Penanganan pengungsi Rohingya di Indonesia ala Angela Merkel

PPI Dunia
PPI Dunia adalah wadah organisasi yang menaungi seluruh pelajar Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di luar negeri.
Konten dari Pengguna
27 Januari 2024 17:24 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari PPI Dunia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilham Catur Fhata, Mahasiswa Pasca Sarjana di Ovidius University of Constanta dan Eramus+ di Kassel University-Germany.
zoom-in-whitePerbesar
Ilham Catur Fhata, Mahasiswa Pasca Sarjana di Ovidius University of Constanta dan Eramus+ di Kassel University-Germany.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
1. Gelombang pengungsi Rohingya
Indonesia tepatnya provinsi Aceh saat ini sedang mengalami gelombang pengungsi Rohingya dalam beberapa tahun belakangan, bermula dari tahun 2009 di Sabang, kemudian pada tahun 2015-2018 di Kota Langsa yang merupakan tempat saya lahir, dan membesar dikota tersebut mengetahui bagimana situasi kondisi pada saat itu yang sangat kondusif dan kolaboratif dari berbagai macam elemen masyarakat. Lantas pada tahun 2023 ini kita dibenturkan oleh berbagaimacam media dan sumber informasi yang aktual tapi belum tentu faktual. Dalam hal ini saya tidak mencoba untuk meluruskan atau mengkritik berbagaimacam media yang memberikan tulisan baik itu berupa opini, dan laporan berita yang kiranya tidak memberikan informasi akurat. Tulisan ini saya persembahkan untuk memantik dan menjadikan referensi lebih lanjut untuk mengangani para pengungsi ataupun para pencari suaka dibeberapa Negara, baik itu yang meratifikasi konvensi 1951 dan protokol 1967, maupun yang tidak.
ADVERTISEMENT
2. Norma yang berlaku untuk Indonesia
Negara kita tidak meratifikasi konvensi 1951 dan protokol 1967 dikarenakan Undang-Undang (UU) tersebut sudah tidak aktual atau bersifat stagnansi dikarenakan zaman yang berbeda pada masa itu setelah perang dunia (PD) ke II. Seiring berkembangnya zaman norma-norma atau UU terus diperbaharui, salah satunya Indonesia mengadopsi perpres No. 125 Tahun 2016 yang jika ditarik kesimpulannya dapat menerima pengungsi dengan beberapa alasan seperti bunyi pada Bab 1 pasal 1 point ke 4 dan 6. Kita coba berbicara perihal pengungsi berdasarkan perspektif agama, khususnya bagi umat muslim berlandaskan Al-qur’an pada Q.S Al-Maidah, ayat kedua perihal tolong menolong, yang mana juga berkaitan dengan Angela Merkel yang berupa anak pendeta, sehingga beberapa hal terkait juga menjadi indikator mengapa Merekel berani mengambil kebijakan yang banyak di tentang dari berbagai macam kalangan baik itu internal maupun eksternal.
ADVERTISEMENT
3. Biografi dan relevansi pengungsi dengan kehidupan pribadi Angela Merkel
Merkel merupakan seorang politisi Jerman terkenal yang menjabat sebagai Kanselir perempuan pertama Jerman dari tahun 2005 hingga 2021. Sebagai kepala pemerintahan Jerman, bukan Uni Eropa, Merkel memainkan peran penting dalam politik Eropa dan sering dianggap sebagai pemimpin utama di Uni Eropa selama jabatan tersebut. Angela Merkel bercanda menyebut dirinya sebagai orang dengan latar belakang migrasi karena dia lahir di Barat, bersosialisasi di Timur. Dari era runtuhnya Tembok, politisi Federal Republic of Germany (FRG) telah salah menafsirkan "integrasi yang gagal" antara penduduk asing sebagai masalah orang asing.
Penyatuan menunjukkan bahwa FRG tidak tunduk pada kewarganegaraan yang berakar pada jus sanguinis (hak darah). Ini bertentangan dengan banyak kebutuhan masyarakat negara. Ketersediaan tenaga kerja berkualitas tinggi memengaruhi daya saing ekonomi dan solvabilitas sistem pensiun. Selama beberapa dekade, kaum republikan federal tidak memiliki identitas yang kuat; akibatnya, marginalisasi ekonomi dan intoleransi sosial terhadap orang asing adalah hasilnya. Seperti yang ditunjukkan sebelumnya, Merkel telah mengambil alih proses UE dengan cepat, memberinya kekuatan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap pembingkaian kebijakan di tingkat nasional dan supranasional. Dia dapat mempromosikan pemahaman baru tentang apa artinya menjadi orang Jerman di era globalisasi yang cepat berkat kombinasi pengalamannya sebagai orang Timur, politisi, perempuan, fisikawan, dan bahkan putri pendeta. Merkel telah mengadopsi pendekatan integrasi holistik. Sama pentingnya, sikap kanselir terhadap krisis pengungsi menunjukkan seberapa kuat dia merangkul Uni Eropa sebagai komunitas nilai, sampai tingkat yang tidak terlihat dalam tanggapan krisis sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi Dodo juga memiliki peran sentris dalam memengaruhi kebijkan politik nasional maupun supranasional dalam hal ini the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) maupun the United Nations High Comisioner for Refugees (UNHCR). Indonesia yang mana merupakan pelopor Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN yang menjelma menjadi organisasi yang sangat diperhitungkan Dunia dari berbagai aspek, seperti politik dan ekonomi. Peran Indonesia pada UNHCR juga diperhitungkan dikarenakan bebegaimacam upaya mereka agara Indonesia mengaksesi konvensi 1951, meskipun sudah terbitnya Perpres ini akan membuat Pemerintah Indonesia dan UNHCR bekerja lebih erat, termasuk dibidang registrasi gabungan untuk pencari suaka dalam hal ini akan memasuki sistem integrasi yang mana nantinya akan kita bahas bagaimana integrasi yang diterapkan di Jerman maupun Uni-Eropa (UE).
ADVERTISEMENT
4. Memanfaatkan Eropa dan Keberagaman
Pertama-tama, kita harus mempertimbangkan perubahan penting yang terjadi di Uni Eropa, yang berdampak pada penyusunan kebijakan di kedua tingkat. Dengan menetapkan standar minimum untuk penerimaan pencari suaka, memberikan perlindungan jaminan sosial yang sama kepada warga negara ketiga, menetapkan aturan umum untuk penerimaan siswa, dan mengakui kompetensi warga negara non-EU yang berhak atas perlindungan internasional. Program Den Haag (2004), Prinsip Dasar Umum untuk Kebijakan Integrasi Imigran (2005), Agenda Bersama untuk Integrasi Warga Negara Ketiga (2005), dan Rencana Kebijakan Komisi tentang Migrasi Legal (2005) menjelaskan dasar-dasar tersebut. Dalam perjanjian Amsterdam dan Lisbon, perlindungan yang sama diberikan kepada semua warga negara (Directive 2000 / 43 / EC dan Framework Directive 2000/78 / EC). Pemanfaatan “KTT” terkait migrasi untuk menumbuhkan pemangku kepentingan baru dalam Rencana Integrasi Nasional yang diusungnya, menciptakan landasan bagi inklusi pemuda dan toleransi etno-agama dan merefleksi tentang interseksionalitas, baik dalam kaitannya dengan keterlibatan pribadi Merkel dengan topik ini dan karena berkaitan dengan masa depan Jerman sebagai "tanah integrasi.” Kerangka kerja dinamis muncul dari KTT Integrasi Pemuda Migran pertama, yang diselenggarakan oleh Kantor Kanselir Federal pada Mei 2007. Delapan puluh pemuda, bersama dengan media dan perwakilan asosiasi etnis, membahas proposal konkret dalam lokakarya yang berfokus pada bahasa, pendidikan, integrasi lokal, dan keragaman budaya di bawah pertanyaan utama: Bagaimana seharusnya masyarakat kita terlihat pada tahun 2030?
ADVERTISEMENT
- Mereka mempresentasikan kesimpulan mereka langsung kepada kanselir, yang menyambut mereka kembali pada Mei 2008.
- KTT Integrasi Kedua menarik 367 peserta untuk pelatihan bahasa, integrasi pasar tenaga kerja, dan peluang kerja perempuan
- KTT Integrasi ketiga bertujuan untuk “binding/mengikat”
- KTT Integrasi keempat, menarik 120 perwakilan, berbasis dengan “dialogue fora” berpusat pada pengakuan kualifikasi pekerjaan asing, perekrutan pegawai negeri sipil untuk pemuda etnis, dan penyediaan layanan kesehatan antarbudaya.
- KTT terakhir “budaya penyambutan dan pengakuan yang tulus."
Pada KTT Integrasi 2014, seorang peserta muda yang berani mengajukan pertanyaan, "Kapan integrasi akan tercapai?" Merkel menjawab: "Ketika banyak anak muda dengan latar belakang migrasi yang telah menyelesaikan sekolah, dapat mengambil tempat di universitas, dan menerima gelar pelatihan teknis yang sama dengan mereka yang telah tinggal di Jerman selama bertahun-tahun. Maka kita akan selesai."
ADVERTISEMENT
5. We can do this (kita bisa melakukannya)
Berbagai macam penolakkan dan bencana yang di hadapi Jerman maupun global. Tahun-tahun Kohl, 1991–1993, ditandai dengan gelombang serangan xenofobia yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang bersamaan dengan masuknya ribuan pengungsi. Meskipun bukan penyebab kekerasan ultra-nasionalis, unifikasi menjadi katalisator permusuhan anti-asing. Mulai dari penyerangan geng di kereta bawah tanah hingga pengeboman di tempat suaka sementara. Krisis keuangan global, Musim Semi Arab memburuk, dan perang etno-agama telah memicu gelombang baru pengungsi di seluruh Eropa sejak 2009. Mencapai 435.450 pada tahun 2013 dan memuncak lagi pada 625.000 pada tahun 2014. Pada musim semi 2015, UE merevisi beberapa komponen Common European Asylum System (CEAS) untuk memastikan bahwa pendatang baru akan "diperlakukan sama dalam sebuah sistem terbuka dan adil - di mana pun mereka berlaku": ini termasuk. Petunjuk Prosedur Suaka, Petunjuk Kondisi Penerimaan, Petunjuk Kualifikasi, Peraturan Dublin dan peraturan Eurodac. Merkel telah berbicara menentang pidato kebencian dan protes anti-migrasi, bahkan setelah disebut "seorang pelacur dan pengkhianat" ketika ia mengunjungi sebuah fasilitas pengungsi di Heidenau, Saxony, sebelum keputusannya yang dramatis untuk membuka perbatasan. Lalu dia mengatakan "Jika kita sekarang harus mulai memaafkan diri kita sendiri karena menunjukkan wajah ramah dalam situasi darurat," katanya, "maka ini bukan lagi negara saya." Begitulah pendirian dan keberanian sosok Angela Merkel yang mungkin dapat menjadi contoh bagi pemangku kepentingan yang ada di Indonesia dalam menangani pengungsi.
ADVERTISEMENT