Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Konsep Hak Milik Ditinjau dari Perspektif Fiqh Muamalat dan Hukum Positif
21 Desember 2021 14:10 WIB
Tulisan dari Bima Adjie Prasetyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Harta yang melekat pada manusia sejatinya adalah harta milik Allah swt. Manusia hanyalah makhluk yang diberi wewenang (kepercayaan) untuk mengelola dan menggunakan sumber daya tersebut sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Namun, tidak semua manusia memiliki kemampuan untuk mengendalikan atau memilikinya, memungkinkan dia untuk menggunakannya secara bebas.
ADVERTISEMENT
Kata milik berasal dari bahasa Arab al-Milk yang berarti penguasaan terhadap sesuatu. Al-milk juga berarti sesuatu yang dimiliki (harta). Jadi pada prinsipnya atas dasar milkiyah (pemilikan) seseorang mempunyai keistimewaan berupa kebebasan dalam membelanjakannya selama tidak ada halangan tertentu yang diakui oleh syara’.
Ada dua jenis hambatan syara' (al-mani') yang membatasi kebebasan pemilik dalam membelanjakan apa yang menjadi haknya: hambatan yang disebabkan oleh ketidakmampuan hukum pemilik, seperti anak kecil, atau hambatan yang disebabkan oleh safih (cacat mental), atau hambatan yang disebabkan oleh taflis (kepailitan), dan hambatan yang dimaksudkan untuk melindungi kepentingan orang lain atau masyarakat umum, sebagaimana tercantum dalam ta'assuf fi isti'malil.
Namun, muncul pertanyaan apakah kepemilikan akan harta itu bersifat mutlak? Ulama fiqih memperdebatkan topik ini sehubungan dengan kepemilikan pribadi dan kepentingan umum. Mereka sepakat bahwa Islam melindungi hak seseorang untuk memiliki harta selama dilakukan sesuai dengan syara'. Dia bebas mengembangkan kekayaannya dan menghasilkan uang sebanyak yang dia bisa dengan cara yang jujur. Allah SWT di sisi lain, adalah pemilik yang sah dari kekayaan. Hanya dalam arti yang luas seseorang dapat dianggap memiliki harta, dan harta itu adalah titipan di tangannya yang harus digunakan untuk kebaikan dirinya sendiri dan orang lain (QS. Al-Maidah :120 dan QS. Al-Hadid :7)
ADVERTISEMENT
Kekhawatiran tentang kepentingan umum membatasi kemampuan seseorang untuk bertindak atas hak milik pribadinya. Misalnya, setiap orang diperbolehkan untuk memperoleh kekayaan sebanyak yang mereka pilih, tetapi cara yang mereka peroleh tidak boleh melanggar hukum syara' dan merugikan kepentingan pribadi dan kepentingan orang lain. Sehingga, muamalah dengan riba, ikhtikar, penipuan, dan penyelundupan, menurut az-Zarqa adalah metode yang dilarang oleh syara' karena perilaku tersebut tidak hanya bertentangan dengan kehendak syara, tetapi juga merugikan individu dan masyarakat lain.
Hak milik dapat berakhir karena berbagai alasan, menurut para ahli fikih mereka berpendapat: pertama, hak milik berakhir dikarenakan pemilik meninggal, dan semua hartanya beralih ke ahli warisnya; kedua, harta benda itu rusak atau hilang. Situasi-situasi berikut akan mengakibatkan hilangnya kepemilikan atas suatu manfaat suatu aset: Yang pertama adalah berakhirnya waktu pemanfaatan, seperti ketika sawah digunakan setelah panen, dan yang kedua adalah rusak atau hilangnya barang-barang yang digunakan.
ADVERTISEMENT
Sedangkan konsep hak milik menurut hukum positif di Indonesia, bahwasanya disebutkan dalam Pasal 20–27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 mengenai Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang mengatur tentang hak milik (selanjutnya disebut UUPA). Hak milik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) UUPA adalah hak yang turun-temurun, terkuat, dan terlengkap yang dapat dimiliki oleh orang-orang atas tanah, dengan tunduk pada batasan-batasan Pasal 6 UUPA. Hak terkuat dan terlengkap yang disebutkan dalam definisi ini tidak berarti bahwa hak milik adalah hak yang mutlak, tidak terbatas, dan tidak dapat diganggu gugat, seperti halnya hak eigendom, melainkan bahwa hak milik adalah yang terkuat dan terlengkap di antara hak atas tanah.
Hak milik disebut sebagai hak turun-temurun karena dapat diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hak milik adalah hak yang paling kuat, yang berarti tidak dapat dengan mudah dicabut atau dilindungi dari gangguan pihak ketiga. Jika dibandingkan dengan hak-hak lainnya, hak milik memiliki kewenangan yang paling luas. Artinya hak milik dapat menjadi induk dari hak-hak lain, seperti hak pemilik untuk menyewakan harta itu kepada orang lain. Kewenangan pemegang hak milik tidak dibatasi sepanjang tidak dibatasi oleh penguasa. Hak milik dapat dialihkan dan diwariskan kepada pihak lain, selain bersifat turun temurun, terkuat, dan terlengkap.
ADVERTISEMENT
Warga negara asing dan orang yang berkewarga-negaraan ganda tidak diperbolehkan memiliki hak milik (warga negara Indonesia maupun warga negara asing). Mereka yang memperoleh hak milik melalui pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan wajib melepaskan hak tersebut dalam waktu satu tahun setelah memperoleh hak milik. Apabila jangka waktu itu berakhir dengan tidak adanya penyerahan hak milik, maka hak milik itu batal demi hukum, dan tanah itu menjadi milik negara, dengan tunduk pada hak-hak pihak lain yang membebani tanah itu.
Hak milik dapat dialihkan kepada pihak lain dengan cara pembelian dan penjualan barang, hibah, pertukaran, pemberian wasiat, dan tindakan lain yang bertujuan untuk mengalihkan hak milik. Penting untuk digarisbawahi bahwa hak milik tidak dapat dialihkan kepada orang asing atau badan hukum karena mereka tidak tunduk pada hak milik. Akibatnya peralihan tersebut batal demi hukum, dan tanah tersebut menjadi milik negara. Menurut ketentuan Pasal 27 UUPA, hak milik akan terhapus apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan peraturan landreform yang mengenai pembatasan maksimum dan larangan pemilikan tanah/pertanian secara absentee.
ADVERTISEMENT