Konten dari Pengguna

Jeli Membaca Uighur

Boy Anugerah
Pemerhati Isu-Isu Sosial dan Politik Alumni PPS Kajian Strategik Ketahanan Nasional UI 2014 Direktur Eksekutif Literasi Unggul You may contact me at [email protected]
4 September 2020 10:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Boy Anugerah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Save Uyghur Muslim
zoom-in-whitePerbesar
Save Uyghur Muslim
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Konflik Uighur di wilayah Xinjiang, Tiongkok, yang meletup beberapa waktu yang lalu memang sekilas mereda. Mereda karena tertutup oleh beberapa isu global yang juga menyita perhatian dunia seperti mewabahnya virus Corona yang juga menghantam negeri tirai bambu, pembunuhan petinggi militer Iran oleh AS, termasuk upaya pemakzulan Trump oleh parlemen AS. Meskipun terkesan sudah ‘dingin’, konflik Uighur tidak serta-merta bisa kita lupakan. Konflik antara etnis minoritas vis a vis dengan etnis mayoritas dan pemerintah Tiongkok tetap harus dicermati oleh masyarakat global. Konflik ini bisa meletus kembali di lain waktu dengan jumlah korban yang lebih besar. Tiongkok boleh bersikukuh menyebut ini sebagai urusan domestiknya. Namun demikian, perkara nyawa manusia adalah persoalan bersama. Tidak dibenarkan pemerintah sebuah negara bertindak sewenang-wenang kepada warga negaranya.
ADVERTISEMENT
Memahami akar masalah
Dalam menyikapi kasus Uighur, pandangan yang jernih menjadi kata kunci agar tidak terjebak pada belenggu persepsi. Saat ini kasus Uighur telah menjadi isu global, yang artinya sudah menarik perhatian masyarakat dunia dan dibincangkan dalam forum global. Diskursus mengenai kasus Uighur juga terbelah antara dugaan pelanggaran HAM di satu sisi, serta radikalisme dan separatisme di sisi lain. Di lain hal, kasus Uighur tidak an sich sebagai isu domestik Tiongkok saja. Disinyalir ada keterlibatan aktor-aktor luar Tiongkok yang ikut bermain, baik aktor negara maupun non-negara. Di sinilah pemerintah Indonesia dituntut untuk cermat dan berhati-hati.
Untuk merespons kasus Uighur yang bisa meletus kapan saja, langkah pertama yang bisa diambil oleh pemerintah Indonesia adalah melakukan pemetaan masalah. Dalam konteks ini, pemerintah Indonesia harus melihat fakta-fakta yang ada, baik secara historis maupun kontemporer. Ada beberapa hal menarik yang perlu dipelajari dalam kasus Uighur. Pertama, Uighur bukan satu-satunya etnis yang ada di Xinjiang. Ada etnis lainnya seperti Han, Hui, dan Kazakhs. Uighur juga bukan satu-satunya etnis Muslim di Xinjiang. Ada Muslim Hui yang jumlahnya 4,5 persen dari total populasi Xinjiang. Kedua, ada dua kondisi yang berbeda antara etnis Uighur dan Hui yang sama-sama Muslim. Uighur mengalami diskriminasi, sedangkan Hui tidak.
ADVERTISEMENT
Kondisi berbeda yang dialami oleh kedua etnis Muslim tersebut terjadi karena perbedaan laku sejarah dan pandangan politik. Pada masa lampau, etnis Hui dan etnis Han, yang notabene merupakan mayoritas penduduk Tiongkok, bahu-membahu berjuang mengusir penjajah Jepang, sedangkan Uighur tidak. Secara fisik, etnis Muslim Hui memiliki kemiripan fisik dengan etnis Han. Hal ini kontras dengan etnis Uighur yang secara fisik berbeda dengan mayoritas penduduk Tiongkok. Etnis Uighur secara fisik dan akar budaya lebih dekat dengan penduduk asli Turki dan Asia Tengah.
Perbedaan secara historis, fisik dan budaya itulah yang menjadi akar diskriminasi Uighur. Hal ini menjadi semakin kompleks tatkala intensi masyarakat Uighur untuk memerdekakan diri diperkeruh oleh masuknya dukungan pihak luar untuk mempercepat kemerdekaan Uighur dari Tiongkok, seperti East Turkistan Islamic Movement (EATIM) dan Turkistan Islamic Party (TIP). Celakanya lagi, etnis Uighur sempat digalang oleh Al- Qaedah dan ISIS untuk menjadi bagian dari perjuangan mereka. Hal ini bisa ditilik dari ditembaknya salah seorang pelaku teroris dari etnis Uighur yang tergabung dalam kelompok Santoso di Poso oleh Satgas Operasi Tinombala pada 2016. Disinyalir kelompok Santoso tersebut terafiliasi dengan ISIS.
ADVERTISEMENT
Fakta ketiga yang harus dilihat dengan baik adalah respons dunia internasional. Saat ini muncul reaksi yang beragam terhadap isu Uighur. Amerika Serikat yang terlibat dalam perang dagang dengan Tiongkok sudah pasti menempatkan isu Uighur sebagai sasaran tembak untuk melemahkan Beijing dengan menggunakan isu demokrasi dan pelanggaran HAM. Dukungan beberapa negara di kawasan Asia Tengah terhadap kemerdekaan Uighur juga patut dicermati karena wilayah Xinjiang tempat etnis ini bermukim adalah wilayah yang kaya akan sumber daya alam. Kemerdekaan Uighur akan menciptakan patronase yang menguntungkan negara-negara sponsor tersebut.
Kritik atas kebijakan Tiongkok
Terlepas dari beberapa fakta empirik yang terkesan menguntungkan Tiongkok tersebut, pemerintah Indonesia juga harus mencermati langkah-langkah yang sudah diambil oleh pemerintah Tiongkok untuk menyelesaikan masalah. Kebijakan Tiongkok yang bercorak sentralistis dan minim pendekatan demokrasi menjadi problematika tersendiri dalam kasus Uighur. Alih-alih merangkul Uighur untuk menumbuhkan nasionalisme Tiongkok, pemerintah Tiongkok justru menempatkan etnis ini sebagai “liyan”.
ADVERTISEMENT
Kebijakan transmigrasi Tiongkok sejak 2009 hingga 2019 yang memberikan insentif kepada etnis Han di luar Xinjiang untuk bermukim di Xinjiang guna menciptakan perimbangan demografis memberikan tekanan psikologis terhadap etnis Uighur. Sebagai pendukung kebijakan tersebut, pemerintah Tiongkok menggalakkan pembangunan infrastruktur seperti sekolah, rumah sakit, dan pemukiman. Namun demikian, bagi etnis Uighur, kebijakan pembangunan tersebut bukan tulus ditujukan untuk mereka, melainkan untuk etnis Han yang bermigrasi ke wilayah Xinjiang.
Kebijakan Tiongkok lainnya yang sangat fatal adalah pembangunan kamp konsentrasi yang disebut oleh media asing sebagai ‘kamp penghilangan etnis’. Tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah Tiongkok adalah meredam hasrat kemerdekaan dan menjadikannya sebagai “Satu Tiongkok”. Kebijakan represif ini, alih-alih menumbuhkan nasionalisme Tiongkok di hati kaum Uighur, justru menumbuhkan kebencian yang mendalam, serta memperkuat tekad mereka untuk merdeka.
ADVERTISEMENT
Langkah Indonesia
Pemerintah Indonesia mengalami dilema dalam menentukan respons terhadap kasus Uighur. Kondisi ini muncul tatkala beberapa kelompok berbasis agama menuntut pemerintah Indonesia bersikap tegas terhadap pemerintah Tiongkok. Kemenlu RI sebagai pemangku kepentingan akhirnya mengambil langkah moderat dengan memanggil Dubes Tiongkok di Indonesia untuk menjelaskan situasi dan kondisi yang ada di Xinjiang. Demikian juga halnya dengan Dubes Indonesia di Tiongkok dibebani tugas untuk memberikan laporan dan analisa yang akurat mengenai situasi di sana. Kondisi ini wajar mengingat pemerintah Indonesia tidak mau terjebak pada kontestasi wacana dan kepentingan yang masih sumir, antara pelanggaran HAM di satu sisi, atau separatisme dan radikalisme di sisi lain. Indonesia masih terkesan wait and see.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, pilihan respons tersebut tidak bisa selamanya digunakan. Indonesia bisa mengedepankan model respons yang menempatkan Indonesia sebagai role model merujuk pada berbagai kasus serupa di tanah air. Yang senyatanya terjadi di Xinjiang pada hakikatnya adalah upaya separatisme yang direspons dengan kebijakan represif dan jauh dari pendekatan demokratis yang seyogianya ditempuh oleh pemerintah Tiongkok. Dalam konteks tersebut, Indonesia bisa mengedepankan model perdamaian di Aceh dan Papua dengan menggunakan berbagai instrumen organisasional yang dimiliki seperti keanggotaan di DK PBB dan Badan HAM PBB yang lebih bersifat netral dan mumpuni ketimbang pilihan menggunakan instrumen lain seperti Asean atau OKI yang cakupannya lebih sempit. Inilah pilihan model respons yang tepat karena di satu sisi berkontribusi bagi perdamaian dunia, sedang di sisi lain berpotensi melebarkan pengaruh dan partisipasi di panggung internasional.
ADVERTISEMENT