Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Membangun Daya Kritis Birokrat dengan Library Café: Mungkinkah?
31 Juli 2019 8:54 WIB
Tulisan dari Birokrat Menulis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ditulis Oleh: Nur Ana Sejati
(executive editor di birokratmenulis.org)
ADVERTISEMENT
---
Lima tahun terakhir ini kedai kopi begitu marak di Indonesia. Kedai kopi tak hanya menawarkan kopi, tapi juga suasana yang nyaman untuk berbincang. Bagi banyak mahasiswa, kedai kopi merupakan tempat yang tepat untuk menyelesaikan tugas.
Selain menyediakan snack dan kopi, kedai kopi juga memfasilitasi pengunjung dengan free wifi yang memungkinkan mereka untuk berkelana di dunia maya sepuasnya. Kedai kopi sangat mudah ditemui di sudut-sudut kota. Tak hanya itu, kedai kopi juga mulai merambah instansi pemerintah.
Sementara di sisi lain, perpustakaan selama ini masih sering diidentikkan dengan tempat yang sunyi, serius, dan suram. Bahkan, dalam banyak hal, perpustakaan instansi pemerintah sering menjadi tempat terindah kala rasa kantuk menerpa. Image yang teramat buruk, bukan?
ADVERTISEMENT
Tulisan berikut memberikan gambaran bagaimana kedai kopi tidak hanya berfungsi sebagai tempat untuk menikmati secangkir kopi, tapi menjadi strategi untuk mengakumulasikan pengetahuan, melesatkan potensi, membangun daya kritis, dan mendorong komunikasi yang egaliter di lingkungan instansi pemerintah. Begitu juga dengan perpustakaan, yang tidak lagi diperuntukkan sebagai lokasi melepas lelah dan kantuk di kesunyian.
Dengan mengambil contoh Library Café BPKP sebagai pengantar, tulisan ini juga akan memaparkan bagaimana akar sejarah serta kontribusi kedai kopi dan perpustakaan dalam membangun peradaban di masyarakat.
Library Café BPKP
Jum’at 25 Januari 2019, menjadi catatan bagi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang me-launching kedai kopinya pada hari itu. Kedai kopi BPKP bukan sekedar kedai kopi biasa, bukan sekedar kedai yang menyuguhkan kopi dari segala penjuru Indonesia, dan bukan hanya menawarkan suasana yang nyaman dan santai. Library Café BPKP menggabungkan konsep library dengan café.
ADVERTISEMENT
Pada prinsipnya Library Café BPKP merupakan upaya untuk merevitalisasi fungsi perpustakaan. Di sini, perpustakaan didesain dengan menggunakan konsep kafe, yang menawarkan kenyamanan dan kegiatan-kegiatan yang menarik, tanpa mengabaikan tujuannya untuk menumbuhkembangkan pengetahuan.
Library Café BPKP dirancang tak hanya sebagai arena baca, tapi juga sebagai salah satu strategi untuk mengakumulasikan ilmu pengetahuan yang dimiliki masing-masing pegawai dan mendorong mereka untuk saling berbagi pengetahuan (sharing knowledge), yang pada akhirnya turut berkontribusi dalam peningkatan kapabilitas pegawai. Tak hanya itu, Library Café BPKP juga bertujuan untuk melesatkan potensi dan talenta, serta mengikis sekat-sekat jabatan yang sering menjadi penghambat komunikasi.
Sejarah Kedai Kopi
Tradisi kedai kopi ternyata dapat ditelusur dalam sejarah, tepatnya dengan berdirinya English coffeehouse atau kedai kopi di Inggris pada abad ke-18. Dalam artikelnya yang berjudul Coffee-House Libraries in Mid-Eighteenth Century London, Markman Ellis menyatakan bahwa kedai kopi merupakan salah satu ciri khas London pada abad ke-18.
ADVERTISEMENT
Peran kedai kopi di London pada masa itu adalah sebagai salah satu institusi sosial yang memungkinkan masyarakat umum untuk saling bertemu, berbincang, berdiskusi, berdebat, atau sekedar membaca berita. Tak hanya, itu karena sifatnya yang lebih terbuka dan tidak dibatasi aturan, obrolan apapun dapat dinikmati di sini, termasuk gosip dan skandal politik.
Yang pasti, kedai kopi ini mengedepankan aspek egalitarian, di mana setiap orang memiliki hak yang sama untuk berpendapat, tak dibatasi oleh status sosial. Harga kopi yang terjangkau membuat masyarakat dari berbagai kalangan berkumpul bersama membincangkan banyak hal.
Kedai kopi ini juga dapat dikaitkan dengan budaya intelektual masyarakat kala itu. Masih menurut Ellis, kedai kopi juga memiliki peran dalam bisnis perbukuan. Pelelangan buku merupakan hal umum di akhir abad ke-17, hingga berlanjut pada akhir abad ke-18. Dalam rentang waktu antara tahun 1.676 hingga 1.800, telah diperjualbelikan 7.000 buku.
ADVERTISEMENT
The Library of Alexandria
Jauh sebelum kedai kopi menjadi tren pada abad ke-17 di Inggris, sekitar 250 tahun sebelum masehi (SM), berdiri Perpustakaan Iskandariah atau The Library of Alexandria di Mesir. Perpustakaan Iskandariah dibangun oleh penerus Alexander the Great, Ptolomy I Soter, yang merupakan salah satu jenderal, sahabat kecil, sekaligus juga saudara tiri Alexander.
Perpustakaan tersebut sesungguhnya bukan sekedar perpustakaan biasa, tapi sebuah research center atau pusat penelitian besar yang menarik minat para ilmuwan dari seluruh penjuru dunia untuk datang. Dalam film dokumenter yang berjudul The Library of Alexandria disebutkan bahwa Perpustakaan Iskandariah merupakan pusat pembelajaran paling penting pada masa sejarah kuno, atau bahkan terpenting dalam sejarah intelektual manusia.
ADVERTISEMENT
Dalam artikel yang berjudul Culture and Power in Ptolomaic Egypt: The Museum and Library of Alexandria, Andrew Erskine menggambarkan aktivitas para ilmuwan di masa itu. Mereka tak hanya mempelajari dunia kedokteran, matematika, dan astronomi, tapi juga kesusasteraan. Aktivitas belajar sekaligus mengajar mewarnai aktivitas mereka sehari-hari.
Mengapa perpustakaan dipandang begitu penting untuk didirikan? Jauh sebelum Alexander menakhlukkan Mesir, Athena menjadi pusat intelektual Yunani Kuno, di mana wacana dan debat menjadi tradisi yang sangat dihargai pada masa itu. Tradisi semacam itu telah melahirkan filosof-filosof seperti Socrates, Plato, dan Atistoteles yang meletakkan landasan pemikiran-pemikiran modern.
Upaya Melestarikan Ilmu Pengetahuan
Sejarah menunjukkan bahwa perpustakaan memiliki peran yang besar dalam mengakumulasikan, memproduksi pengetahuan, dan membangun masyarakat yang egaliter. Kala itu, perpustakaan menjadi tempat berkumpul, berdiskusi, dan berdebat tentang banyak hal.
ADVERTISEMENT
Karya-karya pemikir seperti Euclid, Archimedes, Eratosthenes, Herophilus, Erasistratus, Hipparchus, Aedesia, Pappus, Theon, Hypatia, and Aristarchus of Samos lahir di Perpustakaan Iskandariah, Mesir.
Baitul Hikmah atau The House of Wisdom di Baghdad juga telah menjadi pusat ilmu pengetahuan yang telah menjadi magnet dan menarik ilmuwan dari seluruh penjuru dunia untuk datang. Di sana Ibnu Sina, Ibnu Rusd, Al Kindi dan lainnya telah menghasilkan karya besar yang masih relevan dan menjadi landasan perkembangan ilmu pengetahuan di masa selanjutnya.
Begitu strategisnya peran perpustakaan dalam membangun peradaban, sepertinya disadari oleh pemerintah di banyak negara maju. Lihat saja, negara-negara tersebut bersedia mengeluarkan dana yang cukup besar untuk membangun perpustakaan yang tak hanya megah dengan bangunan-bangunan artistiknya, tapi juga begitu giat mengumpulkan buku maupun benda-benda bersejarah yang bernilai tinggi.
ADVERTISEMENT
University of Birmingham, misalnya, memiliki begitu banyak koleksi buku-buku langka, manuskrip kuno, dan berbagai artefak. Dalam website universitas disebutkan bahwa mereka memiliki lebih dari 3.000 manuskrip kuno Middle Eastern dalam lebih dari dua puluh bahasa, termasuk lembaran-lembaran Qur’an asli yang dikumpulkan oleh Alphonse Mingana.
Di sisi lain, sejarah kedai kopi juga menunjukkan bagaimana perannya dalam membangun masyarakat egaliter tanpa dibatasi oleh status sosial. Kedai kopi saat itu mampu menjadi perekat yang memungkinkan interaksi yang cair antar anggota masyarakat. Tradisi berdiskusi dan berdebat tentu juga menjadi arena untuk membangun pemikiran kritis masyarakat.
Epilog
Library Café sebagai salah satu upaya untuk merevitalisasi perpustakaan sepertinya dapat menjadi jawaban atas tantangan birokrasi di negara kita. Dalam pemerintahan, birokrat cenderung tenggelam dalam rutinitas yang menghabiskan seluruh waktunya untuk bekerja.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kebutuhan untuk meningkatkan pengetahuan serta mengasah daya pikir seolah terabaikan. Hasilnya, birokrat pun seringkali kehilangan arah ke mana harus menentukan langkah.
Sebagaimana tradisi yang berkembang dalam sejarah perpustakaan maupun kedai kopi, Library Café merupakan perpustakaan yang didesain dengan menyuguhkan suasana kafe tak hanya dapat menumbuhsuburkan pengetahuan, tapi juga membangun kohesivitas baik antar pegawai maupun dengan atasan mereka.
Tradisi berbagi pengetahuan dalam suasana yang cair tentu juga dapat menumbuhkan jiwa egalitarian para birokrat. Library Café juga dapat menjadi tempat lahirnya birokrat kritis yang sadar akan potensinya untuk melakukan perubahan di negeri ini.
Tumbuhnya iklim diskusi, berdebat, dan berbagi pengetahuan juga dapat memunculkan pergerakan birokrat yang dapat mengimbangi kekuatan-kekuatan lain yang dapat mengintervensi kinerja mereka.
ADVERTISEMENT
----
Anda dapat membaca artikel menarik lainnya di laman birokratmenulis.org