Konten dari Pengguna

PPN 12% dan Manufactured Consent

Bintang Corvi Diphda
Mahasiswa Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya.
26 Desember 2024 13:20 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bintang Corvi Diphda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Chat GPT Dall-E
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Chat GPT Dall-E

Pendahuluan

ADVERTISEMENT
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan salah satu instrumen penting dalam lingkup kebijakan fiskal dan sistem perpajakan di Indonesia. PPN dikenakan pada tahap produksi atau distribusi barang dan jasa, menjadikannya salah satu sumber utama penerimaan negara.
ADVERTISEMENT
Kebijakan ini pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan pendapatan negara yang akan digunakan untuk mendukung berbagai program pemerintah.
Dalam beberapa waktu lalu, pemerintah telah mengumumkan bahwa pada tahun 2025 PPN akan naik menjadi 12%. Hal ini kemudian memunculkan beragam pro dan kontra di masyarakat yang membuat isu ini menjadi perbincangan hangat di berbagai platform sosial media
Banyak yang membahas tentang dampaknya terhadap daya beli masyarakat, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah yang sudah menghadapi tekanan ekonomi akibat inflasi dan kenaikan harga kebutuhan pokok.
Melansir dari Center of Economic and Law Studies (Celios), kenaikan PPN pada 2025 ditinjau dapat mendorong naik tingkat inflasi hingga 4,11 persen dari tingkat inflasi tahunan per November 2024 yang masih sebesar 1,55 persen.
ADVERTISEMENT
Kebijakan ini juga dikhawatirkan dapat meningkatkan ketimpangan sosial jika tidak disertai kebijakan pendukung yang efektif. Maka dari itu, karena dampaknya yang luas, perdebatan terhadap kebijakan PPN 12% menjadi tidak terelakkan.

Kemunculan Tagar #PPNMemperkuatEkonomi

Setelah adanya berbagai pro dan kontra di masyarakat terkait kebijakan PPN 12% dalam beberapa waktu lalu, kemudian muncul berbagai tagar di sosial media, terutama di sosial media X (sebelumnya dikenal sebagai Twitter) seperti #PPNMemperkuatEkonomi dan #TolakPPN12Persen.
Tagar ini digunakan secara masif untuk mempromosikan narasi bahwa peningkatan PPN adalah langkah yang diperlukan untuk memperkuat perekonomian nasional atau mempromosikan penolakan terhadap kebijakan tersebut.
Bahasan menarik dari fenomena ini adalah pada munculnya tagar #PPNMemperkuatEkonomi. Hal ini menarik karena tagar tersebut seolah muncul secara tiba-tiba sebagai kontra narasi dari tagar #TolakPPN12Persen dan bukan sebagai proses yang organik. Kecurigaan tersebut semakin diperkuat berdasar pada temuan dari artikel Kompas.
ADVERTISEMENT
Melansir dari artikel Kompas yang berjudul “Perang Tagar #TolakPPN12Persen Vs #PPNMemperkuatEkonomi”, tagar #PPNMemperkuatEkonomi ternyata gencar diluncurkan pada tengah malam ketimbang tagar #TolakPPN12Persen yang ramai diperbincangkan saat jam-jam aktivitas pada siang hingga sore hari.
Tagar #PPNMemperkuatEkonomi sendiri mulai mencuat antara pukul 13.00 hingga 24.00 pada Sabtu (21/12/2024), dengan 52 percakapan tercatat dalam satu jam pertama.
Adaya aktivitas semacam ini tentu menimbulkan pertanyaan, apakah kemunculan tagar ini benar-benar mencerminkan adanya opini publik yang organik untuk mendukung kebijakan tersebut, ataukah ini adalah sebuah upaya yang terstruktur dan sistematis untuk menggiring opini publik dan mengalihkan perhatian terkait kritik terhadap kebijakan PPN 12%?

Membahas Tagar #PPNMemperkuatEkonomi

Untuk membahas tagar #PPNMemperkuatEkonomi, terdapat satu pemikiran yang patut untuk disinggung. Pemikiran tersebut adalah “Manufactured Consent” oleh Noam Chomsky dan Edward S. Herman.
ADVERTISEMENT
Dalam bukunya yang berjudul “Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media”, Noam Chomsky bersama Edward S. Herman memperkenalkan konsep Propaganda Model (PM).
Model ini menjelaskan bagaimana media digunakan oleh elit ekonomi dan politik untuk membentuk opini publik. Dalam konteks ini, media tidak lagi berfungsi sebagai pengawas demokrasi, tetapi sebagai alat untuk memanipulasi wacana publik demi kepentingan kelompok tertentu.
Menurut Chomsky dan Herman, ada lima filter yang digunakan untuk membentuk narasi media: ownership of the medium, the medium's funding sources, sourcing, flak, and anti-communism or “fear ideology”.
Memang, fokus bahasan Chomsky dan Herman dalam kerangka tersebut mengacu pada suatu media resmi yang secara jelas melakukan propaganda, seperti surat kabar atau sejenisnya.
ADVERTISEMENT
Namun, dalam fenomena munculnya tagar #PPNMemperkuatEkonomi, fenomena tersebut juga bisa dikatakan sebagai upaya untuk memanufaktur consent dari masyarakat sehingga mereka terkecoh dan menerima keijakan PPN 12%. Dalam Propaganda Model (PM), terdapat beberapa konsep yang relevan untuk membahas fenomena tersebut, salah satunya adalah flak.
Flak sendiri adalah istilah yang digunakan oleh Chomsky dan Herman untuk menggambarkan respons negatif yang ditujukan kepada media atau individu yang mengkritik kekuasaan atau kebijakan dari penguasa.
Flak bisa berwujud dalam bentuk tekanan seperti somasi, gugatan hukum, hingga ancaman yang bertujuan mendiskreditkan pihak yang mengkritik pihak yang mengendalikan media atau pihak yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan pengendali media.
Tujuannya adalah untuk mengendalikan opini publik dan memastikan bahwa narasi yang mendukung kepentingan mereka tetap mendominasi. Dalam hal ini, flak dapat menjadi salah satu alat penting untuk menjaga kekuasaan elit dengan membungkam kritik atau pandangan alternatif.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks munculnya tagar #PPNMemperkuatEkonomi, fenomena tersebut dapat dilihat sebagai sebuah flak terhadap tagar #TolakPPN12Persen. Namun, yang membedakan jika dilihat dari kerangka konsep Chomsky adalah upaya ini tidak dilakukan oleh lembaga media resmi, melainkan melalui buzzer yang bertebaran di sosial media.
Buzzer yang dimaksud di sini adalah individu yang bertugas menyebarluaskan pesan atau pandangan tertentu terkait isu, ide, atau merek, dengan tujuan agar terlihat alami dan organik. Peran buzzer adalah memengaruhi opini publik sehingga sesuai dengan narasi atau pandangan yang ingin mereka jadikan umum atau diterima secara luas.
Dalam konteks kasus tagar #PPNMemperkuatEkonomi, hal tersebut tentu menunjukkan bagaimana buzzer dapat digunakan untuk memanipulasi opini publik. Dalam kasus ini, para buzzer akan terus berupaya membingkai kebijakan PPN 12% sebagai “langkah strategis” untuk memperkuat ekonomi.
ADVERTISEMENT
Buzzer tidak hanya beperan dalam menciptakan ilusi seolah ada kalangan masyarakat yang mendukung kebijakan tersebut, tetapi juga mengarahkan diskursus ke arah yang menguntungkan elit. Sehingga, hal ini seolah-olah menciptakan ilusi akan adanya consent atau persetujuan dari masyarakat terhadap kebijakan PPN 12%.
Maka dari itu, fenomena munculnya tagar #PPNMemperkuatEkonomi dapat menjadi pengingat penting bahwa opini publik di era digital tidak selalu mencerminkan kenyataan secara keseluruhan. Dengan memanfaatkan buzzer, kelompok tertentu dapat memengaruhi diskursus publik dan membentuk opini yang menguntungkan mereka.
Sehingga untuk menghadapi fenomena seperti ini, masyarakat perlu meningkatkan literasi digital dan memiliki sikap kritis terhadap informasi yang berseliweran di sosial media.
Sangat penting untuk memverifikasi fakta, mengenali pola manipulasi opini, dan tetap terbuka terhadap berbagai perspektif. Dengan demikian, diskursus publik diharapkan dapat tetap sehat, inklusif, demokratis, serta terhindar dari adanya penggiringan opini dan manufaktur consent oleh para buzzer.
ADVERTISEMENT