Konten dari Pengguna

Rupiah dalam Gejolak Global: Menjaga Rumah di Tengah Badai

Bimo Tyasono
Bimo merupakan Analis Yunior di Departemen Komunikasi Bank Indonesia. Bimo menyelesaikan studi S-1 nya di Institut Teknologi Bandung.
8 Juli 2024 14:24 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bimo Tyasono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Komplek Perkantoran Bank Indonesia, Jl. MH Thamrin Jakarta Pusat (sumber: dokumentasi pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Komplek Perkantoran Bank Indonesia, Jl. MH Thamrin Jakarta Pusat (sumber: dokumentasi pribadi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Baru-baru ini, sering kita dengar keluhan mengenai anjloknya nilai tukar Rupiah yang dianggap sebagai tanda bahwa fundamental ekonomi Indonesia sedang dalam kondisi buruk. Jika perekonomian Indonesia ibarat rumah, saat ini rumah tersebut tengah menghadapi badai hebat. Namun, jika kita telaah lebih dalam, sebenarnya banyak indikator yang menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia dalam keadaan yang kuat dan stabil.
ADVERTISEMENT
Memang Rupiah mengalami pelemahan, namun pelemahan tersebut tidak separah negara berkembang atau negara satu kawasan maupun negara berkembang dengan profil perekonomian yang mirip. Pelemahan Rupiah terhadap dolar AS per tanggal 19 Juni 2024 tercatat sebesar 5,92% dari level akhir di bulan Desember 2023. Dalam periode yang sama, Korea Selatan, Thailand, Meksiko, Brazil, dan Jepang melemah pada angka (berturut-turut) 6,78%, 6,92%, 7,89%, 10,63%, dan 10,78%. Jika negara-negara lain juga mendapat tekanan pada nilai tukarnya, terlihat bahwa salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh Indonesia saat ini adalah ketidakpastian global, bukan masalah di dalam negeri.
Ketidakpastian global saat ini dipengaruhi oleh berbagai faktor. Divergensi kebijakan moneter antara negara-negara maju menjadi salah satu penyebabnya. European Central Bank (ECB) melakukan normalisasi suku bunga lebih cepat dibandingkan Federal Reserve (The Fed) karena tekanan inflasi yang lebih rendah di Eropa. Sejak bulan September 2023, inflasi di Eropa telah turun lebih dari 2,5 poin persentase. Hal ini salah satu yang mendasari ECB menurunkan tingkat suku bunganya sebanyak 25 basis poin pada bulan Juni 2024 kemarin. Dengan tren ini, kemungkinan besar ECB akan kembali menurunkan suku bunganya kembali di triwulan 3 tahun 2024.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Bank of Japan juga mulai mengetatkan kebijakan moneternya sejalan dengan perekonomian Jepang yang mulai pulih. Suku bunga kebijakan Short-Term Interest Rate Jepang akhirnya tidak lagi negatif semenjak bulan Maret yang lalu diputuskan di Rapat Kebijakan Moneternya. Selain itu, ketegangan geopolitik yang masih tinggi menyebabkan terganggunya rantai suplai berbagai bahan baku serta arus ekspor-impor juga turut menambah beban ekonomi negara berkembang seperti Indonesia. Akibatnya, aliran modal ke negara berkembang berkurang, yang turut berdampak pada melemahnya nilai tukar Rupiah.
Meski menghadapi tantangan global, fundamental ekonomi Indonesia menunjukkan bahwa kondisi domestik masih solid. Salah satu buktinya adalah inflasi yang terjaga dalam kisaran sasaran. Pada Juni 2024, inflasi Indonesia (year-on-year) tercatat pada angka 2,51%, dan pada tahun 2024, inflasi diperkirakan tetap dalam kisaran 2,5±1%. Hal ini menunjukkan bahwa harga-harga barang dan jasa di Indonesia masih terkendali dengan baik. Inflasi yang rendah ini penting untuk menjaga daya beli masyarakat dan stabilitas ekonomi.
ADVERTISEMENT
Cadangan devisa Indonesia juga berada dalam posisi yang kuat, tercatat sebesar 140,2 miliar dolar AS pada Juni 2024. Angka ini setara dengan 6,1 bulan pembiayaan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Cadangan devisa yang cukup ini memberikan bantalan keuangan bagi Indonesia untuk menghadapi guncangan ekonomi global. Dengan cadangan devisa yang memadai, Bank Indonesia memiliki kemampuan untuk melakukan intervensi di pasar valuta asing guna menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah.
Mari kita lihat perekonomian AS, yang tidak dapat dipungkiri masih menjadi acuan utama berbagai negara di dunia. Kuartal pertama tahun 2024 AS mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 1,4% year-on-year, jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5,1% pada periode yang sama. Pertumbuhan ini didukung oleh kombinasi kebijakan antara Bank Indonesia dan pemerintah yang berhasil menjaga stabilitas Rupiah sambil tetap mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2024, pertumbuhan ekonomi diperkirakan masih tetap berada dalam kisaran 4,7-5,5%.
ADVERTISEMENT
Bank Indonesia sebagai otoritas moneter juga terus memperkuat komunikasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai perkembangan ekonomi terkini dan kebijakan moneter. Edukasi yang efektif sangat penting dalam mengelola ekspektasi masyarakat terhadap inflasi dan nilai tukar Rupiah. Dengan informasi yang akurat dan transparan, masyarakat dapat memahami tujuan kebijakan dan memiliki kepercayaan yang lebih tinggi terhadap stabilitas ekonomi Indonesia. Masyarakat yang optimis serta meyakini ekonomi Indonesia memiliki fundamental kuat dibutuhkan agar tidak memperburuk kondisi saat ini.

Tantangan yang Dihadapi Rupiah

Meskipun fundamental ekonomi Indonesia kuat, tantangan tetap ada. Salah satu tantangan utama adalah arus modal keluar yang dapat menekan nilai tukar Rupiah. Untuk mengatasi hal ini, Bank Indonesia terus mengoptimalkan berbagai instrumen moneter pro-market untuk memperkuat efektivitas transmisi kebijakan moneter. Sejak tahun 2023, BI sudah mengeluarkan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), surat berharga jangka pendek yang mendukung stabilitas rupiah dengan menarik capital inflows. Sejak awal tahun hingga data setelmen pada 4 Juli 2024, nonresiden atau asing tercatat beli neto Rp139,79 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
ADVERTISEMENT
Fundamental ekonomi Indonesia sebenarnya kuat dan baik-baik saja. Inflasi yang terkendali, cadangan devisa yang cukup, dan pertumbuhan ekonomi yang stabil menjadi bukti nyata kekuatan ekonomi Indonesia. Namun, ketidakpastian global yang dipicu oleh divergensi kebijakan moneter negara maju dan ketegangan geopolitik memang memberikan tekanan pada nilai tukar Rupiah. Untuk itu, kebijakan moneter yang pro-stabilitas dan sinergi antara Bank Indonesia dan pemerintah menjadi sangat penting dalam menjaga stabilitas ekonomi Indonesia di tengah ketidakpastian global.
Diversifikasi ekonomi dan peningkatan daya saing menjadi jurus lain untuk untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Investasi dalam sektor-sektor strategis seperti teknologi, infrastruktur, energi terbarukan, dan pendidikan perlu terus digarap oleh pemerintah baru. Perancangan program-program yang akan dijalankan di pemerintah baru perlu pertimbangan matang apalagi jika tetap ingin menepati janji dengan meneruskan program ambisius seperti Ibu Kota Negara ataupun makan siang gratis.
ADVERTISEMENT

Menjaga Ekspektasi Terhadap Rupiah dan Perekonomian Nasional

Dengan fundamental ekonomi yang kuat dan kebijakan moneter yang tepat, Indonesia siap menghadapi tantangan global untuk terus tumbuh secara sehat. Persepsi masyarakat yang positif terhadap kebijakan ekonomi juga perlu dijaga melalui edukasi dan komunikasi yang efektif. Hanya dengan sinergi dan kerjasama dari semua pihak, Indonesia dapat menjaga stabilitas ekonomi dan mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan.
Masyarakat Indonesia harus bangga dan optimis dengan pencapaian ini, namun tetap waspada terhadap tantangan yang ada. Dengan kerja keras dan kebijakan yang tepat, Indonesia dapat menjadi salah satu kekuatan ekonomi utama di negara berkembang atau bahkan berbicara lebih di level dunia. Mari tetap optimis dan dukung kebijakan-kebijakan untuk mendukung stabilitas dan pertumbuhan ekonomi kita.
ADVERTISEMENT
Sumber: