Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Melirik Komitmen Indonesia terhadap ASEAN dan Isu Myanmar
27 Desember 2024 18:42 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Bintang Corvi Diphda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pendahuluan
ADVERTISEMENT
Situasi politik di Myanmar terus menjadi perhatian utama negara-negara anggota Association of Southeast Asian Nation (ASEAN) dan negara-negara tetangganya.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, pada 19-20 Desember 2024, Perdana Menteri Thailand, Paetongtarn Shinawatra, menginisiasi pertemuan dua hari di Bangkok untuk membahas isu Myanmar, khususnya terkait rencana pemilu yang akan direncanakan junta Myanmar pada tahun mendatang.
Pertemuan ini menjadi sebuah upaya diplomatik untuk mendorong penyelesaian krisis politik di Myanmar melalui proses yang lebih inklusif dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
Pada hari pertama, pertemuan dihadiri oleh negara-negara non-ASEAN yang berbatasan langsung dengan Myanmar, seperti Bangladesh, India, Laos, Thailand, dan Tiongkok dan pihak Junta Myanmar. Sementara itu, pertemuan hari kedua diikuti oleh perwakilan negara-negara ASEAN tanpa melibatkan junta Myanmar.
Terdapat beberapa pejabat yang hadir dalam forum tersebut. Seperti sejumlah menteri luar negeri negara-negara ASEAN: Menlu Singapura Vivian Balakrishnan, Menlu Malaysia Mohamad Hasan, Menlu Filipina Enrique Manalo, dan Menlu Laos Thongsavanh Phomvihane.
ADVERTISEMENT
Namun, Menteri Luar Negeri Indonesia Sugiono, yang sebelumnya direncanakan hadir, absen, dan Indonesia kemudian mengirimkan Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri, Sidharto R. Suryodipuro, serta Utusan Khusus Indonesia untuk Urusan Myanmar, I Ngurah Swajaya sebagai perwakilan.
Pertemuan ini penting karena dapat menjadi forum untuk menyatukan pandangan ASEAN mengenai rencana pemilu junta Myanmar. Meski posisi resmi ASEAN belum diputuskan, desakan agar pemilu melibatkan seluruh pemangku kepentingan menggarisbawahi komitmen ASEAN terhadap penyelesaian damai krisis di Myanmar.
Dalam forum tersebut, disampaikan bahwa ASEAN menginginkan pelaksanaan pemilu di Myanmar dilakukan secara inklusif yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
Ketidakhadiran Menteri Sugiono
Dalam tulisan ini, bahasan yang akan ditekankan bukanlah pada hasil atau luaran dari forum tersebut. Melainkan pada absennya Menteri Luar Negeri Indonesia, Sugiono atau para wakil menterinya dalam forum tersebut.
ADVERTISEMENT
Hal ini menarik untuk dibahas karena jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain, terutama negara-negara pendiri ASEAN, hanya Indonesia yang tidak mengirimkan Menteri Luar Negerinya secara langsung sebagai perwakilan dalam forum tersebut.
Ketidakhadiran Menteri Luar Negeri Indonesia, Sugiono, atau salah satu dari para wakil menterinya dalam pertemuan informal ASEAN di Bangkok, Thailand, pada 19-20 Desember 2024 tentu menimbulkan tanda tanya mengenai prioritas diplomasi Indonesia terhadap isu kawasan, terutama secara khusus terhadap isu kawasan di ASEAN.
Meskipun Indonesia mengirimkan pejabat setingkat Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN dan Utusan Khusus untuk Urusan Myanmar sebagai perwakilan, absennya pejabat setingkat Menteri Luar Negeri sebagai perwakilan politik tingkat tinggi akan dipandang sebagai sikap kurangnya komitmen negara terhadap isu yang sedang dibahas.
ADVERTISEMENT
Terkait alasan ketidakhadiran dari Menlu sendiri tidak dapat dipastikan secara jelas. Melansir dari laman Kompas , Juru Bicara Kemenlu RI, Roy Soemirat, tidak memberikan penjelasan rinci terkait ketidakhadiran Menlu Sugiono.
Ketidakseriusan dalam Komitmen Regional
Ketidakhadiran Menteri Luar Negeri Sugiono dalam pertemuan tersebut dapat dilihat sebagai sinyal yang kurang baik terhadap komitmen Indonesia dalam isu-isu regional.
Sebagai salah satu pendiri dan sebagai negara yang dianggap pemimpin de facto ASEAN, Indonesia seharusnya bisa menunjukkan peran yang lebih aktif, terutama dalam upaya menyelesaikan krisis politik di Myanmar yang menjadi salah satu perhatian utama ASEAN itu sendiri.
Kehadiran pejabat setingkat Menteri Luar Negeri, bahkan pada forum informal, memiliki nilai strategis dalam menegaskan kepemimpinan dan komitmen Indonesia terhadap stabilitas dan penyelesaian konflik di kawasan.
ADVERTISEMENT
Sehingga, absennya Menlu Sugiono dalam forum tersebut memberikan kesan bahwa isu kawasan di ASEAN tidak menjadi prioritas bagi Indonesia.
Seperti juga yang disinggung oleh Profesor Riset Badan Riset dan Inovasi Nasional Dewi Fortuna Anwar dalam artikel Kompas bahwa ketidakhadiran Menteri Luar Negeri dapat memberikan gambaran negatif, seakan-akan Indonesia kurang memandang isu ASEAN dan kawasan Asia Tenggara sebagai hal yang penting (Kompas, 21/12/2024).
Ketidakhadiran ini juga dipandang dapat melemahkan posisi diplomatik Indonesia di ASEAN. Sebagai negara yang dianggap sebagai pemimpin de facto ASEAN, kehadiran Indonesia menjadi krusial untuk menjaga soliditas dan arah kebijakan ASEAN.
Dengan adanya ketidakhadiran ini pun akhirnya memberikan sinyal negatif kepada negara-negara anggota lain, seolah Indonesia mengubah sikap menjadi kurang memprioritaskan isu kawasan di ASEAN.
ADVERTISEMENT
Padahal, selama ini ASEAN dinilai sebagai pilar utama politik luar negeri Indonesia, seperti yang sudah dilakukan oleh berbagai Menteri Luar Negeri terdahulu yaitu Adam Malik, Mochtar Kusumaatmadja, Ali Alatas, Hassan Wirajuda, Marty Natalegawa, hingga Retno Marsudi, yang dikenal dengan shuttle diplomacy dengan negara-negara ASEAN untuk menjaga stabilitas kawasan.
Menagih Komitmen Bebas-Aktif Presiden Prabowo
Mengapa sikap ketidakhadiran Menlu Sugiono menarik dibahas bukan hanya karena sejarah dan kiprah Indonesia yang dikenal sebagai pemimpin de facto ASEAN, namun juga karena Presiden Prabowo sendiri, selama ini, selalu menggemborkan prinsip “bebas-aktif” sebagai prinsip Politik Luar Negeri Indonesia di masa kepresidenannya.
Adanya ketidakhadiran Menlu dalam forum informal tersebut tentu menjadi sebuah preseden buruk, komitmen Indonesia dalam isu Myanmar jadi dipertanyakan. Padahal, Indonesia adalah salah satu negara yang juga turut aktif menginisiasi Konsensus Lima Poin pada pertemuan di Jakarta tahun 2021.
ADVERTISEMENT
Sehingga, hal ini membuat “aktif” dalam prinsip “bebas-aktif” bisa saja diragukan. Terlebih lagi, jika dilihat dalam beberapa aktivitas Polugri Indonesia dalam beberapa waktu belakangan ini, seolah "bebas-aktif" Indonesia berubah sikap menjadi lebih pragmatis dengan hanya berfokus pada agenda-agenda strategis yang membawa keuntungan yang lebih konkret, seperti investasi asing.
Contohnya, Indonesia, melalui kunjungan Presiden Prabowo, mengunjungi negara-negara seperti Tiongkok, Amerika Serikat dan Inggris, dengan catatan dalam kunjungan tersebut akan mendatangkan peluang investasi asing ke Indonesia.
Selain itu, contoh lain adalah tendensi Indonesia untuk bergabung dengan BRICS, bahkan hal tersebut langsung ditunjukkan melalui kehadiran Menteri Luar Negeri RI Sugiono dalam pertemuan KTT BRICS Plus di Kazan, Rusia, Kamis (24/10).
Dalam KTT tersebut, Menlu Sugiono menyampaikan keinginan Indonesia untuk bergabung menjadi anggota kelompok BRICS. Menariknya adalah kehadiran dari Menlu Sugiono ini sangat jelas ditunjukkan bahkan baru beberapa hari setelah Presiden Prabowo dilantik pada 20 Oktober 2024.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut dapat memunculkan kekhawatiran bahwa prinsip “bebas-aktif” Indonesia dalam masa pemerintahan Prabowo akan dipandang sebagai aktivitas pragmatis oleh negara-negara di kawasan ASEAN. Indonesia seolah dilihat lebih mengutamakan urusan atau isu yang menguntungkan secara ekonomi ketimbang mengedepankan sikap kepemimpinan kawasan.
Maka dari itu, perlu bagi Indonesia untuk tetap aktif terlibat dalam persoalan isu kawasan di ASEAN, meningat bahwa Indonesia memiliki prinsip “bebas-aktif” dan sejarah panjang Indonesia sebagai salah satu aktor penting di ASEAN.
Sehingga, Prabowo Subianto, sebagai presiden Indonesia dalam 5 tahun mendatang, harus mengejawantahkan prinsip Politik Luar Negeri Indonesia yaitu “bebas-aktif” dengan sebaik-baiknya dan tidak tebang pilih hanya pada urusan pragmatis semata. Hal tersebut dapat dicapai dengan cara seperti yang telah dilakukan oleh para pendahulu bangsa ini, dengan mengembalikan peran aktif Indonesia dalam kepemimpinan di kawasan ASEAN.
ADVERTISEMENT