Konten dari Pengguna

Revisi UU ITE, Berdampak Positif atau Negatif terhadap Masyarakat?

Bina Hadianing sari
Mahasiswa Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah dan Hukum di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya bertempat tinggal di Ciputat Timur dan beraktivitas sebagai mahasiswa kampus dan beberapa kegiatan organisasi.
11 Mei 2024 11:53 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bina Hadianing sari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi : Gambar seseorang yang sedang beraktivitas di media sosial, sumber : https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-yang-menggunakan-iphone-1194760/
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi : Gambar seseorang yang sedang beraktivitas di media sosial, sumber : https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-yang-menggunakan-iphone-1194760/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kritik dan saran lewat media sosial sering disampaikan publik untuk kinerja pejabat negara atau pemerintah dalam menjalankan tugas. Hal tersebut sering terjadi dalam lingkungan masyarakat baik itu dalam kehidupan nyata maupun ramai tersebar di media sosial, sehingga dibentuknya sebuah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang mengatur segala pernyataan masyarakat agar dapat tersampaikan dengan kondusif dan menghindari berita hoax serta penyelewengan dalam dunia digital.
ADVERTISEMENT
Namun, berdasarkan Catatan Institut for Criminal Justice Reform, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dibuat ternyata berisi pasal karet yang diduga menyempitkan hak kebebasan berekspresi milik masyarakat.(Purnamasari, 2024) Bahkan, terdapat korban kriminalisasi yang terjadi kepada aktivis yang aktif menyuarakan argumentasi dalam permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM).
Kasus kriminalisasi UU ITE pernah terjadi kepada dua orang aktivis HAM yang dilaporkan sebagai tersangka atas pencemaran nama baik terhadap Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pada tahun 2022. Mereka adalah Haris Azhar sebagai Direktur Lokataru dan Fatia Maulidiyanti mantan Koordinator Kontras. Kasus ini bermula terjadi dikarenakan sebuah unggahan video dari youtube pribadi milik Haris yang menampilkan suatu riset dugaan mengenai keterlibatan Luhut dalam bisnis tambang dan operasi militer di Papua pada Agustus 2021, sehingga menyebabkan mereka berdua terjerat dalam UU ITE.
ADVERTISEMENT
Jika dibandingkan dengan tujuan adanya UU ITE dibentuk yaitu pada dasarnya untuk menjaga dan melindungi segala aktivitas dalam dunia digital. Namun, kasus di atas merupakan satu dari sekian banyaknya orang yang menjadi korban pasal karet UU ITE, bukannya mendapatkan keadilan dari pemerintah mereka malah dijatuhi hukuman sebagai tersangka yang pada realitanya tidak bersalah. Dikarenakan tidak kunjung reda polemik terhadap dampak UU ITE ini padahal telah mengalami perubahan pertama, maka Presiden Jokowi menyetujui dan menandatangani revisi terbaru terkait Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Ilustrasi : GamGambar berisi tentang kalimat memperjuangkan kebenaran, sumber : https://www.pexels.com/id-id/foto/ditulis-tangan-teks-catatan-latar-belakang-putih-8850834/
Menurut pendapat dari Pakar Hukum Pidana dan Kriminologi yang berasal dari Universitas Brawijaya Malang, Fachrizal Affandi mengatakan Pengesahan UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE memiliki kriminalisasi terhadap masyarakat yang masih berpotensi cukup besar, dikarenakan UU ITE revisi kedua ini justru menghidupkan kembali pasal-pasal yang bermasalah bahkan terdapat pasal yang sudah ada di KUHP masuk ke dalam UU ITE.
ADVERTISEMENT
Kemudian hadir sebuah revisi 2.0 UU ITE No. 1 Tahun 2024 yang berisi tentang perubahan substansi mengenai hal yang dilarang dan ketentuan pidana.
Namun, isi dari pasal di atas ternyata juga sering dipakai dalam mengkriminalisasi masyarakat dan membungkam kritikan dikarenakan substansi dalam pasal yang bersifat multitafsir sehingga menyebabkan potensi ketentuan pidana dalam pasal 45, 45A, dan 45B. Hal ini menjadi hambatan bagi siapapun dalam mengungkapkan suaranya untuk sistem pemerintahan yang dilaksanakan di Indonesia.
Dalam hal ini, pemerintah memiliki tanggung jawab besar dalam menyelesaikan polemik UU ITE, karena sejatinya undang-undang ini dibuat sebagai pelindung dalam beraktivitas menggunakan sosial media dan memberikan sanksi kepada orang yang menyalahgunakan internet seperti menyebarkan berita palsu. Seharusnya UU ITE tidak membatasi pendapat atau suara masyarakat yang mana diperlukan untuk mengevaluasi setiap pelaksanaan sistem pemerintahan di Indonesia. Dengan adanya hak kebebasan dalam menyampaikan pendapat bisa menjadi pelaksana salah satu dari tujuan negara yang menganut sistem demokrasi yaitu untuk menyejahterakan rakyatnya.
ADVERTISEMENT