Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Refleksi Kehidupan: Pengajaran dan Analogi Lombok
29 Maret 2018 5:52 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
Tulisan dari bob bimantara leander tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Awal dulu SD, saya bisa dikatakan cerdas. Kelas satu juara kelas dalam hal penjumlahan dan perkalian. Nama-nama binatang saya hafal, mulai dari ayam sampai kerbau. Nama menara-menara monas, eiffel, dan pantung singapura adalah 'kue' bagi saya. Sungguh indah kelas satu SD saya.
ADVERTISEMENT
Beranjak kelas 4, saya tak ubahnya seperti 'bedes ketolop' tengok kanan kiri, tak tau apa-apa. Perubahan sangat drastis sekali. Saya waktu itu juga tidak begitu concern akan hal itu. Saya nikmati hidup layaknya anak-anak.
Naik kelas 6, malah bukan main 'kedunguan' saya. Saya sempat diturunkan ke kelas 5. Malu. Ditambah lagi, salah satu siswa kelas 5 dinaikkan ke kelas 6 menggantikan orang dungu seperti saya. Malu kuadrat. Akhirnya, dari kejadian itu saya sadar. Saya harus baca dan belajar dengan kata-kata dan angka.
Saya mulai duduk dibangku belajar saya berhari-hari. Counter Strike, Winning Eleven, dan permainan tradisional saya anggap tak ada. Setiap harinya saya cukup memandang definisi, deskripsi, dan rumus-rumus. Alhasil, maaf bukan sombong, saya mendapat danem 4 tertinggi di kelas.
ADVERTISEMENT
Sekarang, di bangku perkuliahan, saya diwuruki untuk berfikir kritis dan analitis terhadap apapun. Semua mulai dari film yang saya lihat sampai baju yang saya pakai tak luput dari pikiran 'kritis' saya. Oleh karena itu, saya harus melihat fenomena masa lalu saya dengan pikiran 'kritis' saya.
Dari cara pengajaran, Pada waktu kelas 1 SD, saya diajari penjumlahan dengan gambar semangka yang ditambahkan atau dikurangi. Kadang pula, semangka itu langsung ada di meja guru, bu Khomsiatun. Dengan begitu, saya langsung paham jika penjumlahan, mata saya melihat semangka itu bertambah dan sebaliknya jika pengurangan. Mata dan pikiran saya berjalan pada satu alur. Pengajaran yang bagus. Apalagi soal binatang, bu Khom langsung mengajak saya ke kebon binatang Surabaya waktu itu. Mata saya kembali mengalami pengalaman secara langsung dan nancap di otak saya (experienced memory).
ADVERTISEMENT
Itu berbeda kelas 4 sampai kelas 6, saya jarang sekali diberi gambaran secara langsung. Saya hanya dicekokin oleh kata-kata dengan deskripsi yang 'jlimet', pada takaran otak saya waktu itu. PKN, bukan lagi bagaimana harusnya bersikap saat Budi terjatuh tapi sudah memikirkan undang-undang yang jlimet. Sudah tamatlah riwayat saya yang waktu itu tak begitu suka duduk dibangku meja belajar.
Dari situ, saya berfikir bahwa apa yang membedakan prestasi saya ketika kelas 1 dan 4 adalah cara pengejaran. Pada satu sisi, ketika kelas 1 sampai kelas 3 saya lebih dikasih contoh dan langsung ditancapkan ke beberapa panca indera saya, yaitu mata, telinga, dan perasa(kadang-kadang) dengan benda yang konkret dan saya secara tidak langsung mendeskripsikan itu sendiri. Namun, ketika kelas 4 sampai 6 (dan bahkan) sampai kuliah panca indera tetap diberi jalan untuk memahami suatu pengetahuan namun bendanya abstrak atau berupa kata-kata dan kebanyakan 'menurut ahli ini dan itu' . Intinya, kalau kelas 1 sampai 3, lombok langsung ditancapkan ke mulut saya, kalau kelas 4 sampai kuliah saya diberikan deskripsi tentang lombok menurut para ahli lombok. (mohon dipahami sendiri)
ADVERTISEMENT
Penting untuk diingat, ini hanya konklusi pengalaman saya. Jika ditambah faktor kesulitan dan quantitas pengetahuan memang sangat suli untuk 'menancapkan lombok ke bibir' dan diperlukam deskripsi tertulis tentang 'lombok'. Tapi, ada baiknya ketika mengajar, selalu mencoba menancapkan lombok secara langsung di bibir siswa daripada bicara tentang lombok menurut para ahli ini dan itu, berilah pengalaman dan bebaskanlah siswa berfikir.