Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Review Film Serial House of Cards: Persaingan Politik atau Cinta?
5 Januari 2022 14:08 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Alfonsus Bimo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada 2019-2020 lalu, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan aksi demonstrasi mahasiswa yang terjadi di berbagai wilayah yang menolak terhadap 5 RUU yang disusun oleh pemerintah pusat (di antaranya: RKUHP; RUU Pertambangan Minerba; RUU Pertanahan; RUU Pemasyarakatan; serta RUU Ketenagakerjaan), yang dinilai merugikan pada kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Indonesia. Namun, penolakan tersebut, hanyalah satu dari tujuh tuntutan mahasiswa dari berbagai demonstrasi yang terjadi di Indonesia. Tentunya peristiwa ini mampu menyentil para elit politik bahwa masyarakat tetaplah sadar akan hak dasarnya yang wajib dipenuhi pemerintah. Namun, hal ini kemudian menimbulkan anomali, Apakah iklim politik di negeri ini selalu dilihat sekotor dan dilingkupi oleh hingar bingar para elit politik? Apakah ada jarak yang terbentang antara para elit dengan rakyatnya? Ataukah justru rakyatlah yang tidak mampu memahami dinamika yang terjadi dalam sebuah pengambilan keputusan?
ADVERTISEMENT
Baik, setidaknya Graham Allison pernah menuturkan, bahwa sebuah kebijakan itu lahir dari hadirnya interaksi kepentingan dalam dinamika pengambilan keputusan. Walaupun gagasan ini diaplikasikan ke dalam pembuatan kebijakan luar negeri, menurut pendapa saya tidak ada salahnya, penuturan beliau memperkaya pikiran kita ke dalam konteks pengambilan keputusan di negeri ini.
Berdasarkan dinamika tersebut, menurut saya jawaban elaboratif mampu terwakili lewat serial televisi Netflix yang berjudul House of Cards. Serial garapan Beau Willimon ini, bertabur para aktor ternama, di antaranya Robin Wright, Kevin Spacey, Michael Kelly, dkk. Serial yang bertemakan drama-politik ini menuntun kita pada sebuah bentuk "Amerikanisasi" mini-seri yang pertama kali disiarkan oleh BBC serta novel karya Michael Dobbs dengan judul yang sama.
ADVERTISEMENT
Dalam season-season awal, kita akan disuguhkan dinamika sepak terjang perpolitikan di Gedung Putih dari sudut pandang seorang congressman yang visioner namun haus akan kekuasaan, dialah Francis “Frank” Underwood (yang diperankan oleh Kevin Spacey) yang gagal meraih posisi yang dijanjikan presiden terpilih, Garrett Walker (yang diperankan oleh Michael Gill) sebagai seorang secretary of state.
Dendam atas kegagalannya, membuat Frank merasa harus menyingkirkan para pengkhianat yang ada dalam kabinetnya, pasti ia butuh dukungan. Caranya dengan berhasil mewujudkan proker presiden terpilih, yang salah satunya menyoroti isu pendidikan dengan dirancangnya RUU Edukasi. Dalam agenda ini Frank Underwood harus bermanuver cerdik dalam mencari aliansi, mengidentifikasi setiap afiliasi para tokoh, "whip voters", serta tentunya "lip service" ke setiap lobi-lobi kritis hingga akhirnya disahkan oleh kongres. Namun Frank tidaklah bertindak sendiri, melalui kerja sama dengan istrinya, Claire Hale Underwood (yang diperankan oleh Robin Wright) serta tangan kanan dan pion terdepannya, Douglas "Doug" Stamper (yang diperankan Michael Kelly) melengkapi kompleksitas antara persaingan kepentingan terhadap RUU sebagai pemenuhan terhadap hak-hak masyarakat.
ADVERTISEMENT
Menariknya, film yang pada dasarnya menggambarkan adanya jarak antara pemerintah dengan rakyatnya, Willimon justru menjadikan kita, para pemirsa, sebagai sahabat congressman kita, Frank Underwood. Tidak dipungkiri, melalui teknik "breaking the 4th wall" inilah, seolah-olah interaksi dua arah bisa tercapai terhadap penonton, dan membuat kita yang secara eksklusif, mafhum betul terhadap setiap jalan pikiran dan isi hati dari our ruthless congressman ever, Francis J. Underwood.