Haruskah Debat Calon Legislatif Digelar?

Boban Abdurazzaq Sanggei
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang
Konten dari Pengguna
10 Januari 2024 20:32 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Boban Abdurazzaq Sanggei tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Debat. Foto: Pictrider/shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Debat. Foto: Pictrider/shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beberapa bulan belakangan ini rakyat disuguhkan dengan persaingan calon presiden dan wakil presiden yang semakin panas seiring bertemunya mereka di panggung yang sama. Mereka saling menanyakan kebijakan dan gagasan satu sama lain, tidak lain dan tidak bukan untuk menjelaskan bagaimana mereka akan membawa negara ini 5 tahun ke depan jika menjadi presiden.
ADVERTISEMENT
Tentunya ini sudah berlaku selama puluhan tahun semenjak pemilu pasca reformasi di adakan, namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah para calon eksekutif saja yang bisa berdebat dan di saksikan oleh masyarakatnya? Bagaimana dengan calon legislatif tidak perlu berdebat dan bermain di balik layar?
Tentunya dari pertanyaan ini harusnya dapat dijawab oleh demokrasi Indonesia. Kehidupan politik kita selalu terus menerus berputar pada politik uang, joget-joget dan janji-janji manis. Apakah masyarakat hari ini tidak bertanya-tanya mengapa cara-cara seperti itu yang harus terus dipakai? Kenapa tidak mengadu gagasan di depan masyarakat yang akan memilih mereka dan menyampaikan visi dan misi ke depan jika terpilih?
Oke, untuk menjawab seluruh pertanyaan-pertanyaan ini mungkin kita harus merefleksikan diri kita sebagai masyarakat negara ini. Apakah kita secara pribadi memiliki kualitas dan memahami politik, atau kita menganggap politik seperti definisi pada umumnya yakni seni menggapai kekuasaan?
ADVERTISEMENT
Tentu untuk terlepas pola itu kita sebagai masyarakat harus mendefinisikan politik sebagai suatu hal yang baik seperti yang diketahui bahwa politik memiliki 5 konsep dasar yakni: 1. Negara, 2. Kekuasaan, 3. Pengambilan keputusan, 4. Kebijakan dan 5. Pembagian atau Alokasi.
Tentunya dari kelima dasar ini kita selalu terpaku pada nomor dua yaitu kekuasaan. Padahal dalam demokrasi Indonesia kita menganut juga konsep trias politika yang mana kekuasaan dibagi menjadi 3 yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Masing-masing dari ketiga lembaga ini memiliki fungsi dan perannya sehingga kehidupan politik demokrasi bisa terbangun karena kekuasaan tidak dilekatkan pada satu orang seperti sistem monarki absolut (nanti saya akan menjelaskan di lain tulisan). Kekuasaan dibagi sehingga ada dialog dan diskusi dalam proses menentukan kebijakan.
ADVERTISEMENT
Sehingga pada akhirnya semua adil karena dipilih langsung oleh rakyat. Mengapa menurut penulis calon legislatif juga harus di buat forum debat sebelum pemilihan? Karena yang pertama masyarakat memiliki hak untuk mengetahui gagasan dan pandangan jika terpilih nanti dan tidak boleh hanya berupa baliho atau selebaran namun dialog terbuka dengan masyarakat daerah pilihannya. Mungkin penulis akan menjelaskan teknisnya tapi catatan ini buah pikiran penulis sendiri dalam mengonsepkan debat calon legislatif ini.
Gedung DPRD tentunya memiliki batas kursi dan banyaknya kursi tersebut di tentukan oleh banyaknya penduduk saya ambil contoh pada kabupaten Kaimana yang jelas kampung halaman saya sendiri. Terdapat 299 calon legislatif dan pada DAPIL 1 terdapat 113 calon anggota legislatif yang mana pasti pembaca akan mengatakan bahwa tidak akan mungkin sekian banyak calon di dudukan pada panggung yang sama.
ADVERTISEMENT
Padahal sederhana tinggal membagi dalam satu hari setiap partai mengajukan satu anggotanya di masing-masing DAPIL untuk melakukan debat jadi para CALEG DAPIL 1 akan saling berdebat tentang gagasan mereka. Dan hari debat disesuaikan dengan banyaknya kursi pada DAPIL tersebut itu.
Di Kaimana sendiri pada DAPIL 1 tersedia 7 kursi dan ada sekitar 17 partai politik yang terdaftar dan mengikuti kontestasi politik tidak ada salahnya setiap CALEG dalam satu partai secara bergantian selama 7 hari naik di panggung untuk menyampaikan visi-misi mereka di depan khalayak ramai dan nantinya masyarakat sendiri yang akan menilai seberapa pantas para CALEG ini maju sebagai perwakilan mereka.
Memang akan terdengar ribet namun menurut penulis ini satu-satunya cara untuk mengubah kehidupan politik di negara ini, penulis juga sudah muak dengan strategi kampanye yang menggunakan politik uang, joget-joget dan sekedar janji-janji yang sebetulnya secara administrasi tidak semudah itu.
ADVERTISEMENT
Demokrasi artinya dialog artinya para pemimpin dan perwakilan masyarakat merupakan orang yang lahir dari masyarakat dan tahu apa yang di butuh kan masyarakat, dia yang mendengar kesusahan masyarakat bukan orang yang punya ambisi untuk melanggengkan bisnis ataupun hal-hal pribadi. Maka dari itu menurut penulis debat calon legislatif sangat diperlukan untuk mengubah itu.
Mungkin banyak yang mengatakan bahwa menjadi pemimpin di suatu negara ataupun daerah tidak semudah itu, relasi dengan pebisnis dan kapitalis menjadi salah satu kekuatan CALEG. Namun kita terlepas dari itu semua kita harus melihat kinerjanya dan rekam jejaknya, apa yang sudah dilakukannya selama ini bahkan sebelum masuk dalam politik.
Mengembalikan demokrasi ke asalnya di negara yang sudah terkontaminasi dengan politik kotor tentu sangatlah sulit namun dengan keyakinan yang mendalam dan usaha tentunya dapat mengubah itu, kita sebagai masyarakat tentu memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam negara ini tinggal cara kita dalam memenuhinya seperti apa tergantung pemikiran kita.
ADVERTISEMENT
Tidak ada salahnya jika seorang pemimpin lahir dari pendidikan yang seadanya namun dia jujur dan peduli dengan masyarakatnya dari pada pemimpin yang membeli ijazah hanya untuk namanya di cantumi gelar. Debat seharusnya di setiap kontestasi pemilihan agar dialog dan masalah masyarakat terdengar oleh para CALEG. Pada akhirnya pilihan itu balik ke pembaca, berubah atau tetap pada kemunafikan?