"Nglangse" Tradisi Peninggalan Nenek Moyang di Gunungkidul, Yogyakarta

Bima Mahardika
Mahasiswa Universitas Amikom Yogyakarta
Konten dari Pengguna
30 April 2024 10:44 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bima Mahardika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Nglangse”, Tradisi Peninggalan Nenek Moyang Ungkapan
Rasa Syukur dan Upaya Untuk Menjaga Kelestarian Alam
ADVERTISEMENT
Mungkin bagi sebagian besar mungkin tidak mengetahui apa itu Nglangse. Nglangse merupakan sebuah tradisi turun menurun yang
Pemasangan kain putih suci atau disebut dengan istilah nglangse Sumber gambar: Dokumentasi Penulis
Nglangse, Mungkin bagi sebagian besar mungkin tidak mengetahui apa itu Nglangse. Nglangse merupakan sebuah tradisi turun menurun yang selalu dilakukan oleh warga Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tradisi ini bertujuan sebagai wujud rasa syukur dan ungkapan terimakasih kepada alam yang telah memberi manfaat terhadap semua makhluk hidup. Biasanya tradisi ini dilaksanakan setelah musim panen. Nglangse berasal dari kata Langse yang memiliki arti menutup. Dalam tradisi ini berarti memasang sebuah sebuah kain putih ke pohon besar atau disebut dengan istilah pohon “Resan”. Kain putih yang dipasang pun memiliki makna tersendiri, seperti kain berawarna putih yang memiliki arti suci. Resan sendiri berasal dari kata “Reksa” atau “Wreksa” yang memiliki arti menjaga atau merangkul. Pohon resan di dominasi oleh pohon ficus atau beringin. Karena sebagian daerah di Gunungkidul merupakan daerah yang kekurangan air, maka pohon besar sangat membantu para masyarakat dalam keseterdiaan air secara alami. Sehingga tidak heran jika pohon-pohon besar yang berada dikawasan tersebut dianggap sakral dan sangat di cintai oleh para masyarakat di kawasan Gunungkidul. Selain menjaga ketersediaan air, pohon resan juga memiliki manfaat lainya seperti mencegah bencana alam seperti tanah longsor dan pergerakan tanah, dan menyediakan udara yang segar dan sehat untuk dihirup oleh manusia.
Ritual dan berdoa yang dilakukan oleh tokoh setempat Sumber: Dokumentasi penulis
Kami mengikuti tradisi ini pada tanggal 15 april 2024 yang dilaksanakan di Telaga Dondong yang terletak di Dondong, Jetis, Kec. Saptosari, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta 55871. Kami mengetahui acara ini karena kami diajak oleh salah satu pengurus Komunitas Resan “Mas Edi Padmo”. Tradisi ini diikuti oleh berbagai kalangan masyarakat mulai dari komunitas resan gunungkidul, sesepuh desa, juru kunci, kepala dusun, mahasiswa, dosen, awak media, peneliti, Tamu dari Jakarta dan beberapa warga mancanegara. Acara ini dimulai dari pagi hingga sore hari. Berbagai masyarakat saling berbaur tanpa perbedaan, yang awalnya tidak kenal menjadi akrab seperti saudara sendiri. Acara ini dimulai dengan kenduri yang dilaksanakan di rumah kepala dusun setempat, kemudian masyarakat membawa makanan dari kenduri tersebut ke kawasan yang akan dilakukan nglangse. Berikutnya semua masyarakat melakukan gotongroyong membersihkan telaga yang kami lakukan di Telaga Dondong. Beberapa masyarakat yang mengikuti komunitas dan tokoh setempat mengenakan pakaian adat khas Yogyakarta. Setelah melakukan bersih dusun acara berikutnya yaitu dengan meletakan sesajen dan kemenyan ke pohon besar dengan ritual berdoa yang dilaksanakan oleh juru kunci dan sesepuh desa. Tujuan dari hal tersebut bukan bertujuan untuk hal sesat, tetapi bertujuan untuk berterimakasih kepada alam dan beberapa makhluk yang hidup berdampingan dengan kita. Kita sebagai masyarakat Jawa percaya bahwa dalam kehidupan kita didunia kita tidak sendiri, melainkan kita berdampingan dengan makhluk lain seperti jin dan makhuk astral lainya. Acara selanjutnya yaitu berdoa bersama yang dilakukan oleh semua masyarakat yang terdapat di acara tersebut. Setelah selesai berdoa bersama kami diajak untuk makan bersama atau dengan istilah tambul. Terdapat macam-macam makanan dalam acara ini seperti nasi uduk, ayam ingkung, oseng tempe, bakmi, kerupuk dan masih banyak lagi. Meskipun menu yang sederhana namun rasa masakan ini luar biasa enak ditambah dengan suasana makan bersama dengan alas daun pisang dibawah pohon yang rindang menambah nafsu tersendiri.
Persiapan tambul atau makan bersama Sumber: Dokumentasi penulis
Setelah makan bersama acara inti pun tiba yaitu pemasangan kain putih ke pohon besar yang dianggap sakral. Upacara pemasangan ini dilakukan oleh juru kunci dan di saksikan oleh masyarakat yang ikut serta dalam acara ini. Selain itu juru kunci juga berdoa terhadap pohon yang di langse dengan harapan pohon tersebut dapat selalu menjaga kelestarian makluk hidup dan menjaga keselamatan bagi warga setempat. Setelah nglangse selesai, kami juga diajak untuk mengikuti penanaman pohon baru sebagai simbolik. Bibit pohon tersebut ditanam di kawasan Telaga Dondong . Kami bersyukur dapat mengikuti acara ini, selain dapat memahami cara berterimakasih terhadap alam kami juga mendapatkan saudara baru. Warga di kawasan ini sangat ramah sekali tidak peduli apapun jabatanya kami dianggap sama rata saat acara tersebut. Pelajaran yang kami dapatkan bahwa makhluk hidup mau setinggi apapun kasta kita, kita tidak akan dapat hidup tanpa adanya alam. Karena dalam suatu keberhasilan yang kita lakukan alam ikut serta dalam mencapainya. Pelajaran berikutnya yang kami dapatkan bahwa kesederhanaan akan membuat kita merasa nyaman dan menambah persaudaraan tanpa ada jarak.
ADVERTISEMENT