Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Gagasan Masyarakat Politik Literasi
1 November 2018 15:54 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
ADVERTISEMENT
Oleh: MK Rosyid*
Sepanjang sejarah kemanusiaan, politik selalu menjadi panggung utama. Sejak peradaban sebelum masehi politik selalu menentukan arah peradaban dan kultur masyarakat. Di Yunani kuno misalnya, keilmuan seperti filsafat, sosial dan budaya muncul akibat dinamika politik saat itu.
ADVERTISEMENT
Dealektika yang dimunculkan Socrates, Aristotles dan Plato di antaranya muncul karena perkembangan politik Athena waktu itu. Semua orang membicarakan politik yang berimbas langsung di kehidupan. Akibat seringnya politik dibicarakan hingga memunculkan dealektika antar warga negara.
Para ilmuwan menemukan panggung dan pembahasan yang benar-benar dialogis. Karena itu muncullah ide tentang republik. Bahkan, demokrasi yang kini dianut sebagian besar masyarakat dunia saat ini juga muncul akibat pertikaian politik waktu itu. Produk hukum dan perundang-undangan dijadikan patokan aktiifitas kemanusiaan dalam bernegara tidak luput dari kajian yang ditimbulkan perkembangan politik.
Kondisi politik dan keilmuan adalah skenario tanpa disengaja integrasi realitas dan teori yang terus berkembang hingga abad 19 di Eropa dan Amerika juga sebagian Asia dan Afrika. Adu gagasan dan argumentasi rasional dari masing-masing politisi dan juga ilmuwan terus berkembang
ADVERTISEMENT
Di abad modern wacana keilmuan dan menghubungkan langsung dengan politik terus berkembang. Misalnya di Perancis, Jerman, Inggris dan Italia. Sebagian besar ilmuwan yang sekaligus politikus lahir dari pertikaian akal dan argumentasi hingga menggerakkan revolusi. JJ. Rosseau konsisten memperjuangkan trias politika di Perancis, juga Antinio Grmasci yang bergerak dengan konsep intelektual organiknya meski harus berujung penjara saat rezim Mussolini menguasai Italia.
Gerakan perempuan juga tumbuh dari diskusi-diskusi kecil yang terus –menerus dilakukan. Di Perancis misalnya, Revolusi Perancis tidak bisa dilepaskan begitu saja dari peran perempuan yang memulai membahas politik, sastra dan filsafat di salon. Salon yang sebelumnya hanya berfungsi sebagai tempat menghias diri berubah menjadi posko revolusi bagi kaum perempuan saat kepemimpinan Raja Louis XVI.
ADVERTISEMENT
Politik Literasi di Indonesia
Di Indonesia gerakan politik litarasi semacam di Eropa dan Amerika juga pernah terjadi. Saat awal abad 19, Soekarno, Semaun, Muso, Kartosuwiryo Tirto Adi Suryo, Agus Salim, Tan Malaka, Wahid Hasyim dan tokoh gerakan waktu itu berdebat keras tentang negara dan masyarakat. Mereka bertengkar hebat tentang dasar negara saat kondisi Indonesia masih dalam ancaman Belanda.
Mereka beradu gagasan tentang nation-satate, republik, federasi dan demokrasi dengan bekal tumpukan buku. Masih ditambah lagi perdebatan untuk menentukan ideologi negara mulai dari sosialisme, komunisme, islamisme hingga menelurkan pancasila sebagai dasar negara yang dianggap finish hingga sekarang.
Mereka berdebat keras dengan tumpukan buku yang telah tuntas dibaca. Tidak hanya membaca sebagai bahan rasionalisasi di forum perdebatan—kalau sekarang bisa dikatakan sebagai tabayyun—tapi juga menuliskannya di berbagai majalah dan media massa.
ADVERTISEMENT
Sehingga dengan sendirinya masyarakat dibiasakan berpikir tentang konsep negara dan ideologi negara dari para pemikir tersebut. Perdebatan berbasis letarasi itu tidak hanya terjadi di tigkat elit. Di tingkat masyarakat bawah proses dialogis juga terjadi. Peranan Muhammadiyah yang dimotori KH Ahmad Dahlan dan Nahdlatul Ulama’ yang dimotori para kiai, terumata KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah dan KH Bisri Syamsuri mampu menghasilkan santri jenius yang religious dan bertanggungjawab atas kondisi sosial.
Perdebatan yang terjadi di masa perjuangan merupakan tradisi yang kini belum ditemukan kembali. Jika dulu dalam perdebatan saling bantah dan tuding itu ada, dilakukan dengan bahasa yang benar-benar menunjukkan keluasan pengetahuan dan pengalaman politisi. Mereka banyak menyimpan diksi kata dan kalimat untuk menjawab pertanyaan dan tudingan tanpa harus menimbulkan kegaduhan dan mengganggu stabilitas nasional. Sebaliknya, setiap kata yang terucap memaksa rakyat mencerna dan berpikir. Itulah literasi politik yang kini luntur.
ADVERTISEMENT
Upaya iletarasi malah terkesan muncul akibat politik yang selalu mengumbar fitnah yang ditanggap orang tak penuh akalnya. Kesan yang muncul, politik saat ini digerakkan oleh sentimen suku dan agama, bukan rasionalitas dalam bernegara.
*Penulis adalah politisi muda PKB Bojonegoro