Konten dari Pengguna
Leadership School: Sebuah Kegiatan Formalitas atau Pencetak Pemimpin Berkualitas
30 Juli 2025 11:08 WIB
·
waktu baca 4 menit
Kiriman Pengguna
Leadership School: Sebuah Kegiatan Formalitas atau Pencetak Pemimpin Berkualitas
Sekolah kepemimpina dewasa ini kerap diadakan oelh banyak pihak. Namun sayangnya sekolah kepemimpinan dinilai mulai khilangan substansi dan hanya menjadi sebuah ajaran untuk mendapatkan kursi jabatan.Moehammad Bintang Aimar Andika
Tulisan dari Moehammad Bintang Aimar Andika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Program pelatihan kepemimpinan mahasiswa kerap dianggap sebagai ritual kampus belaka. Sertifikat diambil, foto kegiatan dipajang di media sosial, lalu semuanya berakhir tanpa bekas. Namun, di tengah kompleksitas tantangan zaman, sekolah kepemimpinan justru bisa menjadi laboratorium kaderisasi pemimpin muda (jika dirancang dengan integritas). Artikel ini berupaya membedah jebakan formalitas dan peta jalan transformasi menuju kaderisasi bermakna demi menciptakan pemimpin yang berintegritas.

Gejala Formalitas: Ketika Kepemimpinan Dikerdilkan Menjadi Administrasi
Fenomena "kepemimpinan instan" semakin menggejala:
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Indikator Kualitas: Ciri Sekolah Kepemimpinan yang Autentik
Program dari sekolah kepemimpinan yang berdampak seringkali mengintegrasikan tiga dimensi:
Pelatihan berkualitas tidak mengajarkan kepemimpinan sebagai konsep abstrak, melainkan alat menjawab masalah riil. Universitas Pertiwi, misalnya, memasukkan problem solving untuk isu urban seperti kesenjangan digital dan krisis perumahan. Pendekatan case study digunakan untuk menganalisis kegagalan kepemimpinan dalam konflik agraria atau korupsi dana pendidikan.
Universitas Islam Syekh Yusuf (UNIS) Tangerang menerapkan outbound leadership di tengah komunitas petani, melatih mahasiswa merancang solusi pascapanen bersama warga. Sementara Universitas Muhammadiyah Yogyakarta menggunakan inbound-outbound hybrid: hari pertama membahas konsep komunikasi efektif dan teknik persuasi, hari berikutnya praktik langsung di lapangan.
Program berkualitas menuntut pertanggungjawaban nyata. Peserta didorong meluncurkan proyek kolaboratif usai pelatihan. Seperti mahasiswa FKIP dalam program "Kampus Mengajar" yang wajib mendemonstrasikan peningkatan literasi siswa SD sebagai bukti kepemimpinan edukatif.
ADVERTISEMENT
Pelatihan bermakna menyertakan refleksi kritis: "Mengapa saya ingin memimpin?" dan "Kepemimpinan untuk siapa?". Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) mengintegrasikan etika lingkungan dalam pelatihan kepemimpinan, mendorong peserta menilai kebijakan kampus dari dampak ekologisnya.
Faktor Penentu: Mengapa Sebagian Gagal Menjadi Laboratorium Kepemimpinan?
Problematika struktural kerap menggagalkan transformasi bagi sekolah kepemimpinan:
Dikotomi Akademis-Praktis: Teori kepemimpinan diajarkan di ruang kuliah tanpa kaitan dengan dinamika organisasi mahasiswa. Sebaliknya, pelatihan di BEM/ORMEK fokus pada teknis mobilisasi, mengabaikan filsafat kepemimpinan.
Budaya Instant Gratification: Pemimpin muda didorong mengejar quick wins (aksi viral, program seremonial) demi pencitraan, bukan investasi jangka panjang seperti pendampingan komunitas marginal.
Absensi Mentoring Pasca-Pelatihan: Hampir setiap sekolah kepemimpinan tak memiliki mekanisme pendampingan setelah program berakhir. Padahal, perubahan perilaku membutuhkan pendampingan berkelanjutan oleh mentor yang mengkritisi praktik kepemimpinan peserta di lapangan.
ADVERTISEMENT
Peta Transformasi: Menuju Sekolah Kepemimpinan yang Berintegritas
Mengubah ritual menjadi ruang kaderisasi memerlukan keberanian akan inovasi:
Kepemimpinan Bukan Tentang Sertifikat, Tapi Jejak Perubahan
Pertanyaan “formalitas atau kualitas?” pada sekolah kepemimpinan mahasiswa sesungguhnya adalah ujian bagi seluruh ekosistem kampus. Kepemimpinan bukanlah sertifikat yang dibingkai, melainkan keberanian mengubah ketidakadilan yang terstruktur. Ketika pelatihan hanya mengajarkan cara mengambil alih kursi BEM, bukan cara membela buruh kampus yang upahnya ditelantarkan, ia telah gagal menjadi sekolah manusia.
ADVERTISEMENT
Transformasi harus dimulai dari menolak dikotomi palsu. Kepemimpinan bukan pilihan antara teori atau praktik, melainkan fusi keduanya dalam aksi nyata. Seperti program "Kampus Mengajar" yang membuktikan kepemimpinan sejati terpupuk saat mahasiswa mengajari anak SD di pelosok sambil belajar pada ketangguhan komunitas marginal. Di titik inilah sekolah kepemimpinan menemukan rohnya. Bukan menara gading pencetak elit, tetapi tanah lapang tempat calon pemimpin berlatih mendengar denyut nadi rakyat.

