/eprint/17571
M. Yoesoef. (2014). Membaca Punakawan. Seminar Internasional Semiotik, Pragmatik, dan Kebudayaan “Peran Semiotik dan Pragmatik dalam Memaknai Kebudayaan Global dan Lokal”. https://www.academia.edu/download/45821425/MEMBACA_PUNAKAWAN.pdf
ADVERTISEMENT