Konten dari Pengguna

Rehat & Hijau

Boy Anugerah
Pemerhati Isu-Isu Sosial dan Politik Alumni PPS Kajian Strategik Ketahanan Nasional UI 2014 Direktur Eksekutif Literasi Unggul You may contact me at [email protected]
4 September 2020 11:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Boy Anugerah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bumi Hijau
zoom-in-whitePerbesar
Bumi Hijau
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Corona, tentu saja bukan nama kendaraan roda empat buatan Toyota pada dekade 1950-an. Nama ini merujuk pada sejenis makhluk berjenis virus dengan ukuran plus minus 125 nanometer atau 0,125 mikrometer. Saat ini, Corona telah menjelma menjadi monster paling menakutkan di seantero bumi. Ia menerjang tanpa pandang bulu; negara besar atau negara kecil, komunis atau kapitalis, laki-laki atau perempuan, semua kolaps ketika sudah terpapar. Di Indonesia sendiri, Corona seperti menelanjangi konfidensi pemerintah. Pemerintah dibuat gagap, rakyat panik, dan korban terus berjatuhan. Di tengah kebingungan mencari solusi komprehensif, work from home atau WFH jadi pilihan sementara untuk meminimasi risiko. Akibatnya, jalanan menjadi lengang, kebisingan lamat-lamat pudar, masyarakat berkhidmat di rumahnya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Realita dunia selalu memiliki dua sisi. Ketika keramaian, kebisingan, polusi, dan segala pernak-perniknya perlahan tapi pasti menyingkir, ada potret-potret lain yang tetiba bisa kita saksikan. Udara kota yang biasanya sangat beracun untuk dihirup bergerak menuju ambang batas normal untuk makhluk hidup. Kemacetan yang ditimbulkan oleh kendaraan roda dua dan empat di jalanan yang tanpa disadari atau tidak menggerus kualitas hidup masyarakat urban, seakan mundur teratur menuju lengang. Pusat perbelanjaan yang jamaknya ramai memuaskan syahwat konsumerisme kaum berduit ‘dipaksa’ untuk puasa dalam batas waktu yang tak ditentukan. Anak-anak yang biasanya harus makan dari suapan asisten rumah tangga akhirnya benar-benar merasakan kasih sayang ibu setelah orang tuanya ‘dirumahkan’ sementara oleh perusahaan. Haruskan kita berterima kasih dengan virus Corona untuk realita yang sudah sekian lama kita semua rindukan?
ADVERTISEMENT
Jika kita mau sedikit jujur, mungkin saja bumi sudah muak dengan perlombaan senjata diam-diam antara Amerika Serikat dan Rusia. Bumi semakin gusar oleh sikap Tiongkok yang terus-menerus melakukan agresi di Laut Tiongkok Selatan dan Utara dengan genit. Bumi seakan hendak menumpahkan kekesalannya pada negara-negara ‘Utara’ yang dengan hipokrit menciptakan kretinisme sistematis di negara-negara ‘Selatan’, dengan kedok bantuan ekonomi. Bumi menghardik para ilmuwan yang lacur memonetisasi karya-karyanya demi segepok uang. Bumi hendak menegur perilaku culas para elit politik dan pemerintahan yang mencuri suara rakyat pada Pemilu dan membuat mereka ‘bisu’ ketika menuntut hak-haknya akan hidup yang sejahtera. Bumi hendak menampar kecongkakan manusia bahwa pada akhirnya kita semua akan kembali pada senyap, sendiri dan sunyi jika sudah tiba saatnya nanti.
ADVERTISEMENT
Kalaulah boleh sedikit beranalogi, Corona serupa musim semi yang melumpuhkan para diktator negara-negara Timur Tengah hingga terjungkal dari kekuasaannya. Seorang ilmuwan politik dan pakar Timur Tengah, Gregory Gause, pernah berujar bahwa tak ada seorang sarjanapun yang sebelumnya memprediksi bahwa akan terjadi revolusi besar-besaran di Timur Tengah. Perubahan menjelma menjadi ‘pasukan tersembunyi’ yang mengoyak-ngoyak praktik-praktik diktatorisme, monarki yang membebat kebebasan sipil dan politik, pelanggaran hak asasi manusia, serta korupsi politik para elit. Siapa yang pernah mengira bahwa musim semi Arab mampu menjungkalkan Kolonel Muammar Mohammed Abu Minyar al-Khadafi yang berkuasa selama empat dekade lamanya di Libya? Demikian juga halnya dengan Corona. Ia hadir bak pembunuh bayaran, cepat, liat, dan gesit, menikam sebuah negara besar di Asia Tenggara yang mengaku kebal Corona karena beriklim tropis.
ADVERTISEMENT
Corona mengajak kita semua untuk sejenak rehat dari semua rutinitas dan kebisingan, menyepi dan bermuhasabah diri atas semua pikir dan perilaku yang diperbuat selama ini. Ada ruang waktu yang tak kosong yang dihadirkan rehat agar semua anak manusia berkontemplasi mengenai etik dalam hidup. Ruang waktu yang tak pasti, linier dengan ketiadaan manusia dalam memprediksi kapan wabah Corona akan segera berakhir. Rehat yang dihadirkan Corona, mengajak semua insan untuk menengok kembali pada sifat altruis yang telah sekian lama dipinggirkan oleh egoisme pribadi, terjebak pada sekat-sekat primordial. Corona mendedahkan sebuah rehat yang mengajak semua anak manusia tanpa memandang kelas sosial untuk menyadari bahwa alampun bisa berbicara dengan bahasanya. Corona menelurkan sebuah rehat yang mengajak kita semua tanpa kecuali untuk berpasrah dan bersujud kepada-Nya. Rehat, itulah kata yang bisa kita ucap di rumah masing-masing sambil menunggu dengan cemas kapan badai Covid-19 berakhir.
ADVERTISEMENT