Konten dari Pengguna

Menakar Kembali Penghormatan Terhadap Keberagaman Tanah Air

Boy Anugerah
Pemerhati Isu-Isu Sosial dan Politik Alumni PPS Kajian Strategik Ketahanan Nasional UI 2014 Direktur Eksekutif Literasi Unggul You may contact me at [email protected]
4 September 2020 10:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Boy Anugerah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pluralisme Indonesia
zoom-in-whitePerbesar
Pluralisme Indonesia
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bhinneka Tunggal Ika, walaupun berbeda-beda namun tetap satu, yakni Indonesia. Demikianlah semboyan bangsa Indonesia sebagai bentuk penyatuan tekad dan komitmen bersama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan. Namun upaya untuk mewujudkan Indonesia yang utuh dan solid bukanlah proses yang mudah. Sejarah menunjukkan bahwa begitu banyak dialektika (baca: perdebatan) yang harus ditempuh oleh para pendiri bangsa pada masa awal kemerdekaan, baik dalam tataran gagasan maupun praktik bernegara, untuk menyatukan Indonesia. Jujur diakui bahwa dialektika tersebut belum sepenuhnya selesai. Masih terdapat residu yang mewujud dalam konflik yang berlangsung hingga hari ini. Hal inilah yang sekiranya bisa menjelaskan mengapa terjadi penguatan politik identitas, konflik horizontal, hingga gerakan budaya yang menyimpang di beberapa wilayah Indonesia akhir-akhir ini.
ADVERTISEMENT
Momen sejarah
Ada beberapa momen penting dalam lintasan sejarah bangsa Indonesia yang perlu ditengok dan dikaji kembali. Pertama, adalah momen penghapusan tujuh kata pada Piagam Jakarta. Tujuh kata yang dianggap hanya representasi satu agama saja akhirnya diganti dengan kata yang lebih mengakomodasi keberagaman, yakni ‘Yang Maha Esa’, demi persatuan dan kesatuan bangsa. Sejatinya kesepakatan para pendiri bangsa tersebut merupakan hal yang final dan mengikat. Hanya saja dalam konteks realisasinya, tidak semua anak bangsa menyepakatinya. Masih terdapat residu pemikiran yang mengindikasikan ketidakpuasan terhadap keberagaman yang ada. Kedua, adalah polemik kebudayaan antara Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dan Sanusi Pane. Masing-masing pihak memaknai kebudayaan Indonesia dari sudut pandang yang berbeda.
STA melihat tidak ada kontinuitas sejarah antara Indonesia baru dengan zaman pra-Indonesia. Sedangkan Sanusi Pane berpandangan sebaliknya bahwa keindonesiaan sudah terbentuk jauh sebelum Indonesia ada, yang mewujud pada kerajaan-kerajaan nusantara terdahulu. Dua diskursus tersebut menjadi penting untuk dikaji kembali. Masih adanya konflik berbasis SARA di masyarakat merupakan bukti bahwa relasi antarkelompok dalam kehidupan sosial belum benar-benar solid. Masyarakat masih mudah dipecah dan diadu satu sama lain. Padahal apabila mereka merujuk kesepakatan para pendiri bangsa dalam merumuskan dasar negara, kondisi sedemikian tidak selaiknya terjadi. Perdebatan mengenai kontinuitas sejarah Indonesia antara STA dan Sanusi Pane menjadi relevan kembali untuk dipelajari mengingat masih ada pihak-pihak yang mengedepankan ego primordial dan euforia sejarah yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan.
ADVERTISEMENT
Kondisi saat ini
Melihat situasi dan kondisi bangsa Indonesia hari ini, tentu saja ada hal-hal baik yang perlu diapresiasi dan hal lainnya yang masih perlu segera dibenahi. Yang baik misalnya terkait perayaan Imlek 2020 yang berlangsung damai dan lancar pada 25 Januari yang lalu. Penetapan Imlek sebagai hari libur nasional melalui Keputusan Presiden No. 19/2002 secara langsung atau tidak telah mengikis sekat antara pribumi dan peranakan, serta menghapus diskriminasi ras dan budaya yang berlangsung puluhan tahun terhadap etnis Tionghoa. Sedangkan hal-hal yang perlu diberikan perhatian adalah menguatnya politik identitas dalam beberapa perhelatan Pemilu terakhir serta kemunculan kelompok-kelompok yang menimbulkan kegaduhan di masyarakat semisal Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire baru-baru ini.
ADVERTISEMENT
Hal-hal yang baik sudah seharusnya dipertahankan, bahkan perlu ditingkatkan. Sikap toleransi, tenggang rasa, dan tepa selira tidak harus dipraktikkan pada hari-hari besar saja, tapi terwujud dalam sikap hidup sehari-hari. Tantangan kebangsaan sekarang ini begitu kompleks. Upaya-upaya untuk merusak persatuan dan kesatuan bangsa tidak lagi melalui cara-cara konvensional seperti kolonialisme dan imperialisme di masa silam, tetapi melalui mekanisme perang asimetris di berbagai dimensi kehidupan, khususnya sosial dan budaya. Oleh sebab itu, upaya untuk menyatukan keberagaman dalam langgam persatuan dan kesatuan perlu dimulai dari hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari, seperti menghormati teman yang sedang melaksanakan ibadah, gotong royong di lingkungan RT/RW, dan masih banyak lagi.
Hal-hal tersebut sekilas terlihat sederhana, tapi apabila dilakukan secara konsisten dan kontinyu, maka akan menjelma sebagai faktor penyokong kohesi sosial yang tangguh di masyarakat. Penguatan politik identitas merupakan suatu hal yang harus benar-benar kita waspadai, terlebih lagi di tahun ini akan digelar Pilkada serentak di 270 daerah pada 23 September 2020. Berbagai macam konflik horizontal dan pembelahan di masyarakat yang terjadi pada Pilpres dan Pilkada dalam beberapa tahun terakhir seyogianya menjadi pembelajaran bagi semua pihak untuk bersama-sama meneguhkan kembali komitmen kebangsaan. Perbedaan pilihan dalam pesta demokrasi merupakan sebuah hal yang wajar. Namun perbedaan tersebut hendaknya diletakkan dalam bingkai persatuan dan kesatuan.
ADVERTISEMENT
Pemaknaan kembali
Terkait hal ini, kita bangsa Indonesia perlu menengok kembali sejarah bagaimana para tokoh bangsa seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir, terkadang kerap berpolemik satu sama lain. Namun polemik gagasan di antara mereka diletakkan dalam lajur kebangsaan yang jelas, sebagai ikhtiar untuk membangun Indonesia. Mereka juga bijak dalam menyikapi permasalahan sehinga tidak terjerembab pada konflik personal atau konflik golongan. Dewasa ini, pola berfikir sedemikian begitu sulit untuk dipraktikkan. Ada jurang pemikiran yang lebar antara generasi terdahulu dengan generasi masa kini. Perbedaan pilihan politik dalam Pemilu misalnya, begitu mudah memancing konflik dan pertikaian di masyarakat. Inilah tantangan yang harus diredam jika kita ingin menyaksikan Pilkada yang damai dan santun pada September nanti.
ADVERTISEMENT
Munculnya kelompok Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire merupakan fenomena yang masih terkait dengan diskursus mengenai keberagaman dan persatuan. Terlepas dari motif finansial untuk mencari uang, atau motif psikologis untuk populer di masyarakat, eksistensi kedua kelompok ini menyiratkan kegelisahan sekelompok masyarakat dalam menjalani perananan sebagai bagian yang utuh dari NKRI. Kekecewaan terhadap belum optimalnya kinerja pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara paripurna sungguh tak elok jika direspons dengan membentuk kelompok yang bersifat eksklusif. Otonomi daerah telah membuka ruang yang lebar bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Mereka tidak lagi berstatus sebagai penonton, tapi telah menjadi subjek sekaligus objek pembangunan. Jika eksistensi kelompok-kelompok ini dibiarkan, maka segregasi bangsa adalah konsekuensi mahal yang harus kita tanggung bersama.
ADVERTISEMENT
Melihat realitas-realitas tersebut, merupakan suatu hal yang penting untuk memaknai kembali Bhinneka Tunggal Ika sebagai komitmen bersama untuk menjembatani segala perbedaan yang ada. Pemaknaan keberagaman dan perbedaan sebagai suatu hal yang memperkaya khazanah budaya bangsa perlu dimulai sejak dalam pikiran, kemudian turun dalam perkataan dan laku sehari-hari manusia Indonesia. Proses internalisasi harus dimulai dalam sikap tindak yang kecil yang dilakukan secara kontinyu sehingga menjadi sebuah budaya yang melekat dalam watak dan karakter bangsa sehari-hari. Pekerjaan ini tentu tidak mudah. Namun jika semuanya dimulai dari kesadaran dan komitmen kuat untuk menyulam persatuan dan kesatuan bangsa, pemaknaan Bhinneka Tunggal Ika tidak hanya sekedar jargon semata, melainkan menjadi etos pikir dan etos laku manusia Indonesia. Indonesia bukan sekedar milik golongan tertentu saja. Indonesia milik kita bersama, kita yang beragam.
ADVERTISEMENT