Konten dari Pengguna

Batik Peranakan: Wujud Akulturasi di Indonesia

23 Maret 2018 0:20 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bimo Gadabima tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Batik Peranakan: Wujud Akulturasi di Indonesia
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Strategisnya Indonesia sebagai lalu lintas perdagangan dunia masa lampau, menghasilkan produk peranakan. Batik yang terlahir dari budaya tradisi Indonesia, berakulturasi dan berasimilasi dengan tradisi budaya pendatang.
ADVERTISEMENT
Istilah peranakan ditujukan bagi warga pendatang dari etnis lain di suatu negara yang kemudian menetap hingga beranak-cucu. Warga peranakan umumnya masih menjaga kultur dan budaya nenek moyang mereka meski telah lama menetap di suatu wilayah. Dan bahkan kultur serta budayanya tersebut kerap berasimilasi dengan tradisi budaya setempat.
Di Indonesia, peranakan yang berakulturasi dengan masyarakat pribumi antara lain berasal dari etnis Tionghoa, Arab, Belanda, dan India. Kegiatan perdagangan yang mempengaruhi tradisi dan budaya batik Indonesia diperkirakan mulai terjadi sejak tahun 1800-an hingga 1900-an. Cita-rasa khas lokal berbaur dengan pendatang, maka batik melahirkan pula istilah batik peranakan.
“Batik peranakan ada dua kategori. Peranakan yang membuat batik atau pribumi yang membuat batik peranakan. Karakternya akan terlihat, semisal peranakan yang membuat batik, motifnya akan terlihat detail khas corak asal mereka. Sedangkan pribumi yang membuat batik peranakan umumnya akan memadukan motif khas tradisional dengan corak khas peranakan,” ujar Afif Syakur panjang lebar.
ADVERTISEMENT
Menerima unsur baru dalam tradisi lokal bagi masyarakat Indonesia bukan masalah. Begitu pula yang terjadi pada pendatang. “Contohnya adalah kain meja Tokwi altar doa asal Cina. Di negerinya, Tokwi dibuat dengan menyulam. Di Indonesia, Tokwi dibuat dengan cara dibatik,” tambahnya.
Ketika tradisi lokal diminati, mereka tak segan mengembangkannya. Wilayah akulturasi budaya paling masif terdapat di sepanjang pesisir Pantai Utara Jawa. Kekhasan dari batik hasil akulturasi budaya tersebut umumnya menghasilkan ragam bentuk corak dan warna batik yang berbeda dari sebelumnya. Muncul kemudian seniman maupun maestro batik para pendatang dengan seni pembatikan yang unik.
Seniman atau maestro batik asal Belanda paling terkenal adalah Carolina Josephine von Franquemont (1840) dengan kekhasan warna “hijau Prankemon”. Di Pekalongan, terdapat nama L. Metzelaar dan Elisa van Zuylen yang punya kekhasan corak pohon bunga, buket bunga, burung bangau, burung kecil, kupu-kupu dan detail lainnya.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan Elisa van Zuylen yang menambatkan karyanya hanya pada motif floral khas Eropa, L. Metzelaar pula mengemas dongeng Eropa seperti si tudung merah (red riding hood), Cinderella, Sleeping Beauty, Hansel & Gretel, menjadi motif batik buatannya. Seniman batik asal Belanda lainnya yang juga cukup terkenal karyanya adalah A.F. Jans, Willer dan Jacqueline van Ardenne. Chaterine Caroline van Oesterom, B. Fisfer, dan S.W. Ferns, Scharff von Dop.
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, industri batik mengalami pengaruh kekuasaan tersebut. Ini terjadi di pesisir Utara Jawa yang bengkel-bengkel kerja batik milik Indo-Eropa, Indo-Arab, dan peranakan diharuskan bekerja untuk pendudukan Jepang. Hasil produksi batik era pendudukan Jepang melahirkan istilah batik Hokokai, yakni gaya batik yang banyak berisi detail, seperti penggabungan ciri pagi-sore, motif terang bulan, atau tanahan Semarang. Sedangkan motif khasnya adalah kemunculan corak bunga sakura, krisan, mawar, lili, anggrek ataupun teratai. Sedangkan motif fauna yang terkadang menghiasi corak batik hokokai adalah burung merak sebagai lambang keindahan dan keanggunan.
ADVERTISEMENT
Batik Jawa Hokokai cenderung menggunakan latar-belakang atau isen-isen yang sangat detail. Contohnya adalah motif parang dan kawung, yang di bagian tengah ataupun tepiannya diisi dengan motif lain, semisal bunga padi.
Usai perang dunia ke-2, Jepang angkat kaki dari Indonesia. Meski industri batik sejak pendudukan Jepang mengalami masa surut, namun motif-motif baru terus berkembang. Muncul kemudian motif Jawa Baru, evolusi dari motif batik Hokokai. Motif ini berkembang tahun 1950-an dengan masih menunjukkan pengaruh batik Hokokai pada motif Jawa Baru tersebut. Perbedaannya, isen-isen-nya tidak serapat batik Hokokai.
Setelah Indonesia merdeka, batik peranakan banyak dihasilkan oleh keturunan Tionghoa di wilayah Jakarta, Cirebon, Indramayu, Pekalongan, Demak, Lasem, Tuban, dan Gresik. Seniman batik peranakan Tionghoa yang terkenal adalah antara lain The Tie Siet, Oey Soen King, Liem Hok Sien, Liem Boen Tjoe, Liem Boen Gan dan Oey Soe Tjoen.
ADVERTISEMENT
Batik peranakan Cina umumnya menggunakan motif berdasarkan mitologi Cina seperti kilin, naga, burung phoenix (hong), dewa-dewa, api, mega, bunga, dan sulur-suluran berstilasi khas. Perbedaan batik pengaruh Cina dengan batik tradisional Indonesia berpengaruh pula pada teknik pewarnaan. Batik Jawa yang cenderung menggunakan warna berat karena berpenggunaan warna alami seperti soga, genes, kayu tiger, kayu tingi, akar pace dan sebagainya, oleh batik peranakan Tionghoa diperkenalkan hanya dengan warna primer seperti merah, biru, hijau, dan sebagainya. Pewarnaannya menggunakan pewarna kimia buatan. Bahkan batik peranakan mempelopori teknik pewarnaan primer dengan gradasi.
Di Pekalongan, seniman batik peranakan Tionghoa yang melegenda adalah Oey Soe Tjoen, Phoa Tjong Ling, dan The Tie Sit. Motif paling tersohor kemunculannya dari batik peranakan Tionghoa adalah corak bunga Seruni yang memiliki arti keanggunan dan kesejahteraan di usia senja. Ada pula motif ikan yang melambangkan kemakmuran berlimpah dan lainnya. Motif yang sarat makna tersebut dikarenakan kepercayaan dan tradisi Tionghoa yang hidup secara turun-temurun.
ADVERTISEMENT
Batik peranakan Tionghoa paling banyak dijumpai pada batik Lasem dengan karakter Cina seperti burung hong, kilin, liong dan tulisan-tulisan dalam huruf Cina dengan makna keberuntungan. Tjoa Giok Tjiam, pembatik peranakan Tionghoa bahkan terkenal dengan batik tiga negerinya di era awal abad 19. Batik tiga negeri merupakan warna-warna tertentu dari tiga daerah. Inovasi batik ini diproses pewarnaannya di tiga daerah di Pulau Jawa seperti Solo dengan warna sogan, Pekalongan dengan warna biru, dan Lasem dengan warna merahnya.
Dari pedalaman Jawa, Solo pula melahirkan seniman batik peranakan bernama Go Tik Swan Hardjono atau lebih dikenal K.R.T. Hardjonagoro. Di era Presiden Soekarno, ia didapuk menciptakan batik Indonesia. Olehnya dilakukan berbagai riset untuk menggali pola-pola batik langka yang tidak dikenal umum maupun pola-pola tradisional lainnya. Pola-pola tersebut kemudian dikembangkan dengan warna-warna baru yang cerah, tidak saja coklat, biru, atau putih kekuningan. Warna-warna tersebut menyadur dari pewarnaan batik pesisiran yang cerah, namun dengan motif batik Vorstenlanden (Solo dan Yogya) yang terkenal sarat makna.
ADVERTISEMENT
Batik Peranakan Masa Kini
Bertajuk Beauty Treasure, Jeanny Ang di Jakarta Fashion Week 2015 bulan November tahun lalu menghadirkan batik peranakan Tionghoa dengan desain fashion terkini. Motif-motif floral khas tradisional nusantara – Tiongkok dihadirkan dalam kemasan busana feminin yang ceria dan modern, dari mini dress, bawahan beraksen ruffle, balutan batik peranakan Tionghoa pada bawahan dengan paduan atasan crop leher sabrina, crop tank top bergaris dasar atau V, dan juga layer ala Jeanny Ang.
Sebagai penguat aksen peranakan, ia mengolah kebaya encim dan kebaya nyonya dalam kesan outwear modern bernuansa etnik. Dan ia hendak menerjemahkan keberadaan kekayaan fashion Indonesia peranakan ke masa kini.
Sebelumnya, di Bazaar Fashion Festival 2014, lima desainer Ikatan Perancang Mode Indonesia atau IPMI, bergabung dalam satu momen fashion show dengan mengusung tema kolaburasi mereka tersebut “Peranakan Fashion Show.” Lima desainer tersebut adalah Ghea Panggabean, Stephanus Hamy, Widhi Budimulia, Adrianto Halim, dan Yongki Budisutisna.
ADVERTISEMENT
Ghea Panggabean menampilkan corak kain batik peranakan dengan bubuhan aksesori, print emas, serta simbol-simbol budaya peranakan seperti burung hong, naga, dan batu giok. Stephanus Hamy memunculkan koleksi yang inspirasinya datang dari pesisiran Cirebon, dan diaplikasikan pada gore skirts motif batik berwarna khas pelangi.
Widhi Budimulia menghadirkan siluet-siluet penggambaran arsitektur pagoda dan kuil pada dress dan blouse berbahan organdi, jaguard, serta lace, sebagai upayanya mengintepretasikan kebudayaan oriental. Adrianto Halim bermain pada dominasi warna putih dengan sentuhan oriental dengan memodifikasi kancing baju, potongan-potongan, hingga model pakaian. Motif floral yang kerap ditemui di batik peranakan Tionghoa dimunculkan untuk menguatkan kesan tersebut.
Penggunaan material batik tulis Cirebon pure dikenakan oleh Yongki Budisutisna dalam tema fashion show-nya Rememberance. Ia berupaya secara otentik memunculkan keindahan budaya oriental, Eropa, dan melayu dalam satu-kesatuan. “Batik tulis Cirebon diberikan oleh seorang perajin batik asal sana. Ketika melihatnya, yang tergambar oleh saya adalah perpaduan budaya tersebut,” ujarnya. Ia menjadikan batik tulis Cirebonan itu dalam bentuk siluet A dan H untuk kesan retro. “Batik Cirebon kesannya kuat dan warnanya cerah,” alasannya.
ADVERTISEMENT
Sejarah akulturasi budaya asing-nasional dapat ditelusuri pada batik Indonesia. “Biar pun batik diakui oleh negara lain, tetap mereka akan mencari akar rumputnya berasal. Ini warisan kita,” pungkas Afif Syakur.
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah BATIK On Fashion Volume 4 Tahun 2015