Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Transisi Pemerintahan Suriah: Arab Spring Tetap Menyala
2 Januari 2025 11:29 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Boban Abdurazzaq Sanggei tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Berbicara tentang Otoritarianisme tentu tidak terlepas dari rawannya ketidakadilan, kejahatan HAM dan penyingkiran nilai-nilai kesejahteraan masyarakat. Sejarah panjang negara Otoriter di berbagai negara selalu mengalami satu persoalan, yakni pemberontakan. Kita dapat melihat ini dari revolusi Prancis yang mana ini merupakan pemberontakan pertama yang menginspirasi berbagai negara untuk mengakhiri rezim otoritarianisme dan penjajahan. Hal ini terus bertahan hingga pada era post modern di mana hampir semua negara telah mengakhiri masa pemerintahan otoritarianisme dan beralih ke demokrasi.
ADVERTISEMENT
Akhir tahun 2024 akan ditutup dengan berakhirnya pemerintahan otoriter Bashar Al-Assad yang sudah berjalan sejak tahun 2000 hingga tahu 2024 ini. Tentunya ini akan tercatat dalam sejarah dunia di mana gelombang Arab Spring akan terus terjadi hingga dunia arab memiliki akan mengalami transisi pemerintahan dari otoritarian menjadi demokratis.
Jika pembaca belum memahami apa itu Arab Spring, maka secara sederhana Arab Spring merupakan istilah yang diberikan oleh negara-negara barat untuk menyebut kondisi yang sedang terjadi di negara-negara arab yang memulai transisi pemerintahan. Arab Spring merupakan serangkaian gerakan anti pemerintahan di mana terdapat aksi protes, pemberontakan dan pemberontakan bersenjata yang menyebar di timur tengah dan Afrika Utara, Hal ini ditandai dengan pemberontakan yang terjadi di Tunisia dan Mesir yang berupaya untuk menggulingkan pemerintahan yang berkuasa.
ADVERTISEMENT
Jika kita membaca literatur sejarah negara-negara Arab kita akan mendapatkan fakta bahwa hampir semua negara-negara Arab memiliki ciri pemerintahan yang sama yakni Otoritarianisme. Di Suriah sendiri pemberontakan atau perang saudara sudah dimulai sejak 15 Maret 2011, hal ini menyebabkan 2.154 Warga sipil terbunuh dan sekitar 35.000 orang terluka. Perang ini mereda setelah pihak oposisi mengalami kemunduran besar pada tanggal 19 Desember 2011 ketika penyerangan yang gagal di Provinsi Idlib menyebabkan 72 pembelot tewas.
Lalu Assad mulai menggunakan operasi artileri skala besar terhadap pemberontak, yang menyebabkan hancurnya banyak rumah warga sipil, hal ini mengakibatkan protes harian berkurang. Penumpasan pemberontak oleh tentara Suriah di bawah rezim Assad terus dilakukan. Perang ini bisa dikatakan awet hingga melibatkan negara-negara lain untuk ikut campur.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Website Global Conflict Tracker pada 2015 Rusia mulai melancarkan serangan udara terhadap apa yang di klaimnya sebagai target ISIS, sementara pasukan Suriah meraih beberapa kemenangan penting atas ISI termasuk merebut kembali kota Palmyra. Begitu pun Amerika Serikat yang juga memerangi ISIS, lalu disisi lain Turki secara soft mendukung kelompok Ha’yat Tahrir al-Sham (HTS).
Bisa dibilang bahwa Suriah sejak 2011 hingga 2024 arena pertempuran yang tidak pernah usai. Sekarang, Bashar dan dinasti Assad telah lengser kelompok pemberontak Islam Ha’yat Tahrir al-Sham (HTS) dan Mitranya Suriah National Army (SNA) yang di dukung Turki berhasil merebut Suriah dari tangan Assad. Bagi penulis kejatuhan Assad menjadi titik perubahan bagi pemerintahan Suriah dimasa depan yang lebih adil dan demokratis, apalagi melihat standar sistem negara pada era ini lebih mengutamakan Hak Asasi Manusia dan keadilan maka sistem demokrasi menjadi solusi yang paling ideal untuk diterapkan.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi kita belum mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan mengingat budaya politik negara-negara arab yang sering menimbulkan konflik internal. Kita bisa berkaca pada pemerintahan Mesir beberapa tahun lalu yang mana Mohammed Morsi yang merupakan presiden pertama yang terpilih secara demokratis, namun masa kepemimpinannya hanya bertahan selama setahun sebelum dilengserkan oleh militer.
Sehingga kursi kepresidenan Mesir masih di duduki oleh Abdul Fattah as-Sisi sejak tahun 2014 hingga saat ini. Penulis memiliki pandangan bahwa demokrasi dapat mengakar kuat pada neagar jika setiap individu dan kelompok kepentingan bersepakat untuk menyemai benih demokrasi di negara mereka, dan di satu sisi hal ini tidak akan tercapai jika masih ada perbedaan pandangan akan sistem pemerintahan oleh kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan.
ADVERTISEMENT
Demokrasi berarti menitik beratkan pada pemerintahan rakyat yang di awasi oleh konstitusi, di mana militer tidak ikut andil di pemerintahan dan pemerintah memiliki tujuan untuk melindungi rakyatnya dan menjaga masyarakat tetap aman.
Pada akhirnya Arab Spring tetap akan menyala seiring berkembangnya dinamika politik yang terjadi, pemberontakan dan transisi pemerintahan yang ekstrem justru dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan/balancing of Power dalam pemerintahan agar tidak masuk ke dalam jurang otoritarianisme. Surplus kekuasaan yang berlebih dapat membawa suatu negara ke dalam bencana kemanusiaan yang akan merembet ke berbagai aspek.