Sayup-sayup Takbir dari Kamar Kos

Bobby Adia
Archivist
Konten dari Pengguna
23 Mei 2020 20:56 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bobby Adia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana malam takbiran sebelum COVID-19. Foto: bobbyadia - https://bit.ly/3garUWt
zoom-in-whitePerbesar
Suasana malam takbiran sebelum COVID-19. Foto: bobbyadia - https://bit.ly/3garUWt
ADVERTISEMENT
Hari ke-30 Ramadhan telah dilewati dan esok hampir seluruh umat Islam di dunia merayakan hari Idul Fitri dengan keadaan New Normal, Indonesia sebagaimana Pemerintah menetapkan 1 Syawal 1441H/2020M jatuh pada hari Minggu, 24 Mei 2020. Momen idul fitri yang biasa dilakukan dengan dengan berjabat tangan maaf-memaafkan, makan bersama, berkumpul bersama keluarga besar serta membagikan THR untuk adik ataupun keponakan sepertinya tidak menjadi sebuah momen spesial yang dapat dirasakan oleh anak kos tahun ini.
Gerbang TOl Cikampek Utama 1 dalam Press Release PT JASA MARGA (Persero) Tbk.No. 65/2020 Tanggal 23 Mei 2020
Bukan utopis, COVID-19 telah membawa dampak besar bagi seluruh masyarakat di dunia, Indonesia tidak terkecuali para pendatang atau biasa kita sebut dalam bahasa Melayu “Anak Rantau”. Mereka yang jauh dari keluarga harus berjuang di tengah keasingan kasih sayang dan rindu yang menyesakkan. Tidak bisa dipungkiri dengan keterbatasan akibat pandemi dari patogen ini membuat banyak aktivitas termasuk tradisi pulang kampung tidak bisa dilakukan.
ADVERTISEMENT
Walaupun, fakta yang dilansir jasamarga.com pada periode H-7 sampai H-3 Lebaran 2020, yang jatuh pada 17-21 Mei 2020, mencatat total 367.703 kendaraan meninggalkan Jakarta melalui arah Timur, arah Barat dan arah Selatan. Melihat fenomena ini seakan menjadi tamparan keras bagi para perantau.
Ilustrasi video conference bersama orang tau saat lebaran. Foto: tirachardz - www.freepik.com
Dewasa ini, menjadi perantau bukan suatu pilihan yang mudah karena harus berjarak dengan keluarga dan sanak saudara. Era revolusi industri 4.0 semakin menunjukkan kemudahan dalam berkomunikasi, walaupun jauh dari rumah dan keluarga, perantau tetap bisa merasakan ‘kehangatan’ dengan komunikasi daring tatap muka ataupun sekadar telepon.
Tetapi berbeda dengan idul fitri, momen yang paling ditunggu oleh perantau dengan harapan mereka bisa pulang ke rumah merasakan keutuhan dari esensi silaturahmi. Berbeda dengan tahun ini, tahun di mana sebagian perantau memberikan bentuk kontribusi dengan patuh akan instruksi Pemerintah terkait larangan mudik untuk memperlambat laju penularan COVID-19 terutama pada kampung halaman yang relatif tinggi angka sebarannya.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya tentang masalah kesehatan dan ekonomi, elegi anak rantau lebih spiritual daripada itu. Suara takbir memenuhi kamar kost yang bergema dengan pekiknya di telinga, sikap ekspresif akan kerinduan mendalam sangat terasa lalu, terbalut oleh kesedihan. Khusyuk dan seksama mengumandangkan takbir sebagai bentuk kebahagiaan menyambut hari kemenangan.
Bersamaan dengan itu, berusaha menguatkan batiniah akan pilihan untuk tidak pulang kampung yang sesekali terbesit rasa untuk sebaliknya. Itu semua dilakukan demi memberikan bentuk cinta dan kasih sayang kepada keluarga di kampung halaman. Selain sarkastik, pilihan ini juga sebagai bentuk represif untuk orang-orang yang melanggar dan memaksa untuk tetap mudik/ pulang kampung.
Simbol-simbol kemanusiaan yang ditunjukkan oleh sebagaian kelompok perantau ini menjadi sebuah bentuk kesadaran akan keterlibatan humas agency dalam menyikapi krisis ekologi global. Dalam hal ini bukan hanya tentang pengendalian virus dari patogen mikro-parasit yang menjadi momok bagi kita dalam mengubah tatanan kehidupan namun, lebih dari itu peran serta solidaritas kemanusiaan menjadi perspektif dominan untuk menyelamatkan situasi dan kondisi menjadi lebih baik juga sebagai esensi dari hari kemenangan. Karena, meskipun kita berada di ruang yang berbeda namun sebenarnya kita semua berada di kapal yang sama.
ADVERTISEMENT