Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Artificial Intelligence di Kalangan Mahasiswa: Menguasai atau Dikuasai?
18 Juli 2024 5:45 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Bintang Corvi Diphda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sekarang ini, kiranya kita sedang dihadapkan dengan sebuah titik infleksi penting dalam perkembangan sejarah umat manusia. Titik infleksi tersebut ditandai dengan kemunculan teknologi yang dapat mendisrupsi dan mengubah kebiasaan dalam keseharian kita. Teknologi itu adalah Artifical Intelligence (AI).
ADVERTISEMENT
Seperti yang dapat kita lihat dari beberapa waktu ke belakang, AI merupakan salah satu teknologi dengan perkembangan yang sangat pesat. Ditambah lagi, para Big Tech Company seperti Google dan Microsoft yang semakin banyak berinvestasi untuk pengembangan AI membuat akselerasi perkembangan teknologi ini melesat kencang.
Asal muasal AI sendiri dimulai dari penemuan Alan Turing pada tahun 1940-an yang merupakan cikal bakal teknologi komputer. Kemudian teknologi komputer berkembang dengan salah satu cabangnya adalah AI, sampai pada tahun 1990-an, sebuah AI bernama Deep Blue mampu mengalahkan grandmaster permainan catur, Gary Kasparov.
Hal tersebut menjadi sebuah momentum besar dalam sejarah perkembangan teknologi AI. Sampai dengan sekarang, era AI Large Language Model berbentuk chatbot seperti ChatGPT, Google Gemini dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Meskipun perkembangannya sudah dimulai sejak abad ke-20, AI sendiri baru ramai diperbincangkan setelah kemunculan ChatGPT di kalangan masyarakat luas pada tahun 2022-an.
ChatGPT menjadi booming karena ia merupakan salah satu AI LLM pertama yang dapat diakses dan digunakan dengan mudah oleh masyarakat luas. Sehingga, hal tersebut membuat popularitas ChatGPT semakin meroket dan masyarakat semakin mengenal eksistensi AI itu sendiri.
Popularitas ChatGPT yang terus meroket membuatnya semakin banyak diakses oleh berbagai kalangan, salah satunya adalah kalangan mahasiswa. Tak jarang ditemukan di era sekarang ini, semakin banyak mahasiswa yang menggunakan ChatGPT dalam proses pengerjaan tugas kuliah.
Melansir dari laman WifiTalent, sekitar 97% mahasiswa di perguruan tinggi menggunakan AI dalam proses belajar mereka. Data tersebut semakin memperjelas bahwa AI sudah marak digunakan oleh kalangan mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut terjadi tentu bukan tanpa sebab, AI seperti ChatGPT sendiri mempunyai banyak fungsi yang dapat membantu penyelesaian tugas-tugas kuliah mahasiswa, seperti merangkum isi artikel jurnal, membuat struktur esai maupun artikel ilmiah, bahkan sampai membuat isi dari slide presentasi.
Namun, penggunaan AI seperti ChatGPT dalam pengerjaan tugas kuliah mahasiwa mengundang banyak pro dan kontra. Penggunaan AI dikhawatirkan berpotensi menjadi sumber pelanggaran etika akademik, seperti plagiarisme dan lain-lain. Hal ini yang kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah memang AI itu seharusnya tidak boleh dipergunakan oleh mahasiswa?
Melalui tulisan ini, saya akan memberikan pandangan saya terkait perdebatan yang terjadi di masyarakat mengenai penggunaan AI. Terutama penggunaan AI di kalangan mahasiswa untuk mengerjakan tugas perkuliahan seperti penulisan laporan, esai ilmiah, makalah dan sejenisnya.
ADVERTISEMENT
Penggunaan AI dalam Pengerjaan Tugas Perkuliahan Mahasiswa
Terdapat banyak cara menggunakan AI untuk membantu proses pengerjaan tugas perkuliahan mahasiswa. Salah satunya, AI seperti ChatGPT 4.0 dapat membantu mahasiswa dalam merangkum isi dari artikel jurnal maupun bacaan digital.
Melalui Chat GPT 4.0, pengguna dapat mengunggah dokumen digital dari artikel jurnal yang ingin dirangkum. Kemudian pengguna dapat memberikan perintah atau prompt untuk membuat sebuah rangkuman yang berisi poin-poin sesuai perintah atau prompt yang diberikan.
Merangkum artikel jurnal dengan ChatGPT dapat menyingkat banyak waktu. Dari yang biasanya memerlukan waktu sekitar kurang lebih 20-40 menit untuk membaca dan memperoleh intisari dari suatu artikel jurnal, melalui ChatGPT, hal tersebut dapat dilakukan hanya dalam kurun waktu kurang dari 1 menit.
ADVERTISEMENT
Tentu masih banyak lagi cara yang dapat digunakan pada ChatGPT untuk bisa membantu proses pengerjaan tugas perkuliahan, seperti pembuatan outline esai atau makalah, pembuatan isi dari paparan power point, dan masih banyak lagi.
Kemudahan dan kecepatan yang didapatkan dari penggunaan AI ini lah yang tentunya membuat mahasiswa merasa sangat diuntungkan. Sehingga, hal tersebut akan semakin mengundang banyak mahasiswa lainnya untuk turut menggunakan AI dalam proses pengerjaan tugas perkuliahan mereka.
Etika Akademik
Etika akademik sendiri dapat dipahami sebagai suatu prinsip dan aturan yang mengatur perilaku etis di dunia akademik. Seperti kejujuran dan integritas yang merupakan salah dua aspek penting yang harus dijunjung tinggi sebagai sebuah etika akademik.
Dari beragam praktik penggunaan AI yang sudah disebutkan, terdapat kekhawatiran tentang potensi pelanggaran etika akademik melalui penggunaan AI seperti ChatGPT oleh para mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Pelanggaran etika akademik yang dikhawatirkan adalah semakin maraknya plagiarisme dan ketidakjujuran dalam pengerjaan tugas-tugas perkuliahan. Contohnya seperti mahasiswa yang menjiplak jawaban dari ChatGPT dan kemudian langsung memuatnya sebagai jawaban atau hasil tugasnya.
Hal ini tentu bertentangan dengan etika akademik mengenai plagiarisme dan kejujuran. Serta, masih banyak lagi potensi pelanggaran etika akademik yang dapat terjadi melalui penggunaan AI.
AI Tidak Bisa Dibendung
Penggunaan AI oleh mahasiswa memang menunculkan banyak potensi pelanggaran etika akademik. Namun, satu hal yang pasti, perkembangan dan penggunaan AI dalam kehidupan sehari-hari mustahil untuk dibendung. Apabila memang memungkinkan, maka hal tersebut tentu akan memerlukan usaha ekstra, seperti memperketat pengawasan atau usaha sejenisnya.
Dari kondisi seperti ini, rasanya menjadi semakin tak mungkin untuk melarang ataupun memantau penggunaan AI secara menyeluruh dalam proses pengerjaan tugas mahasiswa. Suka atau tidak suka, AI akan semakin masif digunakan oleh para mahasiswa dalam proses pengerjaan tugas mereka.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, perlu ada penekanan pemahaman mengenai bagaimana cara menggunakan AI yang baik. Sehingga, AI dapat tetap digunakan secara bijak dan tidak berdampak buruk terhadap etika akademik atau kemampuan berpikir mahasiswa.
Bagaimana Seharusnya Memposisikan dan Menggunakan AI?
Melihat perkembangan AI yang semakin masif dan tidak terbendung, satu-satunya cara yang dapat dilakukan adalah beradaptasi terhadap perkembangan AI itu sendiri.
Sebagai seorang insan akademis, mahasiswa seharusnya perlu paham betul mengenai etika akademik yang harus mereka junjung tinggi. Sehingga, mereka bisa tahu batasan dan tidak “kebablas.”
Mahasiswa harus paham betul bahwa AI harus diposisikan sebagai sebuah alat pembantu dalam menemukan kebenaran jawaban. Bukan sebagai satu-satunya sumber jawaban, atau bahkan, AI dijadikan sebagai penjoki tugas yang kemudian jawaban dari AI langsung disalin tanpa melakukan verifikasi kebenaran informasi atau parafrase.
ADVERTISEMENT
Mahasiswa perlu mengerti betul bahwa apa yang disampaikan oleh AI itu tidak selalu benar, sehingga perlu dilakukan verifikasi lanjutan mengenai kebenaran informasi yang dimuat.
Mahasiswa juga harus sadar bahwa ia tidak boleh sampai bergantung pada AI, terutama dalam proses berpikir dan produksi ide. Kesadaran ini harus dibangun bukan tanpa sebab, sangat berbahaya jika mahasiswa sudah sangat bergantung pada penggunaan AI dalam proses berpikir dan produksi ide.
Kreativitasnya akan mati, kekritisannya akan tumpul dan kemampuan berpikirnya akan melambat. Sehingga, semakin hari mahasiswa tersebut akan semakin tidak mampu berpikir secara mandiri.
Dalam pencarian jawaban, mahasiswa juga tidak boleh langsung menjiplak jawaban yang diberikan oleh AI ke dalam tugas perkuliahan mereka. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan etika plagiarisme dan kejujuran.
ADVERTISEMENT
Dengan menjiplak jawaban dari AI, berarti sama saja mahasiswa tersebut mencuri jawaban yang dibuat oleh AI dan ia tidak mempunyai jawabannya sendiri. Sedangkan, saat tugas tersebut dikumpulkan, nama yang tercantum dalam cover tugas adalah namanya sendiri, bukan nama AI.
Maka dari itu, seharusnya mahasiswa menggunakan AI sebagai tambahan referensi, bukan sebagai penjoki. Jawaban dan produk luaran harus tetap berasal dari hasil pikiran mahasiswa itu sendiri.
Jika mahasiswa tersebut langsung menjiplak jawaban dari AI, berarti sama saja mahasiswa tersebut tidak menghasilkan pikiran apa pun atau bahkan tidak berpikir sedikitpun.
Mahasiswa tetap harus bisa memproduksi jawaban dari hasil pikirannya sendiri, bukan langsung mencuri dari jawaban yang diberikan oleh AI. Sehingga, kemampuan berpikir mahasiswa tetap terasah dan terlatih.
ADVERTISEMENT
Karena, pada dasarnya menjadi mahasiswa adalah menjadi insan yang terus berpikir, berpikir untuk menemukan solusi masalah di lingkungannya, berempati dengan keadaan sekitar, dan berinovasi untuk menyelesaikan persoalan yang ada.
Manusia Punya Ide dan Empati, AI Hanyalah Alat
Pada akhirnya, dengan semakin berkembangnya teknologi AI yang tidak dapat terbendung ini, kesadaran akan bagaimana cara memposisikan dan menggunakan AI menjadi semakin penting untuk diketahui bagi para mahasiswa.
AI di kemudian hari akan terus berkembang sampai dengan tingkat keakuratan informasi yang bahkan tidak pernah terbayangkan. Namun, perlu disadari bahwa sampai kapanpun AI itu hanyalah alat.
AI tidak mempunyai emosi, tujuan hidup atau bahkan nilai-nilai. AI tidak dapat berempati dan merasakan bagaimana perasaan orang lain yang sedang berbicara dengannya. Hal-hal tersebut tetap hanya akan bisa dilakukan oleh manusia.
ADVERTISEMENT
Maka, jangan sampai mahasiswa tidak sadar akan pentingnya kemampuan-kemampuan itu. Kemampuan kunci yang tetap harus mereka miliki dan jangan sampai kemampuan itu tumpul karena mereka terlalu bergantung pada AI.
Mahasiswa harus sadar bahwasanya kemampuan mereka menciptakan ide, berpikir, dan berempati adalah kunci yang membedakan mereka dengan AI.
Kemampuan berpikir out of the box, berpikir kritis, problem solving adalah kemampuan yang digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebermanfaatan bagi sesama manusia, dan hal tersebut hanya dapat dilakukan oleh manusia itu sendiri.
AI hanyalah alat untuk mencapai tujuan dari empati maupun ide-ide manusia, bukan penentu. Maka dari itu, jangan sampai kita dikendalikan oleh AI.
Kita lah yang harus menguasai AI, bukan kita yang dikuasai.
ADVERTISEMENT