Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Batik Lasem: Pembauran yang Rindu Pembaruan
22 Maret 2018 23:58 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
Tulisan dari Bimo Gadabima tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Industri batik Lasem sempat menjadi enam besar industri batik di Hindia Belanda, yakni Surakarta, Yogyakarta, Pekalongan, Lasem, Banyumas, dan Cirebon. Itu terjadi pada periode akhir abad 19 hingga tahun 1970-an. Produk akulturasi budaya ini menciptakan nilai dan produk budaya multikultural.
ADVERTISEMENT
“Pembauran di Lasem itu sudah biasa. Yang dibutuhkan kini adalah pembaruan,” ujar fashion designer senior Indonesia DR. Harry Darsono PhD. Ungkapannya tersebut didasari oleh pengetahuan umum masyarakat tentang batik Lasem yang lekat sebagai produk akulturasi budaya Tionghoa dan Jawa yang nyaris miris perkembangannya.
Industri batik Lasem pada masa kejayaannya telah menjadi penopang ekonomi bagi masyarakat sekitar. Diperkirakan sebagian besar masyarakat Lasem, khususnya perempuan, bekerja sebagai perajin, pengusaha atau pekerjaan lain terkaitan dengan pembatikan, giat memproduksi batik Lasem.
Keberadaaan sejarah batik Lasem menurut beberapa ahli sejarah merupakan tempat pertamakalinya para pedagang dari Cina mendarat di Indonesia. Penyebarannya hingga Kudus, Demak dan daerah-daerah lainnya. Sebagian pedagang Cina yang datang menetap di Lasem, dan hingga kini masih banyak dijumpai rumah-rumah tua berpagar tembok tinggi dengan tata bangunan khas Cina Kuno.
ADVERTISEMENT
Pada Serat Badra Santi karangan Mpu Santi Badra yang ditulis 1479 Masehi, dikisahkan tentang Puteri Na Li Ni dari Campa sebagai perintis pembatikan di Lasem. Tahun 1335 Saka atau 1413 Masehi, tercatat Bi Nang Un, seorang nahkoda kapal dari armada laut kekaisaran Ming dari Cina, singgah di Pantai Regol di Kadipaten Lasem atau kini dikenal dengan Pantai Binangun.
Nahkoda dari armada laut pimpinan Laksamana Cheng Ho tersebut membawa istrinya, Puteri Na Li Ni turut dalam pelayaran tersebut, dan kemudian memperkenalkan seni membatik, menari, dan membuat slepi lar merak kepada putera puterinya dan remaja putri lainnya di Taman Banjaran Mlati, Kemandhung. Puteri Na Li Ni untuk mengedukasi masyarakat setempat yang miskin untuk dibekali keahlian membatik.
ADVERTISEMENT
Proses pembuatan batik Lasem tidak jauh berbeda dengan pembuatan batik di daerah lainnya, yakni melalui tahap pengetelan, mola, nglengkrengi, nerusi, nembok, ngelir, nglorot hingga melipat.
Motif
Keunikan dari batik Lasem terletak pada terjadinya interaksi dan akulturasi budaya Tionghoa dengan seni pembatikan asal Jawa. Utamanya adalah pengaruh pada motifnya. Motif yang terpengaruh budaya Cina, antara lainnya adalah motif burung hong atau phoenix, atau lebih dikenal sebagai lok can. Juga liong (naga), kilin, ayam hutan, ikan mas, kijang, kelelawar, kupu-kupu, kura-kura, ular, udang, kepiting, dan sebagainya.
Sedangkan motif Jawa sendiri yang khas menjadi motif batik Lasem adalah parang, udan riris, kawung, sekar jagad, sido mukti, dan lain sebagainya. Untuk motif khas Lasem sendiri, umumnya dipengaruhi oleh alam lingkungan hidup sekitar Lasem, dengan mengangkat motif kricak, gunung ringgit, dan lain sebagainya. Ketika pengaruh motif-motif tersebut dikombinasikan, maka tercipta lah motif Laseman.
ADVERTISEMENT
Sebagai jenis batik pesisiran, motif batik Lasem kerap dianggap tidak memiliki arti sosial-filosofis seperti yang terdapat pada jenis batik pedalaman. Cita rasa artistik dan estestika jauh lebih kuat ketimbang pemaknaan yang filosofis. Namun salah satu motif Lasem yang mengubah paradigma motif tanpa pemaknaan tersebut, oleh William Kwan atau Kwan Hwie Liong, seorang pemerhati batik Lasem, direpresentasikan dalam motif watu pecah atau motif kricak.
“Kricak atau watu pecah oleh sebagian pembatik dimaknai sebagai kenangan atas bahan pembuatan jalan Daendels yang membawa banyak korban pekerja paksa di Lasem. Tetapi oleh pembatik lain, kricak berasal dari tanah bebatuan di Lasem yang kering dan sering tampak retak-retak,” terangnya. “Meski demikian, motif watu pecah berasal dari kerja paksa Jalan Daendels masih harus ditelusuri lagi kebenarannya,” tambahnya.
ADVERTISEMENT
Salah-satu pengrajin batik yang meyakini makna simbolis dari motif kricak atau watu pecah sebagai kenangan pahit jalan Daendels yang banyak memakan korban warga Lasem adalah Sigit Witjaksono. “Motif watu pecah berasal dari kejadian kerja paksa Jalan Anyer - Panarukan. Banyak korban dari warga Lasem pada waktu pembuatan jalan tersebut. Dan itu menjadikan watu pecah sebagai pondasi jalan dijadikan motif oleh kami untuk mengingatkan hal tersebut,” tuturnya.
Selain motif kricak yang memiliki makna sosio-filosofis, ada juga motif tiga negeri yakni motif yang dimunculkan dalam bentuk kerjasama tiga daerah: Lasem, Pekalongan, dan Solo. Bentuk batik tiga negeri yang populer tahun 1950-an ini paling mudah dilihat secara kasat mata adalah dari teknik warnanya. Dalam satu helai kain batik tiga negeri, terdapat tiga perbedaan warna khas asalnya masing-masing. Warna merah dari Lasem, biru dari Pekalongan, dan coklat sogan dari Solo.
ADVERTISEMENT
Pada Showroom Batik Tulis Lasem Kabupaten Rembang, batik tiga negeri memiliki harga paling tinggi ketimbang jenis batik-batik khas Lasem lainnya. Pembauran Lasem via batik justru menguatkan daya jualnya.
Warna
Kekhasan dari pewarnaan batik Lasem adalah warna merahnya. Unsur Tionghoa yang menjadikan warna merah sebagai warna kejayaan kuat mempengaruhi warna tersebut. Terlebih ketika sifat warna merah batik Lasem sangat berbeda dengan daerah-daerah penghasil batik lainnya, meskipun percampuran budaya dari unsur Tionghoa berperan penting. Bahkan batik Lasem berbeda dengan batik Cina atau encim dari Pekalongan atau daerah lainnya.
Di Pekalongan, tata warnanya mengacu pada tata warna benda-benda porselin dari Dinasti Ming seperti warna merah, biru, merah-biru, dan merah-biru-hijau. Pemberian nama pada sehelai kain batik Lasem umumnya didasarkan atas warnanya bukan berdasarkan ragam hias seperti nama-nama batik dari daerah lain di Indonesia. Maka dikenal istilah Bang-bangan, kelengan, Bang-Biru, atau Bang-biru-ijo. Bati Lasem pun tidak mengenal warna sogan pada awalnya.
ADVERTISEMENT
Tak ada yang mampu menyamai warna khas merah Laseman yakni berwarna abang getih pithik atau merah darah ayam. “Keunikan warna merah Lasem diduga karena air tanahnya. Pernah dilakukan oleh beberapa tempat pembatikan di lain wilayah untuk menyamai hasil warnanya, tak pernah sama,” tukas Willliam Kwan. Keunikan warna merah tersebutlah yang kemudian membuat batik Lasem khas warna abang getih pithik-nya. Dulunya, warna tersebut diambil dari pewarna alam asal akar pohon mengkudu atau pace.
Namun ketika pewarna sintetis atau kimia diperkenalkan, pertimbangan ekonomis dan efisien, membuat pewarnaan alam mulai ditinggalkan. Meskipun demikian, banyak batik dari luar Lasem didatangkan ke situ untuk mendapatkan warna khasnya tersebut, semisal batik Gondologiri dari Solo serta batik tiga negeri.
ADVERTISEMENT
Inovasi
Untuk membuat sehelai kain batik tulis Lasem, diperlukan waktu paling cepat tiga bulan dan paling lama enam bulan hingga dapat dipasarkan. Peralatan yang masih sangat tradisional serta tahap pembuatannya yang serba handmade, membuat waktu pengerjaannya tersebut berlangsung demikian.
Desain batik Lasem yang ada kini umumnya cenderung menggunakan motif-motif lama seperti motif pagi-sore, sekar jagad, lokcan, latohan dan sebagainya. Sigit Witjaksono pun membenarkan apa yang ada di dalam batik Lasem semuanya karena bersifat konservatif tradisional. Meski masih digemari oleh konsumen batik, situasi persaingan sengit berbasis batik, penggunaan motif-motif lama secara apa adanya atau konservatif, tidak akan mampu mengimbangi selera konsumen yang sangat cepat berubah.
Untuk memenuhi selera pasar pula, Sigit Witjaksono pun mengeluarkan trade mark batik Lasem-nya dengan mengisi kalimat berhuruf Tionghoa pada motif-motif batiknya. Hal tersebut pula pada awalnya sempat menjadi keraguan laku tak laku, mengingat tak semua pembauran bisa diterima seperti yang terjadi di Lasem. Namun ternyata, upayanya berhasil. Motif berhuruf Tionghoa diikuti oleh perajin batik lainnya.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut lah semirip yang dicetuskan oleh DR. Harry Darsono PhD dengan apa yang disebutnya butuh pembaruan. Batik dalam bentuk kain akan menjadi selembar kain saja. Namun batik dalam bentuk fashion akan mengubah kain jauh lebih berarti. “Lasem kalau begini terus, tidak akan diterima orang. Akhirnya pembatiknya pun akan menerima pesanan setengah hati,” sergahnya. “Untuk orangtua yang memang mengenal batik Lasem, hal tersebut masih diterima. Namun buat generasi penggemar K-Pop seperti saat ini, sulit sekali.”
Harry menjelaskan target anak muda, dewasa ini cukup sulit diraih jika produk yang mencari minat target itu sendiri tidak mengikuti perkembangan trend mereka. Generasi K-Pop menjadi alasannya ia hendak memunculkan neo Lasem. “Kita musti munculkan nuansa Jawa-Tionghoa yang kita miliki untuk trend K-Pop anak-anak sekarang. Karena kalau tidak, nanti batik Korea yang akan masuk ke sini. Kapok kita,” guraunya.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data Forum Economic Rembang, tahun 1950-an terdapat 140 pengusaha batik Lasem. Namun di tahun 1970-an jumlahnya merosot hingga separuhnya. Kemerosotannya berlangsung hingga era 1980-an dengan hanya tujuh pengusaha saja yang aktif. Perkembangan batik Lasem mengalami pasang surut antara lainnya situasi politik yang menyentuh SARA, masuknya tekstil bermotif batik Lasem alias batik printing yang jauh lebih murah ketimbang batik tulis maupun batik cap, serta demand yang rendah.
Konservatif tradisional batik Lasem kini harus bertarung dengan jaman yang dipengaruhi selera pasar. Semisal batik sogan yang klasik namun masih bertumbuhan peminatnya, batik tulis Lasem akan terus hidup jika terus dikembangkan dan tak hanya dilestarikan. Pembaruan yang dicetuskan DR. Harry Dharsono PhD harus menjadi kebiasaan sebagaimana pembauran yang biasa terjadi di Lasem bertahun-tahun hingga kini.
ADVERTISEMENT
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah BATIK On Fashion Volume 2 Tahun 2014.