Konten dari Pengguna

Cegah Ketentuan Pidana Ringan di RUU Perkoperasian

Dr Bitra Suyatno, SE, MM
Bitra Suyatno adalah Analis Kebijakan dengan spesialisasi jasa keuangan. Memperoleh gelar S1 dari Universitas Islam Indonesia tahun 1997, S2 dari the Australian National University tahun 2006 dan S3 dari Victoria University tahun 2018.
10 Februari 2023 15:47 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dr Bitra Suyatno, SE, MM tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi koperasi Foto: Antara
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi koperasi Foto: Antara
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini publik kembali dikejutkan dengan putusan hakim Mahkamah Agung (MA) yang membebaskan Henry Surya (HS) dari jeratan pidana pada kasus Koperasi Simpan Pinjam Indosurya Cipta (KSP Indosurya). Lebih lanjut, MA menilai kasus tersebut adalah masalah perdata bukan pidana. Banyak kalangan menilai putusan MA tersebut menciderai rasa keadilan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Bahkan menurut Menkopolhukam, dakwaan untuk HS sebetulnya sudah jelas yaitu pelanggaran UU perbankan pasal 46 menghimpun dana dari masyarakat padahal KSP Indosurya Cipta bukan bank. Hal ini mengingat sekitar 23 ribu nasabah KSP Indosurya yang menggugat KSP Indosurya bukan merupakan anggota koperasi tersebut.
Selanjutnya Menkopolhukam menyatakan ke depan pemerintah akan mengajukan revisi Undang-undang Perkoperasian. Revisi UU Perkoperasian tersebut dilakukan antara lain memberikan kewenangan kepada Kementerian Koperasi dan UKM untuk melakukan pengawasan terhadap KSP dan mengatur ketentuan pidana bagi KSP yang melanggar. Hal ini merupakan upaya pemerintah untuk menangkal penipuan berkedok koperasi.
Tulisan ini tidak bermaksud mengupas putusan MK yang membebaskan HS atas dakwaan pidana yang dinilai kontroversial oleh beberapa pihak tersebut. Namun tulisan ini lebih menekankan pada apakah RUU Perkoperasian merupakan jawaban atas permasalahan yang ada dari sisi pengaturan ketentuan pidananya dilihat dari sisi peraturan perundangan yang lain.
ADVERTISEMENT
Sebelum melangkah lebih jauh, keberpihakan pemerintah sebagaimana disampaikan Menkopolhukam tersebut di atas sangat layak diapresiasi dan didukung bersama karena Pemerintah menunjukkan kepedulian yang sangat tinggi untuk melindungi masyarakat dari berbagai bentuk penipuan berkedok koperasi.

Ketentuan Pidana RUU Perkoperasian Berpotensi Tidak Efektif

Namun demikian, kita perlu cermati apakah masih terdapat loopholes dari RUU Perkoperasian terutama dari sisi arbitrase peraturan di ketentuan pidananya? Dikutip dari berbagai sumber, kami menyoroti Pasal 169 dan Pasal 170 draft beleid tersebut yang berpotensi tidak efektif karena ancaman hukumannya masih sangat ringan.
Pada prinsipnya draft Pasal 169 dan Pasal 170 memberikan ancaman pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar rupiah bagi pengurus KSP atau KSPS yang menghimpun dana dalam bentuk simpanan yang tidak berasal dari Anggotanya dan/atau memberikan pinjaman tidak kepada Anggotanya, Koperasi Sekundernya, dan/atau Koperasi lain.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana disampaikan Jaksa Agung (2020), hukuman atas suatu kejahatan haruslah dapat memberikan efek jera bagi pelakunya. Penting pula menggabungkan pendekatan pidana dengan pendekatan ekonomi karena pelaku white collar crime memiliki kalkulasi yang tinggi ketika akan melakukan kejahatan.
Para pelaku kejahatan ekonomi telah memperhitungkan antara cost and benefit ketika akan melakukan kejahatan. Ancaman hukuman pidana selama maksimal tiga tahun dan denda maksimal Rp1 miliar menurut kami tidak akan efektif mencegah atau memberikan efek jera bagi para oknum KSP yang melarikan uang masyarakat. Apalagi ancaman hukuman penjaranya “hanya” di bawah lima tahun. Sudah menjadi rahasia umum bahwa penjara terkadang menjadi ‘sekolah’ bagi para terpidana. Bukannya memiliki efek jera malahan ‘lulusannya’ semakin canggih melakukan kejahatan.
ADVERTISEMENT
Jika dibandingkan kerugian masyarakat akibat KSP bermasalah, maka ancaman hukuman penjara dan denda tersebut menjadi tidak sepadan. Menurut Menkop UKM tercatat 8 KSP nakal telah merugikan anggota dan/atau masyarakat hingga sekitar Rp 26 triliun. Jika dirata-rata satu KSP dapat merugikan masyarakat lebih dari Rp 3 triliun. Tentu saja dengan hasil penghimpunan dana masyarakat yang sangat besar untuk “dinikmati” oknum-oknum KSP tersebut atau diproses melalui pencucian uang maka ancaman pidana penjara maksimal 3 tahun dan denda maksimal Rp1 miliar menjadi tidak ada artinya.

Regulatory Arbitrage Ketentuan Pidana UU PPSK vs Ketentuan Pidana RUU P2SK

Selain itu, ditinjau dari beratnya ancaman sanksi penjara dan hukuman denda, draft Pasal 169 dan Pasal 170 RUU Perkoperasian tersebut berpotensi menimbulkan arbitrase peraturan dengan Pasal 46 Undang-undang No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) yang baru saja disahkan oleh Presiden pada tanggal 12 Januari 2023.
ADVERTISEMENT
Dalam Ketentuan Pidana UU PPSK disebutkan bahwa Setiap Orang yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk Simpanan tanpa izin usaha dari OJK dipidana dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama lima belas tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50 miliar dan paling banyak Rp 600 miliar. Dengan frasa “Setiap Orang” tersebut telah mengikat bahkan sampai level individu perorangan. Jika di RUU Perkoperasian hal ini dilonggarkan untuk KSP maka jelas melemahkan frasa "Setiap Orang" di UU PPSK tersebut.
Bahkan UU PPSK mengatur ganti rugi kepada pihak yang dirugikan jika kejahatan atau pelanggaran oleh pelaku baik individu ataupun lembaga keuangan telah mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang. Penggantian kerugian tersebut tidak dimaksudkan mengganti ancaman pidana denda tetapi merupakan pidana tambahan. Bahkan ketika pelaku pelanggaran di sektor jasa keuangan tersebut tidak dapat mengganti kerugian atau penggantian kerugian tidak mencukupi, maka ancaman pidana penjara yang berat juga menanti pelaku pelanggaran di sektor jasa keuangan.
ADVERTISEMENT
Dengan ancaman pidana berlapis dengan mekanisme pemberatan seperti penjara, denda dan ganti rugi tersebut, UU PPSK secara nyata berupaya melindungi atau memitigasi kerugian masyarakat dan mencegah pelaku kejahatan di sektor keuangan menikmati hasil kejahatannya.

Solusi

Dengan membandingkan RUU Perkoperasian dan UU PPSK, terdapat indikasi RUU Perkoperasian akan membuka celah gap pengaturan (grey area) dengan memberikan ruang terjadinya ancaman pidana yang lebih ringan. Kemungkinan akan terjadi lagi kasus-kasus penghimpunan dana masyarakat dengan kedok KSP yang dilakukan oleh para oknum tidak bertanggung jawab. Jika pun mereka tertangkap maka mereka akan berlindung dibalik UU Perkoperasian (jika disahkan tanpa diselaraskan dengan UU PPSK) karena UU Perkoperasian telah memberikan ancaman hukuman yang jauh lebih ringan dibandingkan dengan ancaman pidana di UU PPSK.
ADVERTISEMENT
Pada prinsipnya pidana kejahatan ekonomi harus mencegah pelaku menikmati hasil kejahatannya, sita aset berpihak mengganti kerugian para pihak yang dirugikan, dan pemberatan yang memberikan efek jera bagi pelakukanya. Jangan sampai ancaman hukuman yang lebih ringan di RUU Perkoperasian mengakibatkan ancaman hukuman pidana di UU PPSK menjadi pasal macan ompong atau layu sebelum berkembang.