Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Meneropong Kembali "Tragedi Munir"
Pemerhati Isu-Isu Sosial dan Politik
Alumni PPS Kajian Strategik Ketahanan Nasional UI 2014
Direktur Eksekutif Literasi Unggul
You may contact me at [email protected]
9 September 2020 17:15 WIB
Tulisan dari Boy Anugerah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
KRONOLOGIS & FAKTA HISTORIS
Munir Said Thalib, kelahiran Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965, adalah seorang aktivis HAM Indonesia. Pernah bekerja di Dewan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), serta menjabat sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial. Sebagai aktivis, ia sangat vokal membela para aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dan Kopassus.
ADVERTISEMENT
Beberapa kasus penting yang ditangani Munir di antaranya; kasus Marsinah yang dibunuh militer pada 1994, menjadi penasehat hukum para korban dan keluarga korban penghilangan orang secara paksa, yang mana korbannya adalah 24 mahasiswa dan aktivis politik di Jakarta dalam rentang 1997 dan 1998, penasehat hukum korban dan keluarga korban pembantaian dalam tragedi Tanjung Priok 1984 yang notabene melibatkan pihak militer sebagai pelakunya, penasehat hukum korban dan keluarga korban dalam tragedi Semanggi I (1998) dan Semanggi II (1999), penasehat hukum serta koordinator advokasi kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Aceh dan Papua yang mana kasus-kasus pelanggaran berat di kedua wilayah tersebut merupakan produk kebijakan opresif militer, dan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya. Secara garis besar, kasus-kasus yang ditangani Munir berada pada dua hal, (1) pelanggaran HAM akibat politik kebijakan orde baru, dan (2) pelanggaran HAM akibat operasi militer dengan mengatasnamakan negara.
ADVERTISEMENT
Salah satu langkah berani yang dilakukan oleh Munir adalah memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk membawa para pejabat tinggi militer yang terlibat dalam pelanggaran HAM di Aceh. Papua, dan Timor Leste (dulu Timor Timur) ke pengadilan. Pada September 1999, Munir kemudian ditunjuk sebagai Anggota Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM (KPP-HAM) Timor Timur. Kiprahnya sebagai aktivis HAM ini membuat Munir selalu akrab dengan bahaya. Sebelum wafat, Munir pernah mendapat teror bom yang meledak di pekarangan rumahnya di Jakarta pada Agustus 2003. Sebelumnya, pada 2002, kantornya, Kontras, pernah diserang oleh beberapa orang tak dikenal. Para penyerang menghancurkan perlengkapan kantor dan mengambil secara paksa dokumen yang diselidiki Kontras.
Munir tewas pada 7 September 2004 di pesawat Garuda Indonesia yang membawanya terbang dari Jakarta menuju ke Amsterdam, Belanda. Ia tewas dua jam sebelum pesawat yang membawanya ke Belanda tiba di Bandara Schipol, Amsterdam. Pada 12 November 2004, dikeluarkan kabar bahwa polisi Belanda menemukan jejak-jejak senyawa arsenikum setelah proses otopsi dilakukan. Hal ini juga dikonfirmasi oleh otoritas Indonesia. Munir dimakamkan di Taman Makam Umum, Kota Batu, Malang, Jawa Timur. Tanggal kematiannya, 7 September, dicanangkan oleh para aktivis HAM Indonesia sebagai Hari Pembela HAM Indonesia.
ADVERTISEMENT
PROSES HUKUM KASUS MUNIR
Pada 20 Desember 2005, pilot pesawat Garuda, Pollycarpus Budihari Priyanto, dijatuhi vonis 14 tahun hukuman penjara atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim menyatakan bahwa seorang pilot pesawat Garuda Indonesia yang sedang cuti dan berada satu pesawat dengan Munir, menaruh arsenik dalam makanan Munir karena hendak membungkan vokalitas dan kritisisme aktivis HAM tersebut dalam isu-isu yang ditanganinya. Pollycarpus diduga hanya menjadi proksi atau kepanjangan tangan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Temuan yang didapatkan oleh penyelidik dan penyidik adalah sebelum pembunuhan, Pollycarpus menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon yang terdaftar atas nama agen intelijen senior, tetapi tidak dijelaskan secara lanjut dan mendetil mengenai siapa, apa, dan bagaimananya pada saat Pollycarpus diadili.
ADVERTISEMENT
Pada 19 Juni 2008, Mayjen TNI (Purn) Muchdi Purwoprandjono, ditangkap dengan dugaan kuat bahwa dia adalah otak (mastermind) pembunuhan Munir. Motif yang disangkakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) adalah dendam dikaitkan kepada kasus penculikan aktivis 1997-1998 yang dilakukan oleh Tim Mawar Kopassus, di mana Muchdi Purwoprandjono bertugas dan terlibat di dalamnya. Jabatan terakhir Muchdi Purwoprandjono adalah sebagai sebagai seorang perwira tinggi militer yang bertugas sebagai Deputi V BIN Bidang Penggalangan (2001-2005). Pada 31 Desember 2008, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Muchdi Purwoprandjono bebas murni dari segala dakwaan. Putusan ini cukup kontroversial dan sempat beberapa kali mengalami tinjau ulang ke Mahkamah Agung. Namun demikian, Mahkamah Agung memperkuat putusan yang telah diambil oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
ADVERTISEMENT
MERANCANG KEMBALI PENYELESAIAN PELANGGARAN HAM MASA LALU
Impunitas hukum terhadap pelaku pelanggaran HAM yang mengatasnamakan negara masih menjadi penghalang serius bagi terpenuhinya hak atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Deret impunitas hukum tersebut membentang panjang dalam berbagai kasus seperti Tragedi Wamena 2003, Kasus Wasior 2001, termasuk di dalamnya kasus pembunuhan Munir Said Thalib pada 2004.
Pansus DPR RI tentang Penghilangan Orang Secara Paksa telah mengeluarkan rekomendasi kepada Presiden SBY pada 28 September 2009, yang mana rekomendasi ini DITOLAK. Rekomendasi tersebut antara lain;
1. Meminta pemerintah untuk membentuk Pengadilan HAM Ad-Hoc;
2. Meminta presiden dan institusi terkait untuk mencari 13 orang yang dinyatakan hilang oleh Komnas HAM;
ADVERTISEMENT
3. Merekomandasikan kepada pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi terhadap keluarga korban yang hilang;
4. Merekomendasikan agar pemerintah segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai wujud komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia.
Belum diselesaikannya secara tuntas kasus Munir ini serupa dengan kasus pembantaian WNI yang diduga terafiliasi dengan PKI dan G/30S - PKI pada periode 1960-an. Ketidaktuntasan kasus-kasus tersebut lebih disebabkan karena aktor atau pelakunya adalan institusi negara, dalam hal ini TNI dan BIN yang bertindak sebagai “alat kekuasaan pemerintah yang berkuasa pada waktu itu”. Pemerintah Indonesia bisa saja meredam riak di level domestik, akan tetapi hal ini menjadi sorotan dunia internasional, terlebih lagi saat ini Indonesia menyandang status sebagai anggota Dewan HAM PBB.
LANGKAH KONKRET SAAT INI: SEBUAH USULAN
ADVERTISEMENT
1. Seluruh mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu sesungguhnya amat jelas dan terang karena diatur di dalam UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
2. Langkah pertama dapat diterapkan selama ada kemauan politik dari presiden sebagai pejabat politik tertinggi di negara Indonesia. Terlebih lagi presiden saat ini berasal dari kalangan sipil yang tidak terikat jiwa korsa militer seperti pejabat presiden sebelumnya.
3. Membentuk kembali Pansus di DPR RI, mengkaji ulang rekomendasi Pansus DPR RI sebelumnya pada 2009, dan bila kredibel dan relevan, merekomendasikan kembali kepada pemerintah untuk menjalankan rekomendasi tersebut.
Live Update