Konten dari Pengguna

Kesalahpahaman Tentang Buta Warna Pada Dunia Kerja Dan Pendidikan

Bima Kurnia
Seorang warga kota malang yang sedang menempuh pendidikan S1
22 Desember 2024 9:44 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bima Kurnia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Buta warna, sebuah kondisi genetik yang memengaruhi kemampuan seseorang dalam membedakan warna tertentu, sering kali disalahpahami sebagai keterbatasan besar yang menghalangi akses ke berbagai peluang kerja dan pendidikan di Indonesia. Padahal, kondisi ini sama sekali tidak memengaruhi kecerdasan, kreativitas, atau produktivitas seseorang. Namun, persepsi yang keliru dan kebijakan yang tidak inklusif terus menciptakan hambatan yang tidak proporsional, memperkuat diskriminasi terhadap individu dengan buta warna. Fenomena ini mencerminkan kurangnya pemahaman dan komitmen untuk menghadirkan lingkungan yang lebih adil dan inklusif di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dalam dunia kerja, tes buta warna sering menjadi bagian dari proses seleksi medis, bahkan untuk posisi yang tidak memerlukan kemampuan membedakan warna secara signifikan. Banyak perusahaan, terutama di sektor transportasi dan keselamatan kerja seperti penerbangan, mensyaratkan tes ini sebagai syarat wajib. Sayangnya, kebijakan ini juga diterapkan secara seragam pada profesi lain, seperti administrasi, teknisi, atau desain grafis, di mana kemampuan membedakan warna tidak selalu relevan. Dalam kasus desain grafis, misalnya, teknologi modern sebenarnya memungkinkan individu dengan buta warna untuk bekerja tanpa hambatan berarti. Meski demikian, mereka tetap sering ditolak karena dianggap "tidak memenuhi kualifikasi kesehatan."
Ilustrasi kecewa karena gagal melamar pekerjaan. Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels: https://www.pexels.com/id-id/foto/foto-pria-menyentuh-kepala-3752834/
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kecewa karena gagal melamar pekerjaan. Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels: https://www.pexels.com/id-id/foto/foto-pria-menyentuh-kepala-3752834/
Penelitian menunjukkan bahwa bias implisit dan eksplisit sering kali memengaruhi keputusan rekrutmen. Verma (2020) mencatat bahwa individu dengan kondisi tertentu, termasuk buta warna, sering kali dianggap tidak kompeten hanya berdasarkan asumsi yang tidak didukung data. Meskipun ada kemajuan kecil menuju inklusi di beberapa perusahaan, diskriminasi semacam ini masih sangat lazim. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan rekrutmen di Indonesia masih perlu banyak perbaikan agar lebih berbasis kompetensi daripada standar kesehatan yang tidak relevan.
ADVERTISEMENT
Di dunia pendidikan, diskriminasi terhadap individu dengan buta warna juga terlihat jelas, terutama di bidang pendidikan profesi seperti kedokteran. Banyak universitas menetapkan tes buta warna sebagai syarat seleksi masuk, bahkan untuk program studi atau spesialisasi yang tidak membutuhkan kemampuan membedakan warna. Contohnya, seorang calon mahasiswa dengan buta warna parsial yang bercita-cita menjadi spesialis radiologi atau patologi sering kali ditolak hanya karena "tidak memenuhi standar kesehatan." Padahal, kedua bidang tersebut lebih bergantung pada analisis pola dan struktur daripada persepsi warna.
Kesalahan ini berakar pada pemahaman yang sempit bahwa buta warna memengaruhi kemampuan visual secara keseluruhan. Studi Apfelbaum et al. (2008) menunjukkan bahwa kebijakan berbasis "colorblindness" sering kali mengabaikan kebutuhan spesifik individu, sehingga memperkuat diskriminasi sistemik dalam pendidikan dan dunia profesional. Hingga saat ini, belum banyak upaya konkret untuk merevisi kebijakan ini, sehingga individu berbakat dengan buta warna terus kehilangan peluang untuk berkembang dan berkontribusi sesuai potensinya.
ADVERTISEMENT
Kesalahpahaman ini tidak hanya berdampak pada aspek pekerjaan dan pendidikan tetapi juga menciptakan stigma sosial yang mengakar. Di masyarakat, individu dengan buta warna sering dianggap "kurang sempurna" atau "tidak mampu," sehingga kemampuan mereka sering diremehkan tanpa dasar yang jelas. Santoso (2023) mencatat bahwa diskriminasi terhadap penyandang disabilitas, termasuk buta warna, berakar pada pola pikir yang mengutamakan "kenormalan" sebagai standar utama dalam menilai kemampuan seseorang. Hal ini mengakibatkan individu dengan buta warna cenderung menghindari posisi tertentu atau bidang studi yang mereka minati, hanya karena takut dihakimi atau ditolak.
Stigma ini juga berkontribusi pada ketimpangan sosial yang lebih luas. Ketika individu dengan buta warna tidak mendapatkan akses ke pekerjaan atau pendidikan sesuai minat dan kemampuan mereka, mereka sering kali terpaksa memilih jalur karier yang kurang sesuai. Akibatnya, potensi mereka tidak dimaksimalkan, dan mereka kehilangan peluang untuk mobilitas sosial. Selain itu, kurangnya advokasi dan representasi bagi individu dengan buta warna dalam kebijakan publik membuat diskriminasi ini semakin sulit diatasi.
ADVERTISEMENT
Dalam perspektif agama, khususnya Islam, perlakuan setara dan empati terhadap individu dengan keterbatasan adalah nilai fundamental yang diajarkan Al-Qur'an. Santoso (2023) menekankan bahwa Islam mengajarkan pentingnya menghormati perbedaan dan memberikan ruang yang adil bagi semua individu untuk berkontribusi. Namun, implementasi nilai-nilai ini dalam praktik sosial dan kebijakan masih terbatas. Pendidikan dan kampanye kesadaran tentang bagaimana nilai-nilai agama dapat mendukung inklusi bagi individu dengan kondisi seperti buta warna sangat diperlukan untuk mengubah cara pandang masyarakat.
Untuk mengatasi fenomena ini, diperlukan langkah-langkah konkret. Pemerintah, institusi pendidikan, dan perusahaan harus mulai merevisi kebijakan diskriminatif dengan meninjau kembali relevansi tes buta warna dalam seleksi kerja atau pendidikan. Edukasi masyarakat melalui kampanye publik juga penting untuk meningkatkan pemahaman tentang buta warna dan potensinya. Selain itu, penerapan nilai-nilai empati dalam kebijakan publik dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan adil bagi semua.
ADVERTISEMENT
Dengan menghapus stigma dan membuka akses yang lebih luas bagi individu dengan buta warna, Indonesia tidak hanya akan memberikan peluang yang lebih adil kepada mereka tetapi juga memperkuat keberagaman dan potensi masyarakat secara keseluruhan. Transformasi ini membutuhkan komitmen bersama, tetapi dampaknya akan membawa manfaat yang besar bagi individu dan bangsa secara keseluruhan.

Daftar Pustaka

Apfelbaum, E. P., Sommers, S. R., & Norton, M. I. (2008). Seeing race and seeming racist? Evaluating strategic colorblindness in social interaction. Journal of Personality and Social Psychology, 95(4), 918–932.
Verma, K. (2020). The impact of colorblind racial attitudes and implicit bias in evaluations of student behavior (Master’s thesis, Illinois State University). Retrieved from
Santoso, B. (2023). Empati sebagai solusi diskriminatif terhadap kaum disabilitas perspektif Tafsir Al-Misbah (Tesis Magister, Institut PTIQ Jakarta). Jakarta: Institut PTIQ Jakarta.
ADVERTISEMENT