Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
29 Ramadhan 1446 HSabtu, 29 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Hipotermia Dalam Wisata Pendakian Gunung: Bahaya Objektif Atau Subjektif?
26 Maret 2025 11:02 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Bima Saskuandra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kegiatan mendaki gunung di Indonesia awalnya hanya dilakukan oleh kelompok pecinta alam yang bersifat petualangan dan edukasi, selain juga oleh masyarakat lokal yang melakukannya untuk ziarah atau ritual. Kegiatan ini bergeser menjadi kegiatan wisata ketika beberapa Taman Nasional membuka akses untuk kegiatan ini dan tahun demi tahun wisata pendakian semakin banyak dilakukan oleh masyarakat. Kemampuan daya beli yang terus meningkat dan juga pengaruh dari film dan media sosial kemudian juga menggeser wisata pendakian gunung dari wisata jenis minat khusus menjadi wisata masal. Pergeseran menjadi wisata masal diperkirakan dimulai sejak 2013 dan pada tahun 2019, diperkirakan terdapat 2,2 juta perjalanan wisata pendakian gunung yang dilakukan masyarakat di Indonesia. Jumlah ini menurun drastis di tahun 2020 karena pandemi akan tetapi pulih dengan cepat setelah pandemi berakhir.
ADVERTISEMENT
Pendakian gunung merupakan kegiatan berisiko yang cukup tinggi karena terdapat berbagai macam bahaya yang akan dihadapi wisatawan pendaki. John Ohlson (2010), di dalam buku Mountaineering: The Freedom of the Hills, pada Chapter 22. Safety: How to Stay Alive, menyebutkan bahwa bahaya yang dihadapi saat mendaki terdiri dari dua jenis, yaitu bahaya objektif (atau gunung) dan bahaya subjektif (atau manusia). Bahaya objektif antara lain cuaca buruk, ketinggian, longsoran salju, guguran batu, dan lain sebagainya. Sementara bahaya subjektif dapat berupa keterampilan yang tidak mencukupi, kebugaran yang tidak memadai, cara berpikir yang salah karena ketidaktahuan, menganggap mudah ataupun terganggu perhatiannya, yang kemudian mendorong pengambilan keputusan yang buruk.
Setiap pendaki gunung ataupun wisatawan pendaki memiliki tujuan yang berbeda, misal melatih fisik dan mental, menikmati alam, fotografi, bersosialisasi, pencapaian, dan lain sebagainya. Melaksanakan sebuah tujuan dalam pendakian gunung seharusnya diimbangi dengan kemampuan fisik dan pengetahuan yang memadai, serta juga peralatan. Kenapa? Mendaki gunung artinya seseorang pergi ke lokasi yang sangat berbeda dengan kesehariannya, mulai dari kondisi alam hingga fasilitas yang tersedia. Perbedaan dengan keseharian ini kemudian akan meningkatkan risiko akan keselamatan diri bagi si pelaku. Penanganan risiko dalam pendakian gunung menjadi hal yang kompleks karena melibatkan banyak bidang keilmuan, seperti fisiologi, meteorologi, geomorfologi, geografi, teknologi apparel, dan banyak lagi lainnya.
ADVERTISEMENT
Sejalan dengan kenaikan jumlah pendaki gunung dan wisatawan pendaki, maka jumlah kecelakaanpun meningkat. Mulai dari kecelakaan kecil, seperti luka lecet, hingga kecelakaan dengan kematian. Dari data yang dikumpulkan dari berbagai situs berita dan media sosial sejak tahun 2013, ternyata hipotermia menjadi faktor yang diduga menjadi penyebab kematian di gunung yang tinggi yaitu 18% (lihat Diagram 1). Secara umum, hipotermia adalah penurunan suhu inti tubuh hingga dibawah 35 °C. Salah satu penyebab terjadinya hipotermia adalah faktor alam atau bahaya objektif, yaitu suhu udara yang dingin.
Informasi yang dikumpulkan dari situs BMKG, memperlihatkan suhu rata-rata di Indonesia dari tahun 2013 hingga 2024 ada dalam rentang 26,6 – 27,5 °C (lihat Diagram 1). Rentang suhu yang normal bagi negara yang berada di lintasan khatulistiwa. Stasiun-stasiun pemantau cuaca yang dimiliki oleh BMKG memang tidak dapat merekam suhu udara di gunung-gunung di Indonesia secara akurat karena lokasinya tidak berada di gunung. Jika merujuk pada informasi yang diperoleh dari para pendaki gunung, suhu udara secara umum berada di rentang 5 hingga 14 °C. Memang ada beberapa tempat yang bisa di bawah 0 °C, seperti area perkemahan di Ranu Kumbolo, dataran tinggi Dieng, ataupun Alun-alun Suryakencana di gunung Gede dapat mencapai -5 °C di bulan Juli-Agustus. Bahkan, gunung Cartenzs Pyramid di Papua dengan ketinggian 4.884 mdpl dapat mencapai -10 °C.
ADVERTISEMENT
Rentang suhu yang demikian seharusnya tidak menjadi bahaya objektif, lalu apa yang menyebabkan pendaki gunung ataupun wisatawan pendaki di Indonesia mengalami hipotermia?
HIPOTERMIA
Dari berbagai sumber referensi, hipotermia dapat disimpulkan sebagai penurunan suhu inti tubuh hingga di bawah 35 °C. Inti tubuh yang dimaksud adalah otak, jantung, paru-paru, dan organ vital tubuh lainnya. Jika penurunan suhu inti tubuh ini tidak segera ditangani maka akan mempengaruhi beberapa sistem dalam tubuh, bahkan dapat merusaknya. Beberapa sistem dalam tubuh adalah sistem kardiovaskular, sistem pernafasan, sistem saraf, sistem pencernaan hingga fungsi ginjal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hipotermia merupakan keadaan darurat medis dan memerlukan perawatan segera.
Dalam konteks wisata pendakian gunung, hipotermia dapat terjadi akibat tubuh kehilangan lebih banyak panas daripada yang dapat dihasilkannya. Hal ini dapat disebabkan karena tubuh terpapar udara dingin tanpa pakaian pelindung yang memadai, mengenakan pakaian basah karena air hujan atau keringat, aktivitas berat hingga kelelahan, tidak cukup makan dan minum, ataupun kondisi sistem internal tubuh tertentu. Jika tubuh terpapar udara dingin secara terus menerus, maka tubuh akan mulai menggunakan energi yang tersimpan dan jika habis maka fungsi inti tubuh akan berhenti.
ADVERTISEMENT
Dari Diagram 2 dapat dilihat bahwa persentase kematian di gunung dengan dugaan hipotermia tertinggi ada dalam rentang 12-16 tahun, yaitu 37% dan diikuti dengan rentang umur 17-25 tahun yaitu 21%. Ada beberapa kasus yang dapat dianalisis untuk menemukan penyebabnya, misalkan saja kematian 3 remaja dalam satu kejadian di gunung Tampomas (1,684 mdpl) pada Maret 2019, yaitu FF (13), LP (13), dan AP (15). Ketiga remaja ini ditemukan dalam posisi meringkuk di Pos 4 dengan baju basah karena terkena hujan dan mereka hanya membawa peralatan seadanya. Kasus lain adalah kematian 3 remaja lainnya, juga dalam satu kejadian, di gunung Bawakaraeng (2.840 mdpl) pada Agustus 2021, yaitu SW (21), ZA (21), dan MR (20). Ketiganya terkena hujan dan angin, dan ditemukan di lokasi yang berbeda-beda di antara ketinggian 2.100 – 2.600 mdpl. Dari beberapa situs berita, dinyatakan juga jika ketiganya tidak memiliki cukup bahan makanan. Suhu udara di gunung Bawakaraeng saat itu dilaporkan berada pada rentang 10-15 °C.
ADVERTISEMENT
Jika 39 kasus tersebut dianalisis satu per satu dan faktor cuaca dikesampingkan terlebih dahulu, maka terdapat beberapa kesamaan, yaitu:
1. Para korban tersebut tidak mengenakan pakaian ataupun menggunakan peralatan yang cukup untuk melindungi tubuhnya dari udara dingin, angin dan hujan.
2. Banyak kasus menunjukkan bahwa korban tidak cukup mendapat asupan kalori.
3. Hampir di semua kasus, korban ataupun teman-teman korban tidak menyadari kalau yang bersangkutan sudah terserang hipotermia.
4. Di banyak kasus, korban ataupun teman-teman korban tidak tahu bagaimana menangani hipotermia terutama jika sudah memasuki tahapan Sedang, dimana suhu tubuh ada di antara 28-32 °C.
5. Di beberapa kasus, terlihat kecenderungan korban percaya diri bahwa dia mampu menahan dingin ataupun menganggap ringan keadaan cuaca.
ADVERTISEMENT
Kelima hal tersebut memang masih merupakan asumsi dari hasil analisis kejadian karena pembuktian dengan analisis penyebab kematian secara medis sesuai dengan prosedur yang ditetapkan Kemenkes belum pernah dilakukan. Jika asumsi tersebut dianggap benar maka bahaya objektif, yaitu bahaya yang datang dari diri si pendaki gunung, merupakan faktor yang sangat berperan dalam kecelakaan dengan kematian akibat dugaan hipotermia. Semua kejadian kecelakaan tersebut terjadi di bawah ketinggian 3.400 mdpl, dimana suhu secara umum masih berada di atas 5 °C. Selain suhu, hujan dan angin (wind chill effect) memang akan menjadi faktor penentu lainnya.
Kegiatan sosialisasi dan edukasi tentang hipotermia sudah dilakukan bertahun-tahun, baik melalui acara sharing session, diskusi, seminar, pelatihan, ataupun melalui media sosial dan situs berita. Dari Diagram 1 terlihat bahwa terlihat penurunan tren pada 3 tahun terakhir, akan tetapi kejadian hipotermia dengan korban bisa diselamatkan masih cukup sering terjadi dan polanya masih di sekitar 5 asumsi di atas. Para pelaku dalam aktivitas pendakian gunung dan wisata pendakian gunung sebaiknya memulai pendakian gunung dengan mengedukasi dan memahami dirinya sendiri terlebih dahulu, serta tidak memaksa melampaui batas kemampuan diri pada saat mendaki gunung.
ADVERTISEMENT