Konten dari Pengguna

Good Governance Dalam Perumusan Kebijakan

Boy Anugerah
Pemerhati Isu-Isu Sosial dan Politik Alumni PPS Kajian Strategik Ketahanan Nasional UI 2014 Direktur Eksekutif Literasi Unggul You may contact me at [email protected]
18 Februari 2021 6:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Boy Anugerah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Boy Anugerah (Author)
zoom-in-whitePerbesar
Boy Anugerah (Author)
ADVERTISEMENT
Indonesia sebagai sebuah entitas politik dan sosial budaya yang berdaulat memiliki cita-cita dan tujuan nasional, sebagaimana yang dimaktubkan dalam Pembukaan UUD NRI 1945 alinea ke-4. Untuk mencapai cita-cita dan tujuan nasional tersebut, utamanya guna menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, dibutuhkan sebuah governansi atau tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. Sebuah tata kelola pemerintahan yang dijalankan secara efektif dan efisien oleh pemerintah, berorientasi pada pelayanan untuk memenuhi kebutuhan seluruh warga negara, mengedepankan partisipasi publik, serta bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang merugikan rakyat.
ADVERTISEMENT
Bank Dunia (World Bank) mendefinisikan governansi sebagai “the way state power is used in managing economic and social resources for development society”. Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) mendefinisikan governansi sebagai “the exercise of political, economic, and administrative authority to manage a nation affair at all levels”. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2000 tentang Good Governance, governansi yang baik merupakan tata pemerintahan yang mengemban dan menerapkan prinsip-prinsip profesionalisme, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektivitas, supremasi hukum, dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat.
Secara garis besar, terdapat tiga pemangku kepentingan utama dari governansi, yakni negara atau pemerintah, sektor swasta, serta masyarakat madani. Sarana pemerintah dalam menjalankan governansi yang baik adalah melalui pembuatan kebijakan publik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Sektor swasta yang dimaksudkan di sini meliputi perusahaan swasta yang aktif berinteraksi dalam sistem pasar seperti sektor perdagangan, perbankan, pendidikan, dan sebagainya. Sedangkan masyarakat madani mengambil posisi di tengah-tengah, yakni di antara pemerintah dan perseorangan. Governansi yang baik memungkinkan adanya kesejajaran peran di antara ketiga pemangku kepentingan tersebut.
ADVERTISEMENT
Seperti yang disebutkan sebelumnya, konkretisasi peran pemerintah atau negara dalam menjalankan governansi yang baik adalah melalui formulasi kebijakan publik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Artinya, terdapat keterkaitan dan relevansi antara kualitas pelayanan publik dengan mutu tata kelola yang dijalankan oleh pemerintah atau negara. Secara umum, terdapat tiga poin utama keterkaitan antara keduanya. Pertama, governansi terkait erat dengan kontribusi, pemberdayaan, dan keseimbangan peran antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Kedua, governansi yang baik mensyaratkan adanya kompetensi dari birokrasi sebagai pelaksana kebijakan publik. Ketiga, tujuan dari governansi yang baik melalui keseimbangan antara para pemangku kepentingan harus dapat dieajawantahkan dengan baik oleh kebijakan publik yang diformulasikan.
ilustrasi pixabay,com

Rumusan Masalah

Kebijakan publik didefinisikan sebagai segala tindakan yang diambil oleh pemerintah atau negara yang mencerminkan respons yang disepakati sebelumnya terhadap sirkumstansi-sirkumstansi yang spesifik. Pemerintah mendesain kebijakan publik dengan tujuan untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat. Merujuk pada pendapat dari Harold Laswell, kebijakan publik memiliki tiga karakteristik utama, yakni bersifat multidisiplin, mampu memecahkan permasalahan yang ada, serta bersifat normatif. Dalam perumusan kebijakan publik yang dilakukan oleh pemerintah, terdapat beberapa tahapan yang harus dipenuhi, sebagai berikut: identifikasi permasalahan, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, serta evaluasi kebijakan.
ADVERTISEMENT
Meskipun Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menjalankan governansi yang baik yang tercermin dari regulasi yang telah ditetapkan dan beberapa pernyataan secara langsung yang disampaikan oleh pejabat negara, tidak dimungkiri bahwa governansi yang baik belum diwujudkan secara optimal. Indikatornya jelas, yakni kebijakan publik yang masih belum secara optimal memenuhi kebutuhan dan ekspektasi masyarakat. Ada banyak contoh yang bisa dikemukakan. Kebijakan pemerintah untuk membuat sebuah omnibus law bidang perpajakan, cipta kerja, dan keamanan maritim atau laut pada hakikatnya bisa dipahami sebagai sebuah upaya untuk memangkas berbagai peraturan yang sudah eksis, namun terlalu banyak dan tumpang-tindih satu sama lain. Hanya saja dalam tahap formulasi kebijakan hukum tersebut, publik tidak diikutsertakan partisipasinya. Sebagai akibatnya, terciptalah resistensi dari kaum buruh, aktivis lingkungan, dan pegiat media sebagai pemangku kepentingan lainnya terhadap RUU Omnibus Law yang diusulkan untuk dibahas di parlemen.
ADVERTISEMENT
Contoh lainnya adalah kebijakan pemerintah untuk menjalankan kebijakan new normal dalam merespons dampak ekonomi COVID-19. Kebijakan ini tidak sepenuhnya didukung oleh masyarakat, bahkan oleh beberapa pemerintah daerah. Hal ini disebabkan karena kurva kasus belum sepenuhnya melandai, sehingga terdapat risiko pelonjakan jumlah kasus. Hal lainnya yang menjadi keberatan sebagian masyarakat dan pemerintah daerah adalah tingkat kepatuhan hukum masyarakat. Kebijakan new normal pada hakikatnya mensyaratkan kepatuhan secara penuh terhadap protokol kesehatan yang ditetapkan, seperti penggunaan masker di tempat umum, pemakaian disinfektan, dan jaga jarak, bukan berarti pelonggaran tanpa batas. Terjadi juga mispersepsi di masyarakat bahwa kebijakan new normal berarti bahwa situasi sudah kembali normal seperti biasanya.
Secara garis besar, permasalahan dalam governansi sehingga berujung pada kebijakan publik yang tidak komprehensif adalah kualitas atau kompetensi para pejabat publik dan aparatur negara, baik TNI, Polri, maupun ASN yang harus ditingkatkan, belum diakomodasinya partisipasi publik secara optimal (top-down mechanism), masih adanya praktik governansi yang buruk seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme, termasuk korporatokrasi atau permainan kepentingan antara pemerintah dan pemodal dalam merumuskan kebijakan publik. Merujuk pada permasalahan tersebut, maka perumusan masalah dalam penulisan ini adalah: ‘Bagaimana penguatan governansi dalam penyusunan kebijakan publik?”. Adapun beberapa hal penting yang akan dianalisis secara mendalam adalah upaya peningkatan kompetensi para pejabat publik dan aparatur negara, penguatan partisipasi publik dalam perumusan kebijakan, serta pemberantasan penyimpangan yang dilakukan dalam pelaksanaan governansi di pemerintah.
ADVERTISEMENT

Kerangka Teoretis

Gunawan Sumodiningrat menyatakan bahwa tata kelola pemerintahan atau governansi yang baik adalah upaya pemerintahan yang amanah, dan untuk menciptakan governansi yang baik tersebut perlu didesentralisasikan dan sejalan dengan kaidah penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sementara itu, World Bank mendefinisikan governansi yang baik sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab, yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi, baik secara politik maupun administrasi, menjalankan disiplin anggaran, serta penciptaan kerangka legal dan politik bagi tumbuhnya dunia usaha.
Thomas R. Dye mendefinisikan kebijakan publik sebagai apa pun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau untuk tidak dilakukan. Definisi tersebut secara gamblang menyatakan bahwa kebijakan publik adalah perwujudan tindakan atau aksi, bukan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat publik semata. Selain itu, sikap atau pilihan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu juga dapat disebut sebagai kebijakan publik karena memiliki pengaruh atau dampak yang sama dengan pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu.
ADVERTISEMENT
Nugroho menjelaskan bahwa terdapat dua karakteristik utama dari kebijakan publik. Pertama, kebijakan publik merupakan sesuatu yang mudah untuk dipahami, karena maknanya adalah hal-hal yang dikerjakan untuk mencapai suatu tujuan nasional dari sebuah negara dan pemerintahan. Kedua, kebijakan publik merupakan sesuatu yang mudah diukur (measurable), dikarenakan ukurannya yang jelas, yakni sejauh mana kemajuan pencapaian cita-cita sudah ditempuh (pemenuhan kebutuhan publik atau masyarakat). Kebijakan publik pada dasarnya bukanlah masalah teknis, strategis, atau politis, melainkan permasalahan moral dan tanggung jawab atas kekuasaan yang dipegang, serta terhadap bangsa dan negara.

Pembahasan

Dengan berpijak pada kerangka teoritis dan pemahaman di atas, maka upaya penguatan governansi agar menjadi governansi atau tata kelola pemerintahan yang baik yang berkorelasi dengan perumusan kebijakan publik yang komprehensif haruslah mampu mengatasi berbagai permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan governansi itu sendiri. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
a. Penguatan Kompetensi Pejabat Publik dan Aparatur Negara
Citra sebuah negara sangat ditentukan oleh kualitas dan kompetensi dari para aparaturnya, baik yang menduduki jabatan sebagai pejabat publik, maupun para pelaksana dari berbagai kelompok (TNI/Polri/ASN). Berbicara mengenai pejabat publik, maka tidak akan terlepas dari pola pemilihan pejabat publik itu sendiri. Para individu yang menduduki jabatan sebagai presiden, wakil presiden, anggota parlemen pusat dan daerah, gubernur, hingga bupati dan wali kota merupakan produk pemilihan umum secara langsung. Artinya mereka dipilih melalui proses demokratis yang melibatkan rakyat sebagai pemilih secara langsung.
Hal ini berarti ada tugas dan tanggung jawab rakyat untuk memilih para calon yang benar-benar kompeten dan dapat mewakili aspirasi mereka. Namun demikian, dalam konteks pemilihan kandidat pejabat publik tersebut, peran partai politik sangatlah signifikan. Untuk dapat berkontestasi pada pemilihan umum, para kandidat haruslah dicalonkan oleh partai politik terlebih dahulu. Kiranya inilah fakta yang dapat menjadi simpul penjelas mengenai siapa yang paling bertanggung jawab dalam produksi para pemimpin nasional dan pejabat publik yang kompeten menjalankan governansi nantinya.
ADVERTISEMENT
Tidak dimungkiri bahwa kendala partai politik saat ini adalah masih masifnya politik transaksional. Siapa yang hendak maju, harus diukur elektabilitas dan kecukupan modalnya. Akibatnya, mereka yang maju adalah para calon yang memiliki modal yang kuat dan populer di masyarakat. Partai politik saat ini mayoritas tidak berorientasi lagi pada skema kader, melainkan calon yang dapat mendukung logistik dan mendulang suara bagi partai politik.
Pada tataran kewenangan presiden untuk menunjuk para pembantunya yang akan menduduki jabatan sebagai menteri atau kepala lembaga negara, tentu tidak dapat terlepas dari politik transaksional yang dijalankan oleh partai politik pengusung. Sebagai konsekuensinya, para pembantu presiden didominasi oleh unsur partai politik ketimbang profesional yang kompeten, serta para donatur pada saat pencalonan. Situasi dan kondisi ini akan sangat buruk bagi perumusan kebijakan publik karena mereka yang menduduki jabatan tersebut bukanlah produk seleksi kompetensi dan integritas yang dijalankan dengan baik.
ADVERTISEMENT
Sedangkan pada tataran aparatur negara, baik TNI/Polri/ASN, masih terdapat kendala pada kompetensi. Beberapa permasalahan yang krusial adalah kegagapan dalam menggunakan teknologi informasi dan komunikasi yang memudahkan pekerjaan, inisiatif untuk terus menciptakan inovasi bagi pelayanan publik yang masih rendah, tingkat kesejahteraan pada beberapa posisi yang belum sesuai dengan bobot tugas yang diampu, serta pola pendidikan dan pelatihan yang belum bisa mengikuti kecepatan perubahan tantangan yang dihadapi. Untuk menyikapi kondisi tersebut, pemerintah seyogyanya melakukan perbaikan pola pendidikan dan pelatihan, dan yang terpenting adalah penerapan sistem meritokrasi yang dapat menguatkan komitmen para aparatur negara tersebut dalam memberikan pelayanan kepada publik.
b. Penguatan Partisipasi Publik Dalam Perumusan Kebijakan Publik
Salah satu aspek penting dalam perumusan kebijakan publik adalah identifikasi permasalahan. Berbicara mengenai permasalahan, tentu tidak terlepas dari sirkumstansi yang terjadi di masyarakat atau publik itu sendiri. Oleh sebab itu, pemerintah selaku perumus kebijakan publik sangatlah penting untuk melibatkan peran masyarakat dalam identifikasi permasalahan, termasuk pada tataran selanjutnya, yakni formulasi kebijakan. Peran dan kontribusi yang dapat diberikan oleh masyarakat adalah dengan memberikan masukan atau informasi terkait permasalahan yang dihadapi, objektif dan ekspektasi mereka selaku penerima manfaat dari kebijakan yang akan dirumuskan nantinya, serta opsi-opsi kebijakan yang dapat diputuskan oleh pemerintah nantinya.
ADVERTISEMENT
Dewasa ini, partisipasi publik tidak lagi berkutat pada hal-hal yang sifatnya konvensional seperti audiensi langsung dengan pemerintah, dan sebagainya. Perkembangan media sosial dan platform lainnya dapat menunjang skema partisipasi berbasis digital, tidak terbatas pada ruang dan waktu. Publik dapat menyuarakan opininya di media sosial, media massa, dan instrumen berbasis teknologi lainnya. Dalam konteks inilah pemerintah bertanggung jawab untuk merumuskan strategi penghimpunan aspirasi publik dan perumusan masalah yang tepat. Tantangan yang mungkin dihadapi oleh pemerintah adalah kapasitas yang harus terus ditingkatkan untuk membedakan mana aspirasi yang positif, dan mana yang berkategori hoaks dan kebohongan.
c. Pemberantasan Penyimpangan Dalam Pelaksanaan Governansi
Salah satu permasalahan akut dalam tata kelola pemerintahan adalah masih masifnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kebijakan publik bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, atau dijalankan oleh satu pilar kekuasaan saja. Sebuah kebijakan publik lazimnya diinisiasi oleh pihak eksekutif untuk kemudian lebih lanjut didiskusikan dan dibahas dalam sidang di parlemen. Artinya, ada diskusi dan dialektika antara pihak eksekutif dan legislatif dalam perumusan kebijakan tersebut. Dalam tataran legislatif sendiri, otoritas mereka yang duduk sebagai wakil rakyat kerap dipengaruhi oleh berbagai pihak, baik partai politik sebagai pengusung mereka, maupun para pihak yang berkepentingan terhadap kebijakan yang dibahas. Pihak ini kerapkali berasal dari kalangan pengusaha atau pemodal, bahkan pihak asing yang hendak mengamankan kepentingannya (pengkor).
ADVERTISEMENT
Situasi dan kondisi inilah yang membuka peluang lebar terjadinya politik transaksional dalam perumusan kebijakan. Pada dimensi lain, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dapat juga terjadi ketika kebijakan tersebut diimplementasikan oleh para aparat negara. Sebagai contoh, kebijakan larangan mudik yang ditetapkan oleh pemerintah selama pandemi COVID-19, tidak sepenuhnya berjalan mulus. Para aparat negara yang diharapkan dapat menegakkan hukum dengan menindak tegas para pelanggar kebijakan ternyata masih dapat dinegosiasi. Kebijakan pemerintah yang meniadakan biaya administrasi pada pengurusan dokumen publik atau bantuan sosial juga kerap diwarnai oleh pungutan liar (pungli) oleh oknum-oknum pelaksana yang tidak bertanggung jawab.
Menyikapi kondisi ini, pemerintah perlu mengambil langkah tegas. Para aparat negara yang melakukan penyimpangan hendaknya mendapatkan sanksi hukum yang keras dan tegas. Untuk meminimalisir pelanggaran yang dilakukan aparat negara, pemerintah harus memberikan akses seluas-luasnya kepada masyarakat untuk melaporkan pengaduan. Yang terpenting, pemerintah harus menjamin bahwa aparat penegak hukum memiliki integritas yang kuat. Sanksi lebih keras dan tegas akan diberikan kepada penegak hukum yang justru melakukan pelanggaran, mulai sanksi administrasi, mutasi ke daerah-daerah terpencil dan terluar, hingga pemecatan secara tidak hormat dari instansinya. Hal ini penting untuk menjaga marwah birokrasi sebagai pelaksana kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT

Penutup.

Simpulan ; Tata kelola pemerintahan atau governansi yang baik memiliki korelasi pada terciptanya kebijakan publik yang komprehensif dan mampu mengatasi berbagai permasalahan di masyarakat. Governansi yang buruk seperti inkapabilitas pejabat publik dan aparatur negara, lemahnya kemampuan pemerintah untuk melibatkan publik dalam tata kelola pemerintahan, serta marakanya penyimpangan yang dilakukan oleh aparatur negara seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme, dapat berdampak buruk terhadap kebijakan publik yang diformulasikan.
Rekomendasi: Berpijak pada teori dan pemahaman mengenai pentingnya menjalankan tata kelola pemerintahan atau governansi yang baik dan bersih, serta perumusan kebijakan publik yang patuh terhadap kaidah-kaidah yang ditetapkan, maka ada tiga langkah yang dapat dilakukan untuk penguatan governansi. Pertama, penguatan kompetensi dan kapasitas pejabat publik dan aparatur negara. Kedua, penguatan partisipasi publik dalam perumusan kebijakan. Ketiga, pemberantasan berbagai penyimpangan dalam pelaksanaan tata kelola pemerintahan.
ADVERTISEMENT