Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Batik Amarah Dudung Aliesyahbana
20 Maret 2018 16:11 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
Tulisan dari Bimo Gadabima tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Gusti Kanjeng Ratu Bendara, putri bungsu dari lima anak Sultan Hamengkubuwono X baru-baru ini memprotes keras lewat statusnya di Instagram pribadinya tentang film Sultan Agung garapan Hanung Bramantyo. Protesnya tersebut terkait penggunaan motif batik parang yang dikenakan Sultan Agung tidak sesuai dengan pakem batik yang berlaku di Keraton Jogja.
ADVERTISEMENT
“Aduuuh duh duh... hancur hati ku... yg memerankan Sultan Agung kok ya pake parang yg kecil dan warna nya biru pula... padahal yg membuat Parang Barong adalah Ibu beliau," tulis GKR Bendara, Rabu (7/3).
Dalam gambar yang di screenshot dirinya, ia pun membandingkan kain batik yang dikenakan abdi dalemnya justru mengenakan motif batik parang yang besar.
“Malah yg memerankan Abdi dalem di belakangnya yg pake Parang lbh besar. Iki piye iki piye jal. Check di FB kratonjogja aja ada loh referensinya. Baru minggu lalu sy bicara tentang Parang Barong di Pameran Taman Pintar. Sedih saya lihatnya," tambahnya pada statusnya sambil menunjukkan foto Keluarga Besar Sri Sultan Hamengkubuwono X dengan kain batik yang dikenakannya.
ADVERTISEMENT
Batik Amarah
Di lain waktu sebelum kejadian salah menggunakan kain batik motif parang pada film Sultan Agung ini, sudah ada yang gusar dengan penempatan motif parang yang hanya menjadi taplak alas bunga di acara kenegaraan.
Peristiwanya terjadi saat Presiden Obama dan istrinya Michelle Obama datang ke Indonesia. Dirinya diundang pada peristiwa event tersebut dan melihat ada yang tidak benar dari acara itu terkait perlakuan batik bernilai filosofis tersebut.
Ia yang gusar itu adalah Dudung Aliesyahbana, pebatik asal Pekalongan yang sudah malang-melintang dalam dunia pembatikan. Namanya di dunia batik cukup sohor dengan karya batik yang dihasilkannya. Pria kelahiran 8 Januari 1965 ini mengundang saya ketika dirinya terlibat dalam sebuah pameran di Jakarta Convention Center baru-baru ini.
Bentangan kain motif modifikasi Parang Barong sepanjang lima meter miliknya membuka kegusarannya berbicara tentang perlakuan motif ini. “Ini saya buat agar kain batik saya saja yang menjadi korban. Jangan kain batik motif Parang yang asli jadi korban,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Motif modifikasi Parang Barong miliknya terlihat tak nampak mirip dengan motif larangan bermotif semirip yang dikenakan oleh para raja Jogja. Modifikasinya tersebut terlihat dari bagian bawah motif parang yang dibuat memanjang hingga mirip seperti ekor.
Dan sepengetahuan saya pula motif Parang dibuat dengan alur geometris dengan pola S mirip gelombang ombak. Berasal dari kata karang atau batu karang, motif Parang dibuat miring secara geometris. Pola dasarnya adalah semirip lilitan S. Motif ini adalah ragam hias larangan pada awalnya karena dibuat hanya untuk dikenakan raja dan kerabatnya yang diizinkan mengenakannya.
Besar kecilnya motif dijadikan simbol status sosial pemakainya di dalam lingkup keraton. Yang motifnya paling besar hanya berhak digunakan para raja.
ADVERTISEMENT
Motif Parang Barong sendiri muncul pertamakali di era kepemimpinan Raja Sultan Agung Hanyakrakusuma. Maknanya adalah Singa. Barong yang dimaksud adalah motif Parang yang dibuat besar. Tujuannya untuk menyimbolkan serta mengekspresikan pengalaman jiwa Sang Raja dengan segala tugas dan kewajibannya, juga kesadaran sebagai manusia yang menjadi Hamba Tuhan.
Motif Parang Barong mengingatkan penggunanya untuk selalu hati-hati dalam bertindak, bijaksana dalam mengatur diri serta rakyatnya.
Dudung Aliesyahbana menceritakan perihal motif modifikasi Parang Barongnya dibuat ketika ia menyaksikan sendiri perlakuan motif Parang Barong yang merupakan motif larangan hanya diperlakukan sebagai taplak vas bunga pada acara seremonial negara. Dalam diamnya amarahnya muncul. Karena tak rela motif larangan tersebut diperlakukan demikian.
Ia pun menceritakan bagaimana para saudagar masa lalu memperlakukan motif larangan itu dengan santun. “Dengan menambahkan corak lain ke dalam motif Parang, itu cara halus agar tidak menyamai motif larangan tersebut,” sergahnya.
ADVERTISEMENT
Dalam kekesalannya, ia membuat motif modifikasi ini sebagai bentuk perlindungan motif larangan. “Silahkan gunakan batik saya saja. Mau diapakan saja terserah. Asal jangan batik larang digunakan semaunya,” cetusnya.
Modifikasi motif parang miliknya diganjar sebagai desain baru dan dinobatkan anugerah Inacraft Best of The Best tahun 2014 dan Seal of Excellence from UNESCO (2007).
Pasar Dalam Negeri
Daripada pasar luar negeri, menurut Dudung Aliesyahbana pasar potensial batik justru terdapat di dalam negeri. “Orang luar beli batik, nawarnya habis-habisan. Orang Indonesia beli batik, tanpa banyak menawar,” ceritanya.
Psikologis pembeli seperti demikian membuktikan bahwa orang Indonesia sangat paham batik sebagai karya seni dan karya budaya, bukan komoditas semata. “Jadi buat apa terlalu mengurusi penjualan ke luar negeri. TPT kita contohnya, seberapa banyak batik tulis jadi komoditi ekspornya? Sudahlah, batik itu milik orang Indonesia,” sergahnya.
ADVERTISEMENT
Perbaikan kerajinan batik untuk meramaikan sektor riil ekonomi nasional juga menjadi sorotannya. Ia mencontohkan batik Madura dan rencana pembuatan pasar batik nasional di Madura.
Sejauh ini ia memperhatikan batik Madura punya kekuatan penting dalam dunia batik nasional. Namun hal tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas perekonomian perajinnya. “Mereka tidak berhitung tenaga, asalkan modalnya kembali sudah cukup.”
Harga batik tulis Madura terbilang murah meski kualitasnya sudah cukup baik. Tetapi ada penghitungan produksi yang tidak mereka terapkan hingga akhirnya batik tulis Madura tidak berkembang seperti Pekalongan. “Jika ini terus berlangsung, justru daya saingnya akan rendah dengan batik dari daerah lainnya.”
Keberadaan pasar batik nasional di Madura, akan banyak mendukung pengetahuan tentang batik sebagai pendukung ekonomi. Dudung pun berharap batik Madura akan menunjang perekonomian perajinnya di samping motif upaya pelestariannya.
ADVERTISEMENT