Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Solusi Tarif Trump: Optimalkan Blue Food untuk MBG di Pesisir
7 Mei 2025 13:44 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Boimin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan penerapan tarif impor baru—minimal 10 %—untuk barang yang masuk AS, dari berbagai negara. Tujuan Trump, untuk menutupi defisit perdagangan dan juga melindungi industri domestik AS. Indonesia termasuk negara yang dikenakan tarif tambahan (Tarif Trump), yaitu sebesar 32% dan 47% untuk barang tertentu yang diekspor ke AS.
ADVERTISEMENT
Jika Tarif Trump benar-benar jadi diberlakukan, akan terjadi penurunan ekspor Indonesia ke AS, khususnya ekspor pangan yang berasal dari perairan—yang lazim disebut blue food.
Optimalisasi blue food untuk mendukung program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Pesisir bisa menjadi salah satu solusi terkait pemberlakuan Tarif Trump.
Dampak Tarif Trump untuk Blue Food Indonesia
Tarif Trump akan memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap ekspor blue food ke Amerika dari beberapa negara, seperti: China, Kanada, India, Ekuador, Chili, Vietnam, dan Indonesia. Itu bisa menimbulkan persaingan harga yang lebih ketat di antara mereka.
Siapkah Indonesia?
Jika melihat Indonesia sebagai salah satu negara penghasil blue food terbesar di dunia, seharusnya Indonesia siap dan bisa bersaing. Meskipun demikian, kewaspadaan itu tetap perlu dilakukan untuk produk blue food tertentu—misalnya udang.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data dari Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 2023, Indonesia merupakan negara pengekspor udang nomor 4 terbesar di dunia—setelah Ekuador, India, dan Vietnam—dengan kontribusi sebesar 6,6% dari total ekspor udang dunia.
Bisa dibayangkan, jika udang Ekuador dan India tidak terserap oleh pasar utama mereka (AS) karena naiknya harga, akibat Tarif Trump. Mereka akan memasarkan udangnya ke negara lain. Bisa jadi, negara itu juga negara tujuan ekspor udang dari Indonesia. Sehingga, persaingan harga tidak bisa dihindarkan.
Jika udang Indonesia kalah bersaing—harganya terlalu mahal karena produksinya kurang efisien—bisa dipastikan udang dari Ekuador dan India akan lebih dipilih oleh pasar internasional. Bahkan udang mereka juga bisa membanjiri pasar dalam negeri, jika harga udang mereka lebih murah dari Indonesia.
ADVERTISEMENT
Perang harga di atas tidak hanya berlaku pada udang saja, namun juga bisa berlaku untuk produk blue food Indonesia lainnya.
Lalu, apa solusinya?
Indonesia harus menyiapkan solusi alternatif, jika produk blue food kita tidak diserap oleh pasar internasional. Misalnya, melalui optimalisasi blue food dalam program pangan dalam negeri, seperti program MBG di pesisir. Itu sejalan dengan wacana desentralisasi MBG yang disuarakan oleh ahli kebijakan pangan dan tokoh nasional.
Desentralisasi MBG dan Optimalisasi Blue Food untuk Program MBG di Pesisir
Wacana desentralisasi MBG itu sejalan dengan pernyataan Jusuf Kalla (JK), mantan Wakil Presiden RI. Menurut JK, jika program MBG perlu dievaluasi, maka pelaksanaannya harus diserahkan ke daerah. Pernyataan JK itu sejalan dengan apa yang telah dilakukan oleh negara lain—India, Brazil, dan Jepang—yang telah lebih dulu menjalankan desentralisasi program makan siang gratis mereka.
ADVERTISEMENT
Namun, persoalan keamanan pangan (food safety) acap kali muncul
ketika program MBG dilaksanakan di daerah. Persoalan pertama, keracunan pangan akibat lemahnya pengawasan keamanan pangan di beberapa daerah—seperti di Sukoharjo, Pandeglang, Nunukan, dan terakhir di Cianjur.
Persoalan kedua, kehalalan pangan. Polemik kehalalan pangan pernah terjadi, ketika Badan Gizi Nasional (BGN) mewacanakan serangga bisa digunakan sebagai sumber protein alternatif program MBG.
Persoalan di atas, menimbulkan pertanyaan: apakah daerah mampu, jika program MBG didesentralisasikan ke daearah?
Sebenarnya, tidak sedikit daerah yang mampu menerima tanggung jawab desentralisasi program MBG, khususnya daerah pesisir yang memiliki blue food melimpah. Dengan kata lain, blue food bisa menjadi solusi desentralisasi MBG di pesisir.
Alasannya, keamanan pangan dari blue food (termasuk kehalalannya) lebih terjamin. Blue food juga mengandung protein yang berkualitas tinggi, asam lemak penting (Omega-3), dan mikronutrien (vitamin dan mineral) yang sangat esensial bagi tubuh manusia.
ADVERTISEMENT
Bahkan secara global, FAO dalam artikel “The State of World Fisheries and Aquaculture 2024. Blue Transformation in Action” dan dalam artikel "The State of World Fisheries and Aquaculture" menjelaskan bahwa: 1) blue food memberikan andil besar dalam menyediakan nutrisi esensial kepada 3,3 juta orang; 2) blue food juga menyediakan 10-12% pekerjaan yang ada di dunia.
Potensi blue food, sebenarnya, bisa jauh lebih besar dalam mewujudkan ketahanan pangan (food security); mengatasi malnutrisi (malnutrition); membangun sistem pangan yang handal (reliable), berkelanjutan (sustainable) dan sehat (healthy).
Perhatian Internasional terhadap Blue Food
Perhatian masyarakat internasional terhadap blue food meningkat. Dalam sepuluh tahun terakir ini, lebih dari 1000 publikasi ilmiah tentang blue food telah diterbitkan sejak 2015-2025. Setelah dilakukan analisis bibliometrik terhadap publikasi ilmiah tersebut, hasilnya sangat menarik.
ADVERTISEMENT
Hasil analisis bibliometrik menggunakan VOSviewer menunjukkan dua hal. Pertama, di dunia ini belum ada penelitian komprehensif mengenai sistem blue food secara regional, dan integrasi blue food ke dalam program pangan yang jauh lebih besar seperti MBG.
Kedua, jika Indonesia menggunakan blue food untuk mendukung program MBG, maka itu merupakan perspektif baru, dan bakan mungkin bisa menjadi yang pertama di dunia.
Kesimpulannya, tarif Trump semakin menyadarkan kita pentingnya blue food untuk ketahanan pangan (food security) Indonesia. Selain itu, optimalisasi blue food dalam program MBG di daerah pesisir, bisa menjadi solusi jika permintaan ekspor blue food ke AS mengalami penurunan akibat Tarif Trump. Sebab, blue food lokal memiliki keamanan pangan (food safety) yang lebih terjamin, lebih berdampak (impactful) kepada ekonomi masyarakat, berkelanjutan (sustainable), lezat (delicious), bernutrisi (nutritious), dan lebih terjangkau harganya (affordable).
ADVERTISEMENT