Konten dari Pengguna
Mengenal Post-Colonialisme dan Dampaknya pada Nilai Budaya Indonesia
6 Juli 2025 10:19 WIB
·
waktu baca 7 menitKiriman Pengguna
Mengenal Post-Colonialisme dan Dampaknya pada Nilai Budaya Indonesia
Penjelasan mengenai Post-Colonialism yang memperngaruhi tatanan hidup Indonesia. Mulai dari nilai hingga budaya yang terkontaminasi oleh BaratMoehammad Bintang Aimar Andika

Tulisan dari Moehammad Bintang Aimar Andika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Video “bule mencoba rendang” yang viral yang lengkap dengan komentar “akhirnya dunia tahu kelezatan Indonesia!” mengungkapan lebih dari sekadar rasa bangga. Ia menyingkap sisa warisan psikologis kolonial. Perasaan rendah diri terhadap budaya Barat yang terpatri selama 350 tahun penjajahan, lalu beralih ke euforia berlebihan saat diakui oleh mereka. Dengan kata lain, kita masih terjebak dalam dua sisi mental terjajah: pertama, inferiority complex yang membuat kita meragukan nilai diri sendiri. kedua, over-proud yang membuat setiap sanjungan asing dianggap sebagai tolok ukur kebanggaan nasional.
ADVERTISEMENT
Akar Teoritis: Pemikiran Kunci Pascakolonial
Edward Said dalam Orientalism (2003) menjelaskan bahwa Barat membangun wacana “Timur” sebagai entitas yang inferior melalui dikotomi superior–inferior, sehingga menjadikan citra Barat terutama kulit putih sebagai tolok ukur kecantikan dan peradaban. Warisan cara pandang ini masih tampak di Indonesia, di mana produk pencerah kulit seperti "Scarlet Whitening" laris dipasarkan dengan janji mendekatkan diri pada standar kecantikan barat, sementara artis Korea yang identik dengan kulit cerah dan fitur “barat” mendominasi peran brand ambassador. Kondisi tersebut menunjukkan bagaimana stereotip sejarah tak sekadar memengaruhi persepsi estetis, tetapi juga membentuk industri kecantikan dan iklan, memperkuat anggapan bahwa pengakuan atau validasi oleh budaya Barat adalah penanda kualitas dan status.
Frantz Fanon dalam Black Skin, White Masks menggambarkan bagaimana penjajahan bukan hanya merampas tanah dan kekayaan, tapi juga menodai kemanusiaan rakyat terjajah hingga muncul jurang antarbudaya yang dalam. Lewat praktik dehumanisasi yang sistematis, nilai, tradisi, dan bahasa asli perlahan dipandang remeh, sementara budaya penjajah diagung-agungkan sebagai standar kesempurnaan. Keadaan ini memaksa pribumi memandang warisan leluhur mereka dengan rasa malu atau keraguan, dan sebaliknya memuji adat istiadat sang penindas seolah tiada tanding. Fanon menegaskan bahwa dinamika ini menciptakan alienasi budaya sebuah luka psikologis yang membuat orang terjajah terasing dari akar identitasnya sendiri, dengan bayang-bayang ideal luar negeri yang terus menghantui cara mereka menilai diri dan dunia di sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Homi Bhabha juga menjelaskan dua dinamika penting dalam pertemuan budaya kolonial dan lokal, yaitu hibriditas dan mimikri. Hibriditas terjadi ketika elemen budaya penjajah dan budaya asli menyatu membentuk pola baru yang tak sepenuhnya milik salah satu pihak, sedangkan mimikri adalah kecenderungan masyarakat terjajah meniru struktur, nilai, atau gaya penjajah yang terkadang terjadi tanpa disadari untuk mencari pengakuan atau bertahan. Di Indonesia, bayangan konsep ini muncul jelas dalam dunia pendidikan, di mana kerangka kurikulum, jenjang sekolah, bahkan metode pengajaran masih meniru model Belanda. Namun di balik itu, kita menaruh materi lokal, bahasa Indonesia, dan nilai kebersamaan, sehingga lahirlah gaya pengajaran unik yang bersemayam di antara warisan kolonial dan aspirasi kebangsaan. Proses campur-aduk inilah perwujudan hibriditas dan mimikri. Sebuah ruang “in-between” yang menantang kita untuk menata ulang sistem agar benar-benar sesuai dengan jiwa dan kebutuhan anak bangsa.
Wajah Pascakolonial dalam Budaya Kontemporer
ADVERTISEMENT
Iklan yang menampilkan janji “kulit seputih mutiara” sejatinya mengungkap warisan orientalisme, sebuah wacana yang menempatkan kulit terang sebagai tolok ukur kecantikan mutlak. Masyarakat Indonesia, yang mayoritas berkulit cokelat hangat, kemudian menilai diri melalui lensa pandang asing, seolah nilai estetika lokal tak cukup memadai. Lebih menarik, tren ini pernah diadopsi oleh Korea pada masa pendudukan asing, menandai bagaimana standar kecantikan Barat pernah diimpor dan kini terus diulang dalam strategi pemasaran. Pada akhirnya, produk pemutih bukan hanya menawarkan hasil fisik, tetapi juga memperkuat narasi bahwa definisi kecantikan terbaik selalu datang dari luar mengabaikan keberagaman dan kekayaan budaya Nusantara.
Selama masa kolonial, pendidikan di Indonesia dirancang untuk kaum elit dengan menggunakan bahasa Belanda sebagai satu-satunya alat pengantar, sehingga banyak anak pribumi tak memperoleh kesempatan belajar dalam bahasa asal mereka. Setelah merdeka, Bahasa Indonesia memang diresmikan sebagai bahasa pengantar di sekolah, tetapi kurikulum dan materi ajarnya masih meniru pola Eropa, dari struktur pelajaran hingga nilai-nilai yang diajarkan. Sehingga nuansa lokal sulit muncul. Bahkan menurut studi perbandingan dengan Turki, sistem pendidikan pascakolonial cenderung memaksakan satu standar budaya yang seragam, tanpa memberi ruang bagi kekayaan tradisi setempat. Padahal Indonesia memiliki ratusan bahasa daerah yang menyimpan pengetahuan dan kearifan lokal, dan sekarang banyak di antaranya terancam punah karena jarang dipakai dalam konteks formal. Kondisi ini menunjukkan bahwa meski ikatan kolonial telah terputus, efeknya masih terus menggerus keragaman budaya, menjadikan sekolah sebagai lahan homogenisasi, bukan tempat pelestarian warisan leluhur.
ADVERTISEMENT
Sejak merdekaan, Indonesia memakai doktrin uti possidetis juris untuk menyatakan bahwa semua bekas wilayah Hindia Belanda termasuk Papua secara otomatis menjadi bagian dari negara merdeka, suatu langkah yang dipandang sebagian pihak sebagai bentuk “kolonialisme baru” karena mengulang pola penyerapan wilayah tanpa persetujuan lokal. Kehadiran perusahaan tambang asing seperti Freeport yang mengeksploitasi kekayaan alam Papua sambil memarginalkan masyarakat setempat menegaskan bayangan perusahaan dagang VOC masa lampau, sumber daya diekstraksi demi keuntungan pusat kekuasaan, sedangkan penduduk asli terpinggirkan dan kehilangan kendali atas tanah airnya. Proses ini menggambarkan betapa warisan kolonial tak hanya soal batas geografis, tapi juga relasi ekonomi dan sosial yang masih belum tuntas ditata ulang pascakemerdekaan.
ADVERTISEMENT
Pariwisata Bali kerap menata ulang warisan budaya agar mudah dinikmati pengunjung asing. Tari Kecak yang sesungguhnya sarat makna ritual dipersingkat untuk masuk ke jadwal tur, sementara upacara adat yang sakral dipindah atau dijadwal ulang sesuai waktu kedatangan kapal pesiar. Praktik ini mencerminkan mimikri budaya, di mana tradisi lokal dirombak sedemikian rupa demi memenuhi selera dan ekspektasi Barat. Akibatnya, kedalaman makna spiritual dan keunikan narasi asli sering tergeser oleh kemasan tontonan yang seragam, sehingga pengunjung tak selalu menyaksikan “budaya autentik” melainkan versi yang diciptakan untuk konsumsi massal.
Jalan Keluar: Dekolonisasi Mental
Untuk mengurai jejak kolonial dalam cara kita berpikir, dekolonisasi mental harus dimulai dari pengakuan bahwa suara-suara terpinggirkan selama ini layak didengar, lalu terus maju dengan menciptakan ruang hibrida yang merangkul nilai-nilai lokal sambil tetap terbuka pada peradaban modern, serta menghidupkan kembali identitas kebangsaan melalui semangat Bhinneka Tunggal Ika. Dalam praktiknya, ini berarti memberi panggung bagi etnis dan daerah yang selama ini terabaikan lewat media, menyusun ulang kurikulum agar menempatkan kerajaan pra-kolonial seperti Srivijaya dan Majapahit sejajar dengan narasi sejarah nasional, serta melatih kita semua untuk bersikap kritis ketika dihadapkan pada iklan yang masih menjual standar kecantikan ala penjajah. Lebih jauh, diplomasi budaya perlu diubah, menjauh dari klaim “Wonderful Indonesia” yang terdengar menawar keajaiban, menjadi “Indonesia sebagai Mitra Setara” yang mengajak dunia berdialog bukan hanya sebagai penikmat, tetapi sebagai mitra dalam keragaman, inovasi, dan kebijakan setara.
ADVERTISEMENT
Refleksi: Mencari Identitas di Tengah Bayang-Bayang Kolonial
Pramoedya Ananta Toer mengingatkan kita dalam Bumi Manusia bahwa penjajahan sejati bukan hanya soal merebut tanah, tapi meracuni cara kita berpikir. Hal ini terlihat jelas saat kita mengidolakan Barat sekaligus menyingkirkan Papua sebagai pinggiran negeri.
Padahal, jauh sebelum konsep negara modern muncul, Majapahit sudah menorehkan visi yang lebih revolusioner lewat semboyan Bhinneka Tunggal Ika: bukan keseragaman paksa, melainkan persatuan yang lahir dari perbedaan yang dirayakan, satu wujud utuh dari pluralitas Nusantara. Jika kita benar-benar ingin melepaskan belenggu mental kolonial, jalan satu-satunya adalah meneguhkan setiap suara lokal. dari Sabang hingga Merauke. Sebagai bagian tak terpisahkan dari kenidahan bangsa. Hanya dengan itu Indonesia bisa berdiri sebagai mercusuar eksklusif persatuan dalam keberagaman, jauh dari bayang-bayang penjajahan pikiran.
ADVERTISEMENT
Tinjauan Pustaka
Edward Said – Orientalism Said, E. W. (2003). Orientalism. Penguin Classics.
Frantz Fanon – Black Skin, White Masks Fanon, F. (2008). Black skin, white masks. Grove Press.
Homi K. Bhabha, H. K. (1994). The location of culture. Routledge.
Pramoedya Ananta Toer – Bumi Manusia Toer, P. A. (1980). Bumi manusia. Hasta Mitra.