Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Urgensi Perlindungan Saksi dalam Sistem Peradilan Pidana
6 Desember 2020 6:04 WIB
Tulisan dari Bima Abimayu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Memperhatikan realitas pelik mengenai implementasi penegakan hukum pidana dewasa ini, mengundang keresahan dan keprihatinan kita selaku bangsa Indonesia yang telah melakukan reformasi berupa supremasi hukum. Tentunya rekam jejak mengenai tindakan reposisi seorang saksi menjadi tersangka dengan menegasikan ketentuan peraturan perundang-undangan masih sangat kental dalam ingatan masyarakat Indonesia. Salah satu bukti konkret akan kurangnya kiat untuk menegakkan dan memposisikan hukum pada tempat yang tertinggi dari segala-galanya adalah peristiwa yang dialami seorang kuli bangunan bernama Sarpan yang mendapatkan penganiayaan di sel tahanan Polsek Percut Sei Tuan, Polrestabes Medan. Sarpan dipaksa mengaku sebagai pelaku pembunuhan terhadap Dodi Sumanto (CNN Indonesia, diakses pada 5 Desember 2020). Marwah penegak hukum untuk yang kesekian kalinya tercoreng dan seolah menjadi pertunjukan lumrah bagi masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dalam penyelesaian kasus pidana, seluruh elemen didalam sistem peradilan pidana agaknya menafikkan kontribusi saksi dalam memberikan keterangan yang dapat membuat terang pembuktian mengenai tindak pidana. Sejalan dengan itu Dr. Siswanto Sunarso memberikan kritik bahwa seolah-olah keberhasilan pengungkapan peristiwa pidana, merupakan sepenuhnya jasa dari penegak hukum. Padahal disadari atau tidak bahwa keberhasilan dalam pengungkapan suatu peristiwa pidana ini, tidak terlepas peran serta dan tanggungjawab hukum dari para saksi dan atau korban yang terlibat langsung dalam suatu peristiwa pidana yang terjadi (Dr. H. Siswanto Sunarso, 2019).
Permasalahan mengenai saksi dan korban bukanlah hal yang baru terjadi di Indonesia. dalam suatu delik umum maupun khusus, ketika suatu tindak pidana tersebut memiliki jaringan yang kuat menjadi konsekuensi dibutuhkannya peran serta saksi (baik masyrakat umum maupun yang terikat oleh organisasi pemerintah ataupun swasta) semakin banyak dibutuhkan untuk pembuktian suatu tindak pidana. Namun, kerapkali peran serta masyarakat baik secara fisik maupun psikis mengalami intimidasi oleh oknum-oknum dengan tujuan tidak melaporkan atau tidak memberikan keterangan yang sebenarnya dalam peristiwa pidana kepada penegak hukum ataupun dipaksa mengakui sebuah perbuatan yang tidak dilakukannya dengan ancaman atau penganiayaan. Untuk itu penulis mengusung tulisan ini dengan maksud upaya kontemplatif bagi penegak hukum maupun seluruh elemen masyarakat serta menjadi upaya edukatif untuk memperkaya khazanah pengetahuan akan penegakan hukum di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Reposisi Saksi Menjadi Tersangka
Mahkamah Agung (MA) sebagai pemangku kekuasaan kehakiman menyatakan bahwa hakim berhak menetapkan status saksi menjadi tersangka apabila dalam persidangan ditemukan bukti keterlibatan saksi dalam suatu perkara, hakim dapat meminta aparat penegak hukum lain untuk menindaklanjuti dugaan keterlibatan saksi tersebut. Jika ditemukan bukti yang cukup dalam perkara yang sama, maka kepada saksi dapat dikenakan status tersangka (vide SEMA No. 2 Tahun 1985 tentang Seleksi Terhadap Saksi-Saksi yang Diperintahkan Untuk Hadir di Sidang Pengadilan). Kewenangan Hakim dalam menetapkan status saksi menjadi tersangka juga dapat diberikan apabila saksi memberikan keterangan palsu, penetapan status tersebut terlebih dulu dilakukan dengan memberikan ancaman sanksi apabila saksi memberikan keterangan palsu. Dan apabila tetap memberikan keterangan palsu, maka hakim langsung memerintahkan penahanan terhadap saksi dan dituntut oleh penuntut umum (PU) karena sumpah palsu (vide pasal 174 KUHAP). Serta dalam praktiknya penyidik juga dapat menetapkan status saksi menjadi tersangka apabila memenuhi bukti permulaan yang cukup akan kaitannya dengan dugaan tindak pidana, baik dijadikan satu kesatuan ataupun terpisah. Penyidik tidak dapat semena-mena dengan kepentingannya dalam menjalankan tugas menaikkan status saksi menjadi tersangka. Oleh sebab itu menjadi kewajiban penyidik dalam melakukan reposisi saksi menjadi terdakwa memperhatikan dan menjalankan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Kedudukan Serta Peranan Saksi
Dalam pembuktian tindak pidana di Indonesia, seseorang bisa dinyatakan bersalah dan dapat dipidana dengan syarat memenuhi sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwa merupakan pihak yang bersalah melakukannya (vide pasal 183 KUHAP). Sehingga ketentuan minimum bagi hakim dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa adalah adanya dua alat bukti yang sah yang selaras, saling menguatkan dan tidak saling bertentangan. Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti paling utama, dikarenakan hampir semua pemeriksaan hukum acara pidana selalu mengacu pada keterangan saksi di persidangan. Namun tidak semua keterangan saksi bisa menjadi alat bukti yang sah. Keterangan saksi yang mempunyai nilai pembuktian adalah keterangan saksi yang berasal dari suatu peristiwa yang dia dengar, lihat dan dialami sendiri. Dengan demikian keterangan saksi yang berasal dari pengalaman orang lain tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti di persidangan.
ADVERTISEMENT
Kedudukan keterangan saksi dalam kualifikasi alat bukti, sangat erat kaitannya dengan keberlangsungan atau penyelesaian tindak pidana, oleh sebab itu perlu mengetahui rangkaian dalam ajaran mengadili; konstatasi, kualifikasi, dan konstitusi. Simplifikasi dari ajaran tersebut menurut Mertokusumo yang dijelaskan oleh Prof Marcus Priyo dan Wahyu Sudrajat dalam buku Dekontruski Putusan Bebas dan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum (Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, 2018). Pertama, konstatasi adalah suatu proses mencari sebuah fakta hukum pada keseluruhan peristiwa yang diuji menggunakan dua alat bukti yang sah. Pada tahapan sebuah peristiwa yang dihadirkan harus mampu diverifikasi untuk menemukan sebuah fakta hukum berdasarkan batu uji dua alat bukti yang sah. Kedua, tahapan kualifikasi ini terbagi akan dua proses yakni kualifikasi perbuatan pidana dan kualifikasi pembuat. Kualifikasi perbuatan pidana adalah proses mengkualifikasikan setiap unsur perbuatan pidana terhadap fakta yang telah didapatkan pada tahapan konstatasi, sedang kualifikasi pembuat adalah proses mengkualifikasikan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku yang dimana orientasinya adalah menilai apakah terdapat kesalahan baik berupa kesengajaan ataupun kealpaan kepada terdakwa yang dapat dicela atas kesalahan tersebut. Ketiga, tahapan konstitusi yaitu proses akhir berupa penjatuhan putusan berdasarkan petimbangan rangkaian proses sebelumnya. Peran dan tanggungjawab saksi berkontribusi pada tahap awal (konstatasi), yang dimana sebagai syarat untuk dapat mealnjutkan ketahapan selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu melihat kedudukan saksi yang berkontribusi dalam pembuktian yang berkaitan erat dengan ajaran mengadili sudah sepantasnya saksi mendapatkan sebuah perlindungan untuk memproteksi kedudukannya yang rawan menerima ancaman oleh beberapa oknum dengan ragam kepentingannya baik dengan mengintimidasi saksi untuk tidak melaporkan, memberikan keterangan yang sebenarnya ataupun dipaksa mengakui sebuah perbuatan yang tidak dilakukannya dengan ancaman atau penganiayaan.
Berdasarkan uraian di atas, terdapat tiga upaya yang dapat penulis kembali gaungkan untuk memperkuat kedudukan saksi dalam menjaga marwah penegakan hukum di Indonesia. Pertama, memperluas ketentuan dalam memperoleh perlindungan saksi dan korban kepada lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK) tidak hanya sebatas permohonan yang diajukan secara tertulis. Perluasan tersebut berupa inisiasi LPSK selaku lembaga independen dengan mempertimbangkan syarat; sifat pentingnya saksi, tingkat ancaman yang membahayakan saksi, hasil analisis tim medis atau psikolog, dan rekam jejak kejahatan yang penuh dilakukan oleh saksi. Kedua, untuk mendukung saran pertama diperlukan kedudukan / keberadaan LPSK disetiap daerah yang provinsi untuk dapat secara langsung menganalisa sebuah ancaman terhadap saksi. Ketiga, menjamin perlidungan dan penghargaan (reward) terhadap saksi sebagai apresiasi atas kontribusi selaku warga negara dan tanggungjawab saksi dengan mendukung penegakan hukum pidana.
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka
Buku
Sunarso, Siswanto (Ed.). 2019. Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, Cet. 4, Jakarta: Sinar Grafika.
Gunarto, Marcus Priyo dan Wahyu Sudrajat. 2018. Dekontruksi Putusan Bebas dan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum, Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 1985 tentang Seleksi Terhadap Saksi-Saksi yang Diperintahkan Untuk Hadir di Sidang Pengadilan.
Media Online
CNN Indonesia,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200714145520-12-524521/6-polisi-penganiaya-kuli-di-tahanan-dibebastugaskan (diakses 5 Desember 2020).