Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Seni dan Makna Kehidupan Batik
23 Maret 2018 0:46 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
Tulisan dari Bimo Gadabima tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mengabaikan filosofi yang terdapat pada kain batik, akan menghilangkan tujuan awal pembuatan batik. Masa demi masa bergulir, menguji ketradisionalan musnah atau lestari.
ADVERTISEMENT
Nun bertahun-tahun masa lalu batik terlahir sebagai bagian dari kehidupan manusia, dari lahir hingga kematian.
Persepsi Batik
Kontroversi batik tulis dan cap versus tekstil motif batik atau umumnya dikenal dengan batik printing, sudah berlangsung lama semenjak batik sendiri menjadi barang komoditas dagang. Keberadaannya saling berhubungan untuk memenuhi permintaan pasar. Di buku Batik Pesisir Selatan terbitan Yayasan Batik Jawa Barat pada salah-satu babnya diceritakan tentang perajin Garut yang berusaha tetap hidup ketika batik tulisnya mengalami penurunan penjualan. Mereka mencoba memproduksi batik printing sebagai upaya bertahan, namun tetap tak sanggup menahan laju batik printing impor, dan akhirnya tersungkur.
Ketua Umum Yayasan Batik Indonesia Yultin Ginandjar Kartasasmita pun menyampaikan keprihatinannya akan derasnya produk-produk batik asing, utamanya asal Cina yang membanjiri Indonesia kepada eks Menteri Perdagangan Republik Indonesia Rahmat Gobel. Laporan tersebut kemudian diinisiasikan untuk membentuk rancangan regulasi impor barang asing untuk produk batik sebagai upaya perlindungannya. Pertanda bahwa ketika Masyarakat Ekonomi ASEAN diberlakukan, maka batik Indonesia telah harus menjadi tuan rumah di negerinya sendiri dan membawa indetitas batik sebagai produk khas Indonesia.
ADVERTISEMENT
Perlakuan terhadap batik merupakan hal menarik terkait dengan perkembangan dewasa ini, terutama sebelum dan sesudah batik dikukuhkan oleh UNESCO.
Larasati Suliantoro Sulaiman, tokoh pecinta batik yang mengepalai Paguyuban Pecinta Batik Indonesia (PPBI) Sekar Jagad lebih keras lagi memperlakukan sebaik-baiknya industri batik Indonesia. Menggandeng perajin dengan komunitas batik yang dipimpinnya merupakan ikatan batin melestarikan batik Indonesia. Lewat berbagai kegiatan pula, satu-persatu motif batik diedukasikan ke anggotanya dan menjalin hubungan dengan para pembuatnya. PPBI Sekar Jagad merupakan salah-satu inisiator pengukuhan batik oleh UNESCO.
Dan pada suatu event fashion show di Kota Solo, seorang penonton menyayangkan busana-busana yang diperagakan pada malam itu. “Kok semua bahannya batik printing ya? Gimana nasib para perajinnya?” ujarnya enggan disebut namanya. Ia berpikir demikian karena paham bagaimana cara kerja batik printing yang mampu menghasilkan ratusan bahkan ribuan yard kain per jamnya. Hal yang jauh berbeda dengan proses pembuatan batik tulis dan batik cap yang dibuat berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan untuk satu kain saja.
ADVERTISEMENT
Pada event Solo Batik Fashion, fashion designer lokal Djongko Rahardjo selalu mengingatkan fashion designer yang terlibat, untuk menggunakan batik tulis, batik cap, atau batik tulis kombinasi cap. “Tekstil motif batik tidak sama dengan batik tulis atau batik cap,” ujarnya diwaktu silam pada saat Solo Batik Fashion 5, menjelaskan regulasi bahan batik yang digunakan.
“Untuk batik, saya masih bersahabat,” ujar Itang Yunasz pada press conference peluncuran koleksi terbarunya untuk ramadhan dan Idul Fitri mendatang bertemakan Puspa Ragam Andalas. Pernyataan tersebut diakuinya dilatar-belakangi oleh seorang temannya yang pecinta dan pelestari batik Indonesia yang mengingatkan dirinya saat memperlakukan batik. “Jangan coba-coba batik dibuat di atas digital printing,” kutipnya tentang ucapan temannya tersebut.
Dalam buku The 20th Century Batik Masterpieces yang berisi koleksi batik Tumbu Rahardi Ramelan, pada prolognya menyebutkan”Kita mengakui adanya printing, tapi bukan batik, melainkan tekstil dengan motif batik. Saya bukan anti pada printing, sah saja, yang penting kita melestarikan agar batik tidak musnah dari bumi Indonesia. Kita tahu bahwa yang memakai printing adalah masyarakat, yang tidak akan membeli kain batik dengan harga yang tidak terjangkau. Yang penting, yang memakai tahu bahwa itu printing. Sedapat mungkin masyarakat jangan dirugikan. Kalau printing, produsen dan pedagang harus mengatakan itu printing.”
ADVERTISEMENT
Terlepas dari kontroversi batik printing ataupun batik tulis maupun cap, makna filosofis batik tertentu tidak akan pernah berubah meski bertumbuhan motif-motif baru atau kontemporer.
Batik Sarat Makna
Tradisi masyarakat Jawa selalu identik hadir dengan batik sebagai busana keseharian. Daur hidup manusia dalam sehelai wastra batik memiliki tuntunan dan tatanan hidup sebagaimana cerminan budaya masyarakat Jawa pada masa itu. Kearifan dan kehidupan lokal masyarakat direpresentasikan dalam berbagai motif batik yang menggambarkan hal tersebut, dari lahir hingga kematian.
Pada usia kehamilan pertama, seorang ibu yang telah genap hamil tujuh bulan, umumnya dibuatkan upacara mitoni atau nujuh bulanan atau tingkeban. Upacara ini melambangkan permohonan dan harapan agar sang bayi kelak lahir selamat, lancar, dan tumbuh menjadi manusia baik dan unggul dimata masyarakat maupun Tuhan. Batik dikenakan dalam upacara tersebut pada saat siraman atau memandikan calon ibu dari jabang bayi pertama yang dikandungnya. Biasanya dilakukan oleh tujuh orang wanita yang dituakan.
ADVERTISEMENT
Saat siraman nujuh bulanan, calon ibu berganti-ganti kain sebanyak tujuh kali. Motif-motif batik yang biasa dikenakan antara lain: sido mukti, sido asih, sido luhur, sido mulya, sido dadi, babon angrem atau babon ngubluk, wahyu tumurun, nagasari, grompol, semen rama, dan yuyu sekandang atau Lasem.
Sido mukti mengandung arti hidup bahagia dan tenteram, sido asih artinya saling mengasihi antar manusia, sido luhur artinya harapan mencapai kedudukan yang tinggi, sido mulya artinya harapan hidup yang mulia, sido dadi artinya keinginan yang tercapai, babon angrem, atau babon ngubluk artinya kasih sayang ibu terhadap anak, wahyu tumurun artinya harapan diberikannya segala kebaikan yang Kuasa, nagasari yang melambangkan kesuburan dan kemakmuran, grompol artinya bersatunya segala kebaikan dalam diri seseorang, dan semen rama yang artinya kehidupan bersemi menjadi makmur.
ADVERTISEMENT
Kain batik dikenakan sebagai alas untuk keluarnya bayi dari rahim ibunya pada saat kelahiran. Kain batik tersebut akan basah kuyup oleh pecahnya air ketuban dan cairan lain saat bayi lahir. Kain batik ini disebut pula sebagai kain kopohan yang artinya basah kuyup. Dan menurut kepercayaan, jika sang bayi rewel kelak, kain kopohan bisa menjadi obat bagi si bayi agar sehat kembali. Motif kain kopohan umumnya menggunakan kawung, parang, truntum, atau cakar.Kawung perlambang kesucian dan panjang umur, parang perlambang tak mudah menyerah, serta truntum perlambang berseminya kehidupan dan kebahagiaan.
Plasenta bayi yang akan dikubur, dibungkus menggunakan kain gendhongan yang turut dikubur pula. Motif kain gendhongan pada lingkungan keraton menggunakan parang rusak yang bermakna memiliki kemampuan mengendalikan hawa nafsu, sedangkan pada masyarakat umum menggunakan sido mukti, sido luhur, wahyu tumurun, dan semen rama.
ADVERTISEMENT
Untuk menggendong bayi atau emban-emban, motif yang dulunya dipakai adalah kawung, truntum, parang, semen sawat manak, sisik buntal, panji pura, atau slimun (Tuban).
Jika anak itu laki-laki, pada saat upacara khitan, dikenakan kain batik bermotif kecil seperti parang pamor atau parang kusuma. Hal tersebut menyimbolkan kesegaran, harapan menjadi orang yang berkepribadian baik serta bahagia. Untuk anak perempuan, pada saat pertama mendapatkan haid, anak perempuan yang menjadi gadis harus melakukan siraman dengan mengenakan batik bermotif parang cantel atau parang kusuma.
Pernikahan merupakan upacara sakral yang banyak menggunakan motif-motif filosofis batik, dari mulai lamaran hingga pernikahan berlangsung. Motif-motif batik yang dikenakan selama proses tersebut berlangsung, mengenakan berbagai ragam motif, baik mempelai pria maupun wanita, keluarga pria maupun wanita. Adapun motif-motif tersebut antara lain semen latar putih, ceplok, satria manah, semen rante, wahyu tumurun, cakar, grompol, satria wibawa, truntum, sido mulya, sido mukti, sido luhur, sido asih, dan masih banyak lagi.
ADVERTISEMENT
Upacara ruwatan merupakan upacara pembebasan seorang anak dari sifat-sifat maupun pengaruh buruk atau nasib yang kurang baik. Prosesi ruwatan adalah dengan memandikan anak, mendoakannya serta menggelar wayang kulit dengan lakon Murwakala. Di era sekarang, ruwatan diartikan mendidik kembali perilaku anak yang menyimpang menjadi ke jalan yang benar. Peran orangtua diingatkan kembali sangat penting dalam perkembangan psikologis anak ke depannya pada acara ruwatan ini. Zaman dahulu, ruwatan mengenakan kain batik motif poleng, truntum, kawung, cangkring dan semen, atau parang rusak.
Semenjak Panembahan Senopati naik tahta sebagai Raja Mataram, lahir tradisi Labuhan. Kemudian tradisi tersebut dilanjutkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono 1. Upacara Labuhan tersebut dilakukan di beberapa tempat seperti Gunung Merapi, Gunung Lawu, Ndlepih Karang Anyar, dan Parangkusumo. Upacara ini dilakukan konon untuk upaya balas jasa kepada leluhur yang membantu kehidupan mereka saat itu. Motif kain batik yang dikenakan adalah yang dikenakan di lingkungan keraton, parang.
ADVERTISEMENT
Di saat kematian, kain batik digunakan untuk nglurup atau selubung jenazah. Umumnya kain batik lurupan adalah batik kesayangan almarhum atau almarhumah. Sedangkan motif yang bisa dikenakan untuk lurupan antara lain kawung polos yang berarti balik nang alam suwung, atau slobok yang berarti penghantar doa agar arwah dimudahkan jalannya menuju Sang Pencipta.
Jika kini batik hidup dalam era upaya pelestarian dan pengembangan, maka masih ada masyarakat yang tetap bertahan pada paham tradisionalitas pakem batik. Seorang kolektor batik lawas, Hartono, berujar bahwa batik dulu dan batik sekarang sangat berbeda jauh nilai seninya. “Dulu, jika motifnya burung, maka dibuat wujud burung dengan berbagai cara agar mirip. Kini motif burung, terkesan tidak realistis,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
H. Komarudin Kudiya, pemilik Batik Komar dan juga salah-satu motor penggerak perkembangan batik Jawa Barat menyebutkan bahwa tak akan habis mengeksplorasi motif batik yang ada. “Masih banyak motif batik yang belum tergali. Salah-satunya belum lama ini saya mendapatkan motif Gajahan Cirebon yang terlupakan namun ternyata masih tersimpan keberadaannya,” ujarnya.
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah BATIK On Fashion Volume 5 Tahun 2015